MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaidi, M.Ag

Disusun Oleh:
Umi Mukaromah 123111157
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

I.
PENDAHULUAN
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu
perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat,
jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Einsten mengatakan
bahwa “science without religion is blind and religion without science is
lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi
antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan
umum sama saja berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh
umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam
mempelajari setiap ilmu pengetahuan. hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan
sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik
yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.
Pemikiran tentang integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
dilakukan oleh kalangan intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dilakukan
di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan
menyamai orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara
aktual terhadap ilmu pengetahuan.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler,
oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus
dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah
ilmu pengetahuan
dapat diintegrasikan dalam Islam?
B.
Apakah Islam memberikan ruang bagi
pengembangan ilmu pengetahuan?
C.
Apakah islamisasi ilmu dapat diwujudkan?
III.
PEMBAHASAN
A. Integrasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan
terukur, serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu menurut
Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan
kepada manusia baik melalui Rasul-Nya atau langsung kepada manusia yang
menghendakinya tentang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bergantung
menurut ketentuan dan kepastian-Nya.
Berbeda dengan pengertian di atas, Harold H. Titus sebagaimana termaktub
dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan” karya Mahfud
Junaedi, menjelaskan bahwa science atau ilmu adalah
1. A method of obtaining knowledge that is objective and veriviable;
2. A body of systematic knowledge built up through experimentation ang
observation and having a valid theoretical base.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut dapat dipahami bahwa “ilmu”
meliputi tiga kompenen yang saling bertautan dan merupakan kesatuan logis yang
mesti ada serta berurutan. (1) ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia,
(2) aktifitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan (3) akhirnya
aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.

Bagan di atas menggambarkan kesatuan dan interaksi antara aktivitas,
metode, dan pengetahuan, sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie.[1]
Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum
tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan bahwa
pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu
sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan
mekanisme tertentu.
Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama
merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Agama merupakan
sumber ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk
mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam ajaran agama. Di dalam
Al-Qur’an terdapat sekitar 750 ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan
itu merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan pada
pengembangan ilmu pengetahuan.
Marpuji Ali dalam karyanya yang berjudul “Buku Kultum: Integritas Iman,
Ilmu, dan Amal” menjelaskan bahwa penopang utama kegemilangan peradaban ialah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Peradaban Barat berkembang dari perpaduan
unsur-unsur kebudayaan-kebudayaan, filsafat, nilai-nilai, dan aspirasi Yunani
dan Roma Kuno, fusi dengan agama Yahudi, agama Kristen, peradaban Barat. Perkembangan
dan pembentukan lebih lanjut dilakukan oleh bangsa-bangsa Latin, Germanik,
Keltik, Nordik, dan Salvik.
Esensi Sains Islam
Wawasan tentang Dzat berkuasa atas segala sesuatu, yang telah dihilangkan
dari “Konsepsi Barat” tentang sains merupakan kritik fokus utama dalam teori
Islami. Sesungguhnya faktor pembeda cara berpikir Islami dari cara Barat ialah
perihal keyakinan yang fundamental dari cara berpikir yang pertama, bahwa semua
filsuf muslim, baik dari dunia Islam di Timur yang berpusat di Baghdad, Irak,
seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, para tokoh Ikhwan as Safa, Ibnu
Maskawaih, dan Ibnu Sina, maupun dari dunia Islam belahan Barat yang berpusat
di Cordova, Spanyol seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd, menyakini
bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk
pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain, adalah Allah.
The Unity of Knowledge atau Integrasi Keilmuan
Lima ayat pertama surah Al-Alaq, menunjukkan perintah Allah terkait dengan
sains, perintah membaca, menelaah, menghimpun pengetahuan dengan kalimat iqra’
bismi rabbik, menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk
membaca, tetapi “membaca” adalah lambang dari segala yang dilakukan oleh
manusia baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Bisa aktif mengkaji sifat-sifat
Allah, sifat Allah yang disebutkan dalam kitab suci merupakan sumber otentik pengetahuan
tentang Allah. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an ialah
Al-Alim, yang berarti “yang memiliki sains”. Karena memiliki sains yang
membedakan dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui sains
orang dapat menggapai kebenaran, dan kebenaran adalah nama lain dari Yang Riil
dan Al-Haqq.
Dari dimensi Al-Haqq sebagai sumber semua kebenaran. Sudah barang tentu
Al-Qur’an sebagai mediumnya, filsafat Islam berupaya menjelaskan cara Allah
menyampaikan kebenaran hakiki, dengan bahasa pemikiran yang intelektual dan
rasional. Tujuan seorang filsuf, menurut Al-Kindi ialah “mendapatkan kebenaran
dan mengamalkannya, sedangkan bagian paling luhur dari filsafat adalah filsafat
pertama, yakni mengetahui kebenaran pertama (Tuhan) dinamakan filsafat
pertama karena dalam pengetahuan tentang sebab pertama itu terkandung
pengetahuan tentang semua bagian lainnya dari filsafat”. Dengan demikian The
Unity of Knowledge atau kesatuan ayat Qur’aniyyah dengan ayat Kawniyyah,
merupakan integrasi keilmuan yang dapat menjadi sarana penting meningkatkan
keimanan dan haqqa tuqatih (taqwa yang sebenar-benarnya).[2]
Agama Islam memperhatikan pentingnya
iman sama dengan pentingnya ilmu pengetahuan.
وَلَا
يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka,
dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya” (Al-Baqarah: 255).
Allah juga memuliakan para ahli ilmu
pengetahuan dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ
لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ (۱۱)
Hai orang-orang beriman apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadalah: 11)
Kebudayaan Islam, pada masa jayanya dan masa
perkembangannya memberikan warisan yang membanggakan pada umat manusia,
berdasarkan atas observasi dan berpikir induktif, klasifikasi dan verifikasi
serta konfirmasi. Orang Eropa menerima warisan tersebut, lalu melakukan
loncatan-loncatan yang jauh ke depan dan melengkapi kegiatan
penelitian-penelitian dengan alat-alat canggih.[3]
Teori pengetahuan menurut Islam tidak hanya menonjolkan sudut yang khusus dari mana kaum Muslim
memandang ilmu, akan tetapi juga menekankan keharusan yang mendesak untuk
mencari ilmu. Seperti diketahui perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui
wahyu pertama yang diterimanya adalah “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”,
dan dari sudut pandang Islam, membaca itu bukan hanya pintu menuju ilmu, akan
tetapi juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah. Oleh sebab itu, ilmu
mempunyai dua tujuan, yakni tujuan Ilahi dan tujuan duniawi. Ilmu berfungsi
sebagai pertanda Allah, sebab orang yang mempelajari alam dan proses-prosesnya
dengan seksama dan mendalam akan menjumpai banyak kasus yang menunjuk kepada
tangan yang tidak tampak, yang membina dan mengawasi semua kejadian di dunia.[4]
B. Ruang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang dikumpulkan dengan metode ilmiah
(scientific methods). Dalam penjelasan lain, ilmu pengetahuan adalah
himpunan pengetahuan yang sistematis yang dibangun melalui eksperimentasi dan
observasi. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan hanya akan terwujud jika
diusahakan, dibangun, dan dikembangkan. Ilmu tidak akan lahir dengan berpangku
tangan.
Sebuah statemen dalam dunia pengembangan ilmu, “tanpa ada penelitian, ilmu
pengetahuan tidak akan bertambah maju”. Penelitian dalam konteks ini sebagai
dasar untuk meningkat kembangkan ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan
adanya kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian merupakan upaya untuk
merumuskan permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan
jalan menemukan fakta-fakta dan memberikan penafsiran yang benar. Tetapi lebih
dinamis lagi, penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni
terus-menerus memperbaharui kesimpulan dan teori yang telah diterima
berdasarkan fakta-fakta dan kesimpulan yang telah ditemukan.
Terkait dengan permasalahan ini, muncul beberapa pertanyaan yang koheren
dengan pengembangan ilmu agama Islam. Apakah ilmu agama Islam juga tidak akan
berkembang bahkan surut ke belakang jika tanpa penelitian? Apakah penelitian
mutlak diperlukan untuk pengembangan ilmu agama Islam? Apakah ilmu agama Islam
dapat diteliti secara ilmiah sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain?
Tradisi pemikiran Islam abad pertengahan (periode klasik) menunjukkan bahwa
ilmu-ilmu agama berhasil dikembangkan oleh ulama-ulama zaman klasik. Prestasi
yang cukup membanggakan itu adalah hasil dari penelitian-penelitian yang tidak
kenal lelah.
Pada tahap paling awal memang harus disadari benar bahwa penelitian agama
sebagai usaha akademis berarti menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Secara
metodologis agama haruslah dijadikan sebagai suatu fenomena yang riil,
betapapun mungkin terasa agama itu abstrak. Dari sudut ini, maka dapat
dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena. Yang menjadi subject matter
penelitian, yaitu (1) agama sebagai doktrin; (2) dinamika dan struktur
masyarakat yang dibentuk oleh agama; dan (3) sikap masyarakat terhadap doktrin.
Kategori pertama, mempersoalkan substansi ajaran, kategori kedua, meninjau
agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, dan kategori ketiga,
berusaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan
ajaran agama.[5]
Ilmu pengetahuan tepatnya kebenaran ilmu pengetahuan adalah “it’s not
final truth”. Ia bukan wahyu (kitab suci) yang kebenarannya adalah final
dan absolut. Ilmu pengetahuan, dengan demikian bukan merupakan suatu monument
abadi, yang sudah paten dan tidak boleh dikaji ulang. Ilmu (pengetahuan) adalah
suatu proses yang terus menerus, “tidak akan pernah berakhir” (a never
ending journey), ia akan terus dan selalu berproses selama kehidupan ini
exist.
Suatu upaya unik menjadikan ilmu (pengetahuan) agar tetap relevan dengan perkembangan
zaman adalah pengembangan ilmu itu sendiri. Hal yang demikian koheren dengan
ilmu agama Islam. Pengembangan ilmu pengetahuan secara umum dapat dibedakan ke
dalam tiga strategi, yang oleh Prof. Kunto dijelaskan sebagai berikut:
1. Ilmu dikembangkan dari konteks atau tertutup untuk ilmu dengan semboyannya
“science for the sake of science only”, dalam konteks ini ilmuwan berada
dalam menara gading dan tidak berpengaruh untuk siapapun dan apa yang ada di
masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah nilai-nilai komunalisme, universalisme
yang tidak lebih dari keterkaitan dan keterkungkungan yang tiada batas hentinya.
2. Ilmu lebur dalam konteks, dengan demikian ilmu cenderung untuk berubah-ubah
terkadang menjadi ideologi yang diabadikan kepada tercapainya tujuan tertentu,
dengan semboyannya asimilasi, adaptasi, dan toleransi. Sehingga ilmu tidak
mempunyai identitas dan jati diri yang spesifik adanya dan perannya adalah
semu.
Dalam konteks ini, maka filsafat mengabadi
pada agama sebagaimana pada abad pertengahan. Oleh karena itu kebenaran dan
kenyataan di bawah hegemoni kelompok tertentu.
3. Ilmu dan konteks saling berpengaruh, melengkapi serta saling membutuhkan.
Dalam konteks ini terjalin adanya hubungan fungsional science, etika,
agama, seni, dan bahkan keterjalinan antara disiplin ilmu yang satu dengan
lainnya. Konteks ini menjunjung tinggi “science for the sake of human
progress”, ini adalah pendirinya.
Nampaknya strategi (konteks) ketiga inilah
yang dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam secara utuh dan
konsisten. Strategi pengembangan ilmu agama Islam ini harus tetap berlandaskan
pada dasar filsafat ilmu pengetahuan –tiga tiang penyangga ilmu pengetahun-
yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Di samping dasar filosofis
pengembangan ilmu agama Islam juga harus memperhatikan aspek operasional yaitu
aspek penerapan teori-teori ilmu agama Islam dalam dunia empiris praktis di
masyarakat.[6]
Islam menyamakan dirinya dengan ilmu pengetahuan. Islam menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai syarat ibadah. Islam sangat memuji orang yang tekun mencari
pengetahuan, karena dalam Islam ilmu disebut sebagai cahaya kebenaran dan
diyakini sebagai kunci kesuksesan dunia dan akhirat.
Kamsul Abraha menilai bahwa sejarah peradaban manusia tidak pernah mengenal
satu agama pun yang menaruh perhatian yang begitu besar dan sempurna terhadap
ilmu pengetahuan selain Islam. Jadi prinsipnya Islam sangat menghargai ilmu
pengetahuan dengan tetap mengoreksi terhadap cara-cara atau metode yang
dianggap salah dalam menggali ilmu pengetahuan tersebut. Dan akal sebagai media
atau alat untuk menggali pengetahuan.[7]
Ilmu selalu mengalami pembaharuan dan perbaikan sesuai dengan kaidah atau
norma kemajuan. Ilmu selalu berada antara yang kurang menjadi sempurna, yang
kabur menjadi jelas, yang bercerai berai menjadi terpadu, yang keliru menjadi
lebih benar dan yang masih rekaan menjadi lebih yakin.
Dengan demikian tidak diharapkan dari kitab-kitab akidah untuk menyesuaikan
diri dengan masalah-masalah ilmu pengetahuan. Setiap kali munculnya masalah
yang baru di dunia ilmu pengetahuan dalam suatu generasi manusia, maka tidaklah
sepatutnya bagi umat Islam untuk berupaya menafsirkan atau memperlihatkan dari
kitab sucinya perincian apa yang telah diperoleh dalam ilmu itu.[8]
Tidak ada suatu keutamaan yang mengangkat martabat seseorang manusia selain
daripada keutamaan ilmu. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ
لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ (۱۱)
Hai orang-orang beriman apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Mujadilah:11)
Jadi, Al-Qur’an tidak berlawanan atau bertentangan dengan ilmu, terutama
ilmu alam dengan pengertian yang sejalan dengan ajaran akidah. Kelebihan Islam
yang terbesar adalah bahwa ia membuka bagi umat Islam pintu-pintu ilmu
pengetahuan seraya menghimbau mereka untuk masuk mencari dan mengembangkan ilmu
itu. Bukanlah kelebihannya dalam membuat mereka malas mencari ilmu dan melarang
mereka memperluas penelitian dan penalaran karena semata-mata mereka menyangka
bahwa mereka telah memiliki semua jenis ilmu. Umat Islam dihimbau oleh
Al-Qur’an untuk maju dalam kehidupan dengan mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah di bumi ini.[9]
C. Islamisasi Ilmu
Menurut Zianudin Sardar, islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu usaha
untuk menciptakan ilmu pengetahuan Islami yang berdasarkan pada nilai-nilai
Islam yang terlepas dari pengaruh ilmu pengetahuan yang ada di Barat.
Pengertian islamisasi ilmu pengetahuan juga disampaikan oleh Abudin Nata,
menurutnya islamisasi dalam makna yang luas menunjukkan pada proses
pengislaman, di mana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan
maupun objek lainnya. Dari sini bisa diketahui bahwa islamisasi ilmu
pengetahuan merupakan upaya untuk membangun paradigma keilmuan yang
berlandaskan nilai-nilai Islam, baik itu secara ontologis, epistimologis,
maupun aksiologisnya.
Berdasarkan analisis Ismail Razi Al-Faruqi, upaya mengatasi masalah umat
Islam adalah dengan islamisasi ilmu pengetahuan, yang ditempuh melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memadukan sistem pendidikan Islam.
Dikotomi pendidikan umum dan agama harus dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua
tahap; pertama, mewajibkan bidang studi sejarah peradaban Islam; kedua,
Islamisasi pengetahuan.
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi ditempuh langkah-langkah berupa
penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam sebagai berikut:
a) The Unity of Allah
b) The Unity of Creation
c) The Unity of Truth and Knowledge
d) The Unity of Life
e) The Unity of Humanity
4. Menyusun langkah kerja sebagai berikut:
a) Menguasai disiplin ilmu modern
b) Menguasai warisan khazanah Islam
c) Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah
penelitian pengetahuan modern
d) Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan
Islam dengan pengetahuan modern
e) Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah
5. Penguasaan disiplin ilmu modern dengan cara membaginya ke dalam
kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi, problem dan tema yang dominan
di Barat.
6. Survei disiplin ilmu yang dibuat dalam bentuk esai untuk mengetahui garis
besar asal-usul dan sejarah perkembangan maupun metodologinya, perluasan visi
bidang kajiannya, dan kontribusi utamanya yang memperluas daya jangkaunya.
7. Menguasai warisan khazanah Islam sebagai titik tolak Islamisasi
pengetahuan.
8. Penyajian disiplin ilmu Islam yang relevan dan khas Islam.
9. Penilaian kritis atas warisan Islam terhadap disiplin khazanah ilmu.
10. Melakukan survei atas masalah pokok umat Islam.
11. Melakukan analisis-sintetik kreatif. Ini hanya dapat dilakukan bila telah
dikuasai disiplin ilmu, warisan Islam dan sekaligus pula melakukan analisis
kritis terhadap keduanya.
12. Menata ulang disiplin ilmu di bawah frame work Islam: menyediakan text
book untuk universitas.
13. Melaksanakan berbagai konferensi, seminar, workshop dan sebagainya
sebagai faculty training.[10]
Jadi sebetulnya mengislamkan ilmu pengetahuan bukanlah langkah
konfrontataif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang telah berkembang
dewasa ini. Islamisasi ilmu pengetahuan berarti memurnikan kembaliilmu
pengetahuan atau mengembalikan esensi ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli sejarah bahwa peradaban Barat dewasa ini
yang dipandang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan justru pada
awalnya belajar dari Islam.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
Ø Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama
merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Agama merupakan
sumber ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk
mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam ajaran agama.
Ø Islam menyamakan dirinya dengan ilmu pengetahuan. Islam menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai syarat ibadah. Islam sangat memuji orang yang tekun mencari
pengetahuan, karena dalam Islam ilmu disebut sebagai cahaya kebenaran dan
diyakini sebagai kunci kesuksesan dunia dan akhirat.
Ø
Kebudayaan Islam, pada masa jayanya dan masa
perkembangannya memberikan warisan yang membanggakan pada umat manusia,
berdasarkan atas observasi dan berpikir induktif, klasifikasi dan verifikasi
serta konfirmasi.
Ø Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan
adanya kegiatan penelitian, yaitu upaya untuk merumuskan permasalahan,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan jalan menemukan fakta-fakta
dan memberikan penafsiran yang benar.
Ø Tradisi pemikiran Islam abad pertengahan (periode klasik) menunjukkan bahwa
ilmu-ilmu agama berhasil dikembangkan oleh ulama-ulama zaman klasik dengan prestasi
yang cukup membanggakan dari hasil penelitian-penelitian yang tidak kenal
lelah.adapun upaya untuk menjadikan ilmu (pengetahuan) agar tetap relevan
dengan perkembangan zaman adalah pengembangan ilmu itu sendiri. Hal ini koheren
dengan ilmu agama Islam.
Ø islamisasi ilmu pengetahuan merupakan upaya untuk membangun paradigma
keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik itu secara ontologis,
epistimologis, maupun aksiologisnya.
Ø Upaya mengatasi masalah umat Islam adalah dengan islamisasi ilmu
pengetahuan, yang ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Meningkatkan
visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam, (2) Memadukan sistem
pendidikan Islam, (3) Penegasan prinsip-prinsip
pengetahuan Islam, (4) Menyusun langkah kerja, (5) Penguasaan disiplin ilmu
modern dengan cara membaginya ke dalam kategori-kategori, prinsip-prinsip,
metodologi, problem dan tema yang dominan di Barat, (6) Survei disiplin ilmu,
(7) Menguasai warisan khazanah Islam sebagai titik tolak Islamisasi pengetahuan,
(8) Penyajian disiplin ilmu Islam yang relevan dan khas Islam, (9) Penilaian
kritis atas warisan Islam terhadap disiplin khazanah ilmu, (10) Melakukan
analisis-sintetik kreatif, (11) Menata ulang disiplin ilmu di bawah frame
work Islam.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi
manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap
kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada
penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Djamali, Fadhil. 1993. Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam. Jakarta:
IKAPI.
Ali, Marpuji, dkk. 2010. Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu, dan Amal.
Magelang: PMW Jateng.
Junaidi, Mahfud. 2010. Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan.
Semarang: RaSAIL Media Group.
Musa, M. Yusuf. 1988. Al-Qur’an dan Filsafat. Jakarta: PT Magenta
Bhakti Guna.
Praja, Juhaya S.. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta:
Teraju.
Qadir, C.A. 1988. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
diterjemahkan dari Philosophy and Science in the Islamic World.
Jakarta: IKAPI.
Qomar, Mujamil. 2012. Merintis Kejayaan Islam Kedua: Merombak Pemikiran
dan Mengembangkan Aksi. Yogyakarta: Teras.
![]() |
[1]Mahfud Junaidi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 4-5.
[2]Drs. H. Marpuji Ali, M.SI., dkk, Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu, dan
Amal, (Magelang: PMW Jateng, 2010), hlm. 49-51.
[3]Prof. Dr. Fadhil Al-Djamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam,
(Jakarta: IKAPI, 1993), hlm. 129-130.
[4]C.A. Qadir, Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam diterjemahkan dari Philosophy and
Science in the Islamic World, (Jakarta: IKAPI, 1988), hlm. 16.
[5]Mahfud Junaidi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 34-36.
[6]Mahfud Junaidi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 38-39.
[7]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Merintis Kejayaan Islam Kedua: Merombak
Pemikiran dan Mengembangkan Aksi, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 20-21.
[8]Prof. Dr. M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Jakarta: PT
Magenta Bhakti Guna, 1988), hlm. 66.
[9]Prof. Dr. M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Jakarta: PT
Magenta Bhakti Guna, 1988), hlm. 70.
[10]Prof. Dr.
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta:
Teraju, 2002), hlm. 73-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar