Senin, 22 September 2014

SPIRITUALISME DAN GLOBALISME



Oleh:
Umi Mukaromah


A.    Abstrak
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang asli. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-!3. beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi.
Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi di pesantren, tampak bahwa hingga dewasa ini lembaga tersebut telah memberi kontribusi penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan, baik yang masih mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya maupun yang sudah mengalami perubahan, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari waktu ke waktu, pesantren semakin tumbuh dan berkembang kuantitas maupun kualitasnya. Tidak sedikit dari masyarakat yang masih menaruh perhatian besar terhadap pesantren sebagai pendidikan alternatif. Terlebih lagi dengan berbagai inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi corak pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin kompetitif untuk menawarkan pendidikan ke khalayak masyarakat. Meski sudah melakukan berbagai inovasi pendidikan, sampai saat ini pesantren tidak kehilangan karakteristiknya yang unik yang membedakan dirinya dengan model pendidikan umum yang diformulasikan dalam bentuk sekolahan.
Terkait dengan pembangunan di bidang pendidikan, pesantren dalam praksisnya sudah memainkan peran penting dalam setiap proses pelaksanaan kegiatan tersebut. Para kiai dan ulama yang selama ini menjadi figuran dalam masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar sosok yang dikenal sebagai guru, senantiasa peduli dengan lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya. Mereka biasanya memiliki komitmen tersendiri untuk turut melakukan gerakan transformasi sosial melalui pendekatan keagamaan.
Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan pesantren kembali menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial. Terlebih pusat yang cukup besar. Keberadaan pesantren menjadi partner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang cakap dan berakhlakul karimah.
Kata Kunci: Spiritualisme, Globalisme, Pesantren, Santri
B.     Latar Belakang
Dulu, banyak orang belajar belasan tahun ke pesantren tanpa memikirkan ijazah. Niatnya tulus berburu ilmu, agar bermanfaat dunia-akhirat. Kini, banyak urusan bakal susah bila tanpa ijazah. Bukan asal ijazah, harus ijazah yang diakui pemerintah. Dalam penelitian Asrori S. Karni mengemukakan, ada lulusan pesantren kondang, Sidogiri, Pasuruan, sudah jadi mubaligh kenamaan, wawasan agamanya tak diragukan, tapi ditolak saat melamar jadi guru Madrasah Ibtidaiyah (MI), hanya karena tak punya ijazah yang diakui pemerintah.
Ada santri brilian, lulusan pesantren modern Pabelan, Magelang, bahasa Inggris-Arabnya jagoan, pernah terpilih dalam program pertukaran pelajar ke negeri Paman Sam, tapi mengalami kesulitan waktu mau mendaftar jadi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, pada akhir 1970-an, lantaran ijazah pesantrennya tidak diakui pemerintah. Beruntung, ada sahabat pendiri Pabelan yang menjadi dosen berpengaruh di IAIN, sehingga si santri bisa dibantu lolos tes.
Argumennya sederhana: kalau lulusan SMA boleh masuk IAIN, mengapa lulusan pesantren yang jempolan berbahasa Arab, tidak boleh masuk. Hanya saja, banyak tamatan pesantren lainnya yang tidak seberuntung alumnus Pabelan tadi. Mereka pernah ditolak masuk perguruan tinggi agama Islam di dalam negeri. Ironisnya, saat mereka daftar ke universitas-universitas papan atas di Timur Tengah di terima.
Kini ijazah bukan hanya diperlukan untuk melamar pekerjaan dan melanjutkan studi. Ijazah juga disyaratkan untuk mendaftar jadi calon anggota parlemen, calon bupati, bakal walikota, dan calon gubernur. Maklum, di tengah keterbukaan politik pasca Orde Baru, banyak lulusan pesantren makin lincah berkiprah di panggung politik. Sejumlah kiai terpilih menjadi bupati atau gubernur. Bahkan, seorang kiai yang tak lulus kuliah di Kairo dan Baghdad sempat terpilih jadi presiden. Belum lagi, puluhan santri dan kiai yang menyesaki gedung DPR dan DPRD.
C.    Pembahasan
Spiritualitas di Tengah Perubahan Sosial
Ketahanan suatu ide dan pandangan atau paham di dalam diri orang atau kelompok sosial ditentukan oleh posisi dan seberapa ia berakar di dalam dunia batinnya. Wawasan Nusantara akan tetap segar jika memiliki daya spriritual dan kesadaran hidup di dalam diri orang atau warga bangsa. Wawasan Nusantara seharusnya selalu disegarkan kembali dan didialogkan bersama seluruh warga suatu bangsa tersebut.
Abdul Munir Mulkhan dalam karyanya yang berjudul “Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam” mengemukakan bahwa wawasan Nusantara yang sekadar berhenti sebagai doktrin ideologis kenegaraan lebih bersifat politis dan kurang memiliki akar di dalam kesadaran hidup warga daripada jika ia tumbuh sebagai sebuah kesadaran budaya. Demikian pula, jika wawasan Nusantara hanya berhenti sebagai wacana intelektual, maka ia akan lebih bersifat tidak alami.
Mengamati perkembangan system pendidikan Islam di Indonesia dari masa penjajahan sampai masa kini, tergambar jelas bahwa sistem pendidikan Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional (Sjafri Sairin, 2002). Perubahan dan penyesuaian yang terjadi dalam berbagai aspek sistem pendidikan Islam tradisional, seperti pesantren, memperkuat kesan bahwa sistem pendidikan Islam merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Terjadinya dinamika perubahan dalam sistem pendidikan Islam sejak masa penjajahan sampai saat ini, merupakan indikasi yang kuat bahwa sistem pendidikan Islam dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan masyarakat. Perubahan itu menggambarkan pula bahwa masyarakat Islam mampu melakukan pembaruan sistem pendidikan Islam yang mereka geluti.
Modernisme Pesantren
Kurang lengkap rasanya kalau membicaran pendidikan Islam di Indonesia tanpa memasukkan nama pesantren. Sejumlah pakar meyakini bahwa pesantren merupakan bentuk pendidikan Islam yang indigenous (asli) di negeri ini. Eksistensi pendidikan model pesantren ini, telah hidup dan berada dalam budaya bangsa Indonesia selama berabad-abad yang silam dan tetap bertahan hingga sekarang. Dari perjalanan sejarahnya yang cukup panjang itu, pesantren telah menjadi sumber inspirasi yang selalu menarik untuk diamati. Pesantren memiliki signifikansi yang tinggi untuk dilihat dari perspektif manapun.
Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam di Indonesia tentu telah mengalami proses perubahan dan modernisasi untuk dapat survive hari ini. Eksistensi pesantren pada saat ini bukan hanya karena memiliki potensi sebagai lembaga yang identik dengan makna ke-Islaman, tetapi juga karakter eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Dalam konteks pesantren, istilah modernisasi sebenarnya muncul dari dinamisasi yang ada dalam sistem pesantren itu sendiri. Dinamisasi, pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup yang telah ada, selain mencakup pula pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses pergantian nilai inilah yang disebut modernisasi. Sehingga dinamisasi pesantren merupakan suatu proses yang rumit dan memakan waktu lama karena tidak ada suatu konsep pun yang dapat disusun tanpa mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya kemudian. Di sini dapat dipahami bahwa perubahan yang dialami dalam sistem pendidikan  pesantren bukan berarti mengganti sistem tetapi masih tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang masih relevan dikembangkan pesantren di samping melakukan perbaikan-perbaikan ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang sering dijadikan dasar pola pikir pesantren sebagai berikut:
الْمُحَا فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالأَخْذُ بِالْجَدِيْدِالأَصْلَح
Memelihara hal yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Untuk itu, dalam modernisasi sistem pendidikan pesantren tidak akan ditemui suatu konsep final tentang perubahan sistem pendidikan pesantren, tetapi gambaran-gambaran umum mengenai langkah apa saja yang telah diambil dalam proses modernisasi sistem pendidikan pesantren.
Pesantren Global
Di tengah kehidupan era globalisasi terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan secara meluas melalui media massa, tampak ada satu fenomena mencemaskan. Infiltrasi budaya asing terasa berat menghimpit. Pengaruhnya tampak kepada perubahan perilaku masyarakat. Pengagungan kekuatan materi (materialistic) secara berlebihan, sangat kentara. Kecenderungan memisah kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik) mulai menjadi-jadi. Pemujaan kesenangan indera, mengejar kenikmatan badani (hedonistik), mulai susah menghindari.
Globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan demokratisasi dan tuntunan penegakan hak asasi manusia (HAM), tidak hanya mengubah tatanan budaya dan pola perilaku manusia, melainkan juga mendorong munculnya berbagai gagasan baru keagamaan (religiusitas), spiritualitas, dan nilai-nilai sosial (Abdul Munir Mulkhan, 2002). Pada gilirannya hal ini memberi pengaruh yang signifikan pada kerja pendidikan, seperti halnya dihadapi oleh apa yang selama ini dikenal sebagai “pendidikan Islam”.
Sulit membayangkan bagaimana posisi dunia pesantren ketika tiba-tiba harus hidup di tengah masyarakat global dengan budaya dan peradaban hiburan yang penuh kesenangan imajiner (kebebasan pikiran) dan maya (segala sesuatu yang dapat dibayangkan). Dalam kebudayaan atau peradaban global seperti itu, hubungan antar manusia tidak lagi bersifat langsung melainkan melalui benda teknologi komunikasi seperti komputer (termasuk handphone dan internet).
Di sisi lain, pada saat yang sama perubahan demi perubahan berlangsung begitu dramatis dalam hitungan sekon. Satu menit sudah terlampau lamban. Manusia yang gagal atau tidak berani berpikir dan bertindak kreatif, dengan cepat menjadi manusia masa lalu yang tak dihitung bahwa ia ada dan masih hidup. Kekreatifan itu bahkan menjadi sangat cepat mirip dengan ketidakpastian.
Menurut M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Pondok Pesantren”, secara tak sengaja, dunia pesantren telah mengalami perubahan radikal terutama selama modernisasi pembangunan nasional pada masa pemerintahan Orde Baru. Telah lahir sosok baru pesantren yang seolah masih mencoba kukuh seperti moyangnya tetapi sekaligus berada di dalam tubuh dan pikiran baru. Jika dulu pesantren diidentifikasi sebagai sosok mandiri dan wiraswasta (interprener) serta bebas dari ketergantungan dengan kekuasaan pemerintah, sejak beberapa dekade lalu amat sulit menemukan pribadi pesantren yang bebas dari orientasi priyayi yang bekerja menjual jasa kepada pemerintah untuk memperoleh gaji.
Jika pesantren lama memang menarik untuk diposisikan kembali, namun memerlukan sejumlah manajemen dan sistem yang mempunyai akses kepada peradaban hiburan, maya dan imajiner dengan teknologi komunikasi. Dunia baru pesantren mungkin juga penting untuk dijadikan dasar tumbuhnya daya rasional merancang sebuah perubahan yang disengaja. Akar dari kedua proyek besar itu perlu dibangun dengan kesediaan dan keberanian untuk mengkritisi kembali terhadap seluruh pemahaman di dalam sistem kepercayaan (akidah) dan ritual syari’ah yang dibuat oleh ulama sebelas ribu tahun yang lalu.
Dalam hubungan itulah dunia pesantren menjadi bertanggungjawab untuk mengembangkan sebuah sistem akidah dan ibadah ritual yang lebih kreatif dan bisa diubah setiap saat di mana perlu. Hanya jika kita bersedia berdialog secara bebas, jujur, dan ikhlas dengan wahyu dan sunnah yang lebih generik mungkin bisa dikembangkan sebuah posisi baru pesantren yang jauh melampaui perkembangan peradaban hiburan yang maya dan imajiner. Dunia global sedang berada di dalam masa transisi luar biasa seriusnya yang jika mengharapkan santri dan dunia pesantren dapat menjelaskan kembali manfaat dan pentingnya Islam.
Mengoptimalkan kontribusi pesantren
Pengembangan sains di lingkungan pesantren masih jadi barang asing. Sebagian mereka menganggap, belajar sains hanyalah sampingan. Yang utama belajar agama. Tentu agama dalam pengertian sempit. “Ah di akhirat nanti nggak ditanya soal kimia kok.” Kata Dr. Ibnul Qayim, dosen IPB Bogor, sebagaimana termaktub dalam buku yang berjudul “Etos Kerja Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam” karya Asrori S. Karni, mengutip komentar seorang santri yang baru masuk IPB. Belum terbangun kesadaran bahwa belajar sains juga bagian dari ibadah.
Tak terhitung jumlah santri unggulan lulusan pesantren yang memberi sumbangan signifikan sepanjang perjalanan negeri ini. tak terbilang jumlah santri unggulan cetakan pesantren yang dipercaya menjadi pimpinan lembaga tinggi negara, terpilih masuk jajaran kabinet, menjadi tokoh kunci pemberdayaan publik, pimpinan puncak simpul masyarakat sipil, atau pejuang pendidikan di pedalaman atau pulau terpencil. Ribuan pesantren di Nusantara telah berjasa membuka akses jutaan anak bangsa paling marginal, baik secara ekonomi maupun intelektual, untuk menjalani proses pembelajaran.
Hanya saja, seluruh catatan prestasi itu selama ini dicapai melalui proses sporadis, manajemen sekadarnya, lebih sebagai hasil kerja keras orang perorang, belum menjadi gerakan kolektif, dan nyaris tanpa uluran tangan signifikan pemerintah. Akibatnya, arus utama pesantren masih terperangkap dalam ketertinggalan mutu, keterpurukan daya saing, bahkan ancaman kepunahan. Sebagian pesantren segan hidup, mati pun enggan. Kiprah pesantren melahirkan manusia unggulan dari berbagai pelosok Nusantara dioptimalkan dalam program terencana, terkelola profesional, dan termonitor dengan standar tinggi.
Dalam permasalahan ijazah kini tidak bisa disepelekan. Apakah pesantren tidak mengeluarkan ijazah? Pesantren mengeluarkan ijazah, tapi ijazah itu belum tentu diakui pemerintah. Pengakuan pemerintah, selama ini, bagi banyak pesantren, bukanlah prioritas. Bahkan, banyak pesantren beroposisi terhadap kebijakan pendidikan pemerintah. Hal itu merupakan pengejawantahan watak pesantren yang pada dasarnya mandiri. Pesantren mengembangkan kurikulum sendiri, dan banyak yang tak mau dicampuri pemerintah.
Belakangan, pesantren juga harus peduli memikirkan nasib alumninya. Maka itu, sejumlah pesantren mengikuti mekanisme mu’adalah alias penyetaraan. Agar ruang gerak alumninya lebih leluasa. Payung hukum mua’adalah juga tersedia. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6) menyatakan, “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Proses penyetaraan dilakukan melalui mekanisme seleksi dengan kriteria tertentu. Tak semua pesantren bisa memperoleh status mu’adalah. Standar kriteria mu’adalah antara lain: Pertama, penyelenggara pesantren harus berbentuk yayasan atau organisasi berbadan hukum. Kedua, terdaftar sebagai lembaga pendidikan pesantren pada Departemen Agama (Depag) dan tidak menggunakana kurikulum Depag atau Departemen Pendidikan (Depdiknas).
Ketiga, tersedianya kompenen penyelenggaraan pendidikan, seperti tenaga kependidikan, santri, kurikulum, ruang belajar, buku pelajaran, dan sarana pendukung lainnya. Keempat, jenjang pendidikannya sederajat Madrasah Aliyah, dengan lama pendidikan tiga tahun setamat Tsanawiyah dan enam tahun setamat Ibtidaiyah.
Kebangkitan Kaum Santri
Santri, menurut Dr. Hj. Binti Maunah dalam bukunya yang berjudul “Tradisi Intelektual Santri: dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan” menjelaskan bahwa elemen ini adalah sebagai obyek dari pelaksanaan pendidikan di pesantren itu sendiri (Binti Maunah, 2009). Santri adalah para murid yang belajar ke-Islaman dari kiai. Elemen ini sangat penting karena tanpa santri, kiai akan seperti raja tanpa rakyat. Santri adalah sumber daya manusia yang tidak saja mendukung keberadaan pesantren, tetapi juga menopang pengaruh kiai dalam masyarakat. Jika saja tanpa santri, maka tidak akan terjadi proses pendidikan dalam pesantren, dan tanpa santri pula pesantren tidak dapat berdiri.
Dr. Abdul Munir Mulkhan mengatakan bahwa fenomena menarik dalam perpolitikan nasional ialah tampilnya elite santri sebagai petinggi republik dalam posisi sebagai Presiden, Ketua MPR dan Ketua DPR. Namun, terlalu pagi untuk menyatakan hal itu sebagai pertanda kebangkitan kaum santri, ketika banyak persoalan krisis kebangsaan dan nasionalitas serta perekonomian negara ini belum juga memperoleh titik-terang penyelesaian. Persoalan paling serius ialah ancaman disintegrasi dan berbagai kerusuhan berbau SARA yang melibatkan gerakan fundamentalisme Islam justru ketika republik ini dipresideni tokoh santri, tidak banyak berbeda dari gejala radikalisme di awal kemerdekaan. Elite santri sendiri nampak tetap berbeda-beda dalam mencari cara menyelesaikan krisis bangsa ini. mereka juga berbeda di dalam memilih cara memenangkan perjuangan politik hingga bentuk ideal kenegaraan serta model pemerintahan yang demokratis.
D.    Kesimpulan
 Saat ini, pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada suasana yang kompleks. Secara kuantitas di mana- mana tumbuh subur berbagai lembaga yang mengatas namakan lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan tinggi, sampai kursus-kursus bahkan yang berlabelkan pondok pesantren. Namun, kemajuan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak dibarengi dengan kemajuan kualitas atau mutu, yakni kemampuan untuk mengatasi berbagai persoalan serius bangsa. Persoalan ini semakin paralel dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang sedang dihadapkan pada problem sekaligus tantangan global.
Mensoroti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia maka sangat dibutuhkan peran problem solving yang memiliki strategi jitu agar dapat bersaing dengan baik di era globalisasi ini. Dengan demikian maka akan lahir manusia-manusia pemikir yang cerdas, berkarakter, kreatif, dan imajinatif. Yang mana akan menjadi agent social of change dan tidak akan ada lagi pengangguran berpendidikan. Kemudian dalam konteks keagamaan, pesantren sebagai lembaga pendidikan Indonesia juga harus mampu bersaing dalam menghadapi era modern. Selain dapat mencetak santri-santri yang memiliki unggah-ungguh dan memiliki jiwa tawadhu’ yang tinggi, santri juga harus mampu mengasah ide-ide dan ilmu pengetahuannya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
      Beberapa puluh tahun yang lalu pesantren di Indonesia dianggap sebagai pendidikan yang berkualitas oleh masyarakat. Namun, jika kita amati sekarang minat masyarakat terhadap pesantren semakin sedikit atau malah dipandang sebelah mata. Karena mereka beranggapan bahwa pendidikan pesantren tidak memiliki orientasi ke depan. Sehingga masyarakat cenderung lebih memilih model pendidikan yang lulusannya siap bekerja di dunia industri, perkantoran atau menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu pondok pesantren selama ini memang dikhususkan untuk mencetak ulama guna mengembangkan agama saja sehingga kurang mampu memenuhi tuntutan pasaran kerja masyarakat modern yang berbasiskan skill, ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi modern.  Menanggapi problem tersebut maka didirikanlah sekolah-sekolah umum berbasis Islam yang berada di bawah naungan pesantren atau sering di sebut dengan pondok modern.
Adanya kemampuan mempertahankan tradisi lama yang baik yang disertai dengan keterbukaan untuk menerima hal-hal baru inilah yang akan mengembalikan kejayaan Islam, bukan hanya dalam aspek ritual saja tetapi eksistensi Islam akan terus memberi warna dan menerangi dunia dalam kegelapan di  bidang pendidikan, sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Hanya dengan demikian pesantren akan melahirkan ulama yang bukan hanya menguasai ilmu agama saja tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang dibutuhkan oleh manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang dan meraih kesempurnaan Islam sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia.






















DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga.
Jalaluddin dan Ramayulis. 1998. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Karni, Asrori S.. 2009. Etos Kerja Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Maimunah, Binti. 2009. Tradisi Intelektual Santri: dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan. Yogyakarta: Teras.
Masyud, M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Muthohar, Ahmad. 2007. Ideologi Pendidikan Pesantren: Pesantren di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Raharjo. 2012. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Umiarso dan Nur Zazin. 2011. Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan. Rasail Media Group.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar