Oleh:
Umi Mukaromah
A.
Abstrak
Pesantren, jika disandingkan dengan
lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua
saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang asli. Pendidikan ini
semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat
Islam di Nusantara pada abad ke-!3. beberapa abad kemudian penyelenggaraan
pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk
ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para
pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih
sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat
bergengsi.
Mempertimbangkan
proses perubahan yang terjadi di pesantren, tampak bahwa hingga dewasa ini
lembaga tersebut telah memberi kontribusi penting dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan, baik yang
masih mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya maupun yang sudah
mengalami perubahan, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dari waktu ke waktu, pesantren semakin tumbuh dan berkembang
kuantitas maupun kualitasnya. Tidak sedikit dari masyarakat yang masih menaruh
perhatian besar terhadap pesantren sebagai pendidikan alternatif. Terlebih lagi
dengan berbagai inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan
mengadopsi corak pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin kompetitif untuk
menawarkan pendidikan ke khalayak masyarakat. Meski sudah melakukan berbagai
inovasi pendidikan, sampai saat ini pesantren tidak kehilangan karakteristiknya
yang unik yang membedakan dirinya dengan model pendidikan umum yang diformulasikan
dalam bentuk sekolahan.
Terkait dengan pembangunan di bidang
pendidikan, pesantren dalam praksisnya sudah memainkan peran penting dalam
setiap proses pelaksanaan kegiatan tersebut. Para kiai dan ulama
yang selama ini menjadi figuran dalam masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar
sosok yang dikenal sebagai guru, senantiasa peduli dengan lingkungan sosial
masyarakat di sekitarnya. Mereka biasanya memiliki komitmen tersendiri untuk
turut melakukan gerakan transformasi sosial melalui pendekatan keagamaan.
Pada era otonomi
daerah sekarang ini, keberadaan pesantren kembali menemukan momentum
relevansinya yang cukup besar untuk memainkan kiprahnya sebagai elemen penting
dalam proses pembangunan sosial. Terlebih pusat yang cukup besar. Keberadaan
pesantren menjadi partner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk
bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi
pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang cakap
dan berakhlakul karimah.
Kata Kunci:
Spiritualisme, Globalisme, Pesantren, Santri
B.
Latar Belakang
Dulu, banyak orang belajar belasan tahun ke
pesantren tanpa memikirkan ijazah. Niatnya tulus berburu ilmu, agar bermanfaat
dunia-akhirat. Kini, banyak urusan bakal susah bila tanpa ijazah. Bukan asal
ijazah, harus ijazah yang diakui pemerintah. Dalam penelitian Asrori S. Karni
mengemukakan, ada lulusan pesantren kondang, Sidogiri, Pasuruan, sudah jadi
mubaligh kenamaan, wawasan agamanya tak diragukan, tapi ditolak saat melamar
jadi guru Madrasah Ibtidaiyah (MI), hanya karena tak punya ijazah yang diakui
pemerintah.
Ada santri brilian, lulusan pesantren modern
Pabelan, Magelang, bahasa Inggris-Arabnya jagoan, pernah terpilih dalam program
pertukaran pelajar ke negeri Paman Sam, tapi mengalami kesulitan waktu mau
mendaftar jadi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, pada akhir
1970-an, lantaran ijazah pesantrennya tidak diakui pemerintah. Beruntung, ada
sahabat pendiri Pabelan yang menjadi dosen berpengaruh di IAIN, sehingga si
santri bisa dibantu lolos tes.
Argumennya sederhana: kalau lulusan SMA boleh
masuk IAIN, mengapa lulusan pesantren yang jempolan berbahasa Arab, tidak boleh
masuk. Hanya saja, banyak tamatan pesantren lainnya yang tidak seberuntung
alumnus Pabelan tadi. Mereka pernah ditolak masuk perguruan tinggi agama Islam
di dalam negeri. Ironisnya, saat mereka daftar ke universitas-universitas papan
atas di Timur Tengah di terima.
Kini ijazah bukan hanya diperlukan untuk melamar
pekerjaan dan melanjutkan studi. Ijazah juga disyaratkan untuk mendaftar jadi
calon anggota parlemen, calon bupati, bakal walikota, dan calon gubernur.
Maklum, di tengah keterbukaan politik pasca Orde Baru, banyak lulusan pesantren
makin lincah berkiprah di panggung politik. Sejumlah kiai terpilih menjadi
bupati atau gubernur. Bahkan, seorang kiai yang tak lulus kuliah di Kairo dan
Baghdad sempat terpilih jadi presiden. Belum lagi, puluhan santri dan kiai yang
menyesaki gedung DPR dan DPRD.
C.
Pembahasan
Spiritualitas di Tengah Perubahan Sosial
Ketahanan suatu ide dan pandangan atau paham
di dalam diri orang atau kelompok sosial ditentukan oleh posisi dan seberapa ia
berakar di dalam dunia batinnya. Wawasan Nusantara akan tetap segar jika
memiliki daya spriritual dan kesadaran hidup di dalam diri orang atau warga
bangsa. Wawasan Nusantara seharusnya selalu disegarkan kembali dan didialogkan
bersama seluruh warga suatu bangsa tersebut.
Abdul Munir Mulkhan dalam karyanya yang
berjudul “Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan
Islam” mengemukakan bahwa wawasan Nusantara yang sekadar berhenti sebagai
doktrin ideologis kenegaraan lebih bersifat politis dan kurang memiliki akar di
dalam kesadaran hidup warga daripada jika ia tumbuh sebagai sebuah kesadaran
budaya. Demikian pula, jika wawasan Nusantara hanya berhenti sebagai wacana
intelektual, maka ia akan lebih bersifat tidak alami.
Mengamati perkembangan system pendidikan Islam di Indonesia dari
masa penjajahan sampai masa kini, tergambar jelas bahwa sistem
pendidikan Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pendidikan nasional (Sjafri Sairin, 2002). Perubahan dan penyesuaian yang
terjadi dalam berbagai aspek sistem pendidikan
Islam tradisional, seperti pesantren, memperkuat kesan bahwa sistem
pendidikan Islam merupakan bagian penting dari sistem
pendidikan nasional. Terjadinya dinamika perubahan dalam sistem
pendidikan Islam sejak masa penjajahan sampai saat ini, merupakan indikasi yang
kuat bahwa sistem pendidikan Islam dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan
perkembangan masyarakat. Perubahan itu menggambarkan pula bahwa masyarakat
Islam mampu melakukan pembaruan sistem pendidikan Islam yang mereka geluti.
Modernisme Pesantren
Kurang lengkap rasanya kalau membicaran
pendidikan Islam di Indonesia tanpa memasukkan nama pesantren. Sejumlah pakar
meyakini bahwa pesantren merupakan bentuk pendidikan Islam yang indigenous
(asli) di negeri ini. Eksistensi pendidikan model pesantren ini, telah hidup
dan berada dalam budaya bangsa Indonesia selama berabad-abad yang silam dan
tetap bertahan hingga sekarang. Dari perjalanan sejarahnya yang cukup panjang
itu, pesantren telah menjadi sumber inspirasi yang selalu menarik untuk
diamati. Pesantren memiliki signifikansi yang tinggi untuk dilihat dari
perspektif manapun.
Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam di
Indonesia tentu telah mengalami proses perubahan dan modernisasi untuk dapat survive
hari ini. Eksistensi pesantren pada saat ini bukan hanya karena memiliki
potensi sebagai lembaga yang identik dengan makna ke-Islaman, tetapi juga
karakter eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengandung makna
keaslian Indonesia (indigenous).
Dalam konteks pesantren, istilah modernisasi
sebenarnya muncul dari dinamisasi yang ada dalam sistem pesantren itu sendiri.
Dinamisasi, pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali
nilai-nilai hidup yang telah ada, selain mencakup pula pergantian nilai-nilai
lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses
pergantian nilai inilah yang disebut modernisasi. Sehingga dinamisasi pesantren
merupakan suatu proses yang rumit dan memakan waktu lama karena tidak ada suatu
konsep pun yang dapat disusun tanpa mengalami perubahan-perubahan dalam
pelaksanaannya kemudian. Di sini dapat dipahami bahwa perubahan yang dialami
dalam sistem pendidikan pesantren bukan
berarti mengganti sistem tetapi masih tetap mempertahankan nilai-nilai lama
yang masih relevan dikembangkan pesantren di samping melakukan
perbaikan-perbaikan ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
yang sering dijadikan dasar pola pikir pesantren sebagai berikut:
الْمُحَا
فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالأَخْذُ بِالْجَدِيْدِالأَصْلَح
Memelihara hal yang baik dan mengambil hal baru yang
lebih baik.
Untuk itu, dalam modernisasi sistem pendidikan
pesantren tidak akan ditemui suatu konsep final tentang perubahan sistem
pendidikan pesantren, tetapi gambaran-gambaran umum mengenai langkah apa saja
yang telah diambil dalam proses modernisasi sistem pendidikan pesantren.
Pesantren Global
Di tengah kehidupan era globalisasi terjadinya interaksi dan
ekspansi kebudayaan secara meluas melalui media massa, tampak ada satu fenomena
mencemaskan. Infiltrasi budaya asing terasa berat menghimpit. Pengaruhnya
tampak kepada perubahan perilaku masyarakat. Pengagungan kekuatan materi
(materialistic) secara berlebihan, sangat kentara. Kecenderungan memisah kehidupan duniawi dari supremasi agama
(sekularistik) mulai menjadi-jadi. Pemujaan kesenangan indera, mengejar
kenikmatan badani (hedonistik), mulai susah menghindari.
Globalisasi peradaban yang meluas beriringan
dengan demokratisasi dan tuntunan penegakan hak asasi manusia (HAM), tidak
hanya mengubah tatanan budaya dan pola perilaku manusia, melainkan juga
mendorong munculnya berbagai gagasan baru keagamaan (religiusitas),
spiritualitas, dan nilai-nilai sosial (Abdul Munir Mulkhan, 2002). Pada
gilirannya hal ini memberi pengaruh yang signifikan pada kerja pendidikan,
seperti halnya dihadapi oleh apa yang selama ini dikenal sebagai “pendidikan
Islam”.
Sulit membayangkan
bagaimana posisi dunia pesantren ketika tiba-tiba harus hidup di tengah
masyarakat global dengan budaya dan peradaban hiburan yang penuh kesenangan
imajiner (kebebasan pikiran) dan maya (segala sesuatu yang dapat dibayangkan).
Dalam kebudayaan atau peradaban global seperti itu, hubungan antar manusia
tidak lagi bersifat langsung melainkan melalui benda teknologi komunikasi
seperti komputer (termasuk handphone dan internet).
Di sisi lain, pada
saat yang sama perubahan demi perubahan berlangsung begitu dramatis dalam
hitungan sekon. Satu menit sudah terlampau lamban. Manusia yang gagal atau
tidak berani berpikir dan bertindak kreatif, dengan cepat menjadi manusia masa
lalu yang tak dihitung bahwa ia ada dan masih hidup. Kekreatifan itu bahkan
menjadi sangat cepat mirip dengan ketidakpastian.
Menurut M. Sulthon
Masyud dan Moh. Khusnurdilo dalam bukunya yang berjudul “Manajemen
Pondok Pesantren”, secara tak sengaja, dunia pesantren telah mengalami
perubahan radikal terutama selama modernisasi pembangunan nasional pada masa
pemerintahan Orde Baru. Telah lahir sosok baru pesantren yang seolah masih
mencoba kukuh seperti moyangnya tetapi sekaligus berada di dalam tubuh dan
pikiran baru. Jika dulu pesantren diidentifikasi sebagai sosok mandiri dan
wiraswasta (interprener) serta bebas dari ketergantungan dengan kekuasaan
pemerintah, sejak beberapa dekade lalu amat sulit menemukan pribadi pesantren
yang bebas dari orientasi priyayi yang bekerja menjual jasa kepada pemerintah
untuk memperoleh gaji.
Jika pesantren lama
memang menarik untuk diposisikan kembali, namun memerlukan sejumlah manajemen
dan sistem yang mempunyai akses kepada peradaban hiburan, maya dan imajiner
dengan teknologi komunikasi. Dunia baru pesantren mungkin juga penting untuk
dijadikan dasar tumbuhnya daya rasional merancang sebuah perubahan yang
disengaja. Akar dari kedua proyek besar itu perlu dibangun dengan kesediaan dan
keberanian untuk mengkritisi kembali terhadap seluruh pemahaman di dalam sistem
kepercayaan (akidah) dan ritual syari’ah yang dibuat oleh ulama sebelas ribu
tahun yang lalu.
Dalam hubungan
itulah dunia pesantren menjadi bertanggungjawab untuk mengembangkan sebuah
sistem akidah dan ibadah ritual yang lebih kreatif dan bisa diubah setiap saat
di mana perlu. Hanya jika kita bersedia berdialog secara bebas, jujur, dan
ikhlas dengan wahyu dan sunnah yang lebih generik mungkin bisa dikembangkan
sebuah posisi baru pesantren yang jauh melampaui perkembangan peradaban hiburan
yang maya dan imajiner. Dunia global sedang berada di dalam masa transisi luar
biasa seriusnya yang jika mengharapkan santri dan dunia pesantren dapat
menjelaskan kembali manfaat dan pentingnya Islam.
Mengoptimalkan
kontribusi pesantren
Pengembangan sains di lingkungan pesantren masih jadi barang asing.
Sebagian mereka menganggap, belajar sains hanyalah sampingan. Yang utama
belajar agama. Tentu agama dalam pengertian sempit. “Ah di akhirat nanti nggak
ditanya soal kimia kok.” Kata Dr. Ibnul Qayim, dosen IPB Bogor, sebagaimana
termaktub dalam buku yang berjudul “Etos Kerja Kaum Santri: Wajah Baru
Pendidikan Islam” karya Asrori S. Karni, mengutip komentar seorang santri yang
baru masuk IPB. Belum terbangun kesadaran bahwa belajar sains juga bagian dari
ibadah.
Tak terhitung jumlah santri unggulan lulusan pesantren yang memberi
sumbangan signifikan sepanjang perjalanan negeri ini. tak terbilang jumlah
santri unggulan cetakan pesantren yang dipercaya menjadi pimpinan lembaga
tinggi negara, terpilih masuk jajaran kabinet, menjadi tokoh kunci pemberdayaan
publik, pimpinan puncak simpul masyarakat sipil, atau pejuang pendidikan di
pedalaman atau pulau terpencil. Ribuan pesantren di Nusantara telah berjasa
membuka akses jutaan anak bangsa paling marginal, baik secara ekonomi maupun
intelektual, untuk menjalani proses pembelajaran.
Hanya saja, seluruh catatan prestasi itu
selama ini dicapai melalui proses sporadis, manajemen sekadarnya, lebih sebagai
hasil kerja keras orang perorang, belum menjadi gerakan kolektif, dan nyaris
tanpa uluran tangan signifikan pemerintah. Akibatnya, arus utama pesantren
masih terperangkap dalam ketertinggalan mutu, keterpurukan daya saing, bahkan
ancaman kepunahan. Sebagian pesantren segan hidup, mati pun enggan. Kiprah
pesantren melahirkan manusia unggulan dari berbagai pelosok Nusantara dioptimalkan
dalam program terencana, terkelola profesional, dan termonitor dengan standar
tinggi.
Dalam permasalahan ijazah kini tidak bisa
disepelekan. Apakah pesantren tidak mengeluarkan ijazah? Pesantren mengeluarkan
ijazah, tapi ijazah itu belum tentu diakui pemerintah. Pengakuan pemerintah,
selama ini, bagi banyak pesantren, bukanlah prioritas. Bahkan, banyak pesantren
beroposisi terhadap kebijakan pendidikan pemerintah. Hal itu merupakan
pengejawantahan watak pesantren yang pada dasarnya mandiri. Pesantren
mengembangkan kurikulum sendiri, dan banyak yang tak mau dicampuri pemerintah.
Belakangan, pesantren juga harus peduli
memikirkan nasib alumninya. Maka itu, sejumlah pesantren mengikuti mekanisme
mu’adalah alias penyetaraan. Agar ruang gerak alumninya lebih leluasa. Payung
hukum mua’adalah juga tersedia. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6) menyatakan, “Hasil pendidikan nonformal
dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Proses penyetaraan dilakukan melalui mekanisme
seleksi dengan kriteria tertentu. Tak semua pesantren bisa memperoleh status
mu’adalah. Standar kriteria mu’adalah antara lain: Pertama,
penyelenggara pesantren harus berbentuk yayasan atau organisasi berbadan hukum.
Kedua, terdaftar sebagai lembaga pendidikan pesantren pada Departemen
Agama (Depag) dan tidak menggunakana kurikulum Depag atau Departemen Pendidikan
(Depdiknas).
Ketiga, tersedianya kompenen penyelenggaraan
pendidikan, seperti tenaga kependidikan, santri, kurikulum, ruang belajar, buku
pelajaran, dan sarana pendukung lainnya. Keempat, jenjang pendidikannya
sederajat Madrasah Aliyah, dengan lama pendidikan tiga tahun setamat Tsanawiyah
dan enam tahun setamat Ibtidaiyah.
Kebangkitan Kaum Santri
Santri, menurut Dr.
Hj. Binti Maunah dalam bukunya yang berjudul “Tradisi Intelektual Santri: dalam
Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan” menjelaskan bahwa
elemen ini adalah sebagai obyek dari pelaksanaan pendidikan di pesantren itu
sendiri (Binti Maunah, 2009). Santri adalah para murid yang belajar ke-Islaman
dari kiai. Elemen ini sangat penting karena tanpa santri, kiai akan seperti
raja tanpa rakyat. Santri adalah sumber daya manusia yang tidak saja mendukung
keberadaan pesantren, tetapi juga menopang pengaruh kiai dalam masyarakat. Jika
saja tanpa santri, maka tidak akan terjadi proses pendidikan dalam pesantren,
dan tanpa santri pula pesantren tidak dapat berdiri.
Dr. Abdul Munir
Mulkhan mengatakan bahwa fenomena menarik dalam perpolitikan nasional ialah
tampilnya elite santri sebagai petinggi republik dalam posisi sebagai Presiden,
Ketua MPR dan Ketua DPR. Namun, terlalu pagi untuk menyatakan hal itu sebagai
pertanda kebangkitan kaum santri, ketika banyak persoalan krisis kebangsaan dan
nasionalitas serta perekonomian negara ini belum juga memperoleh titik-terang
penyelesaian. Persoalan paling serius ialah ancaman disintegrasi dan berbagai
kerusuhan berbau SARA yang melibatkan gerakan fundamentalisme Islam justru
ketika republik ini dipresideni tokoh santri, tidak banyak berbeda dari gejala
radikalisme di awal kemerdekaan. Elite santri sendiri nampak tetap berbeda-beda
dalam mencari cara menyelesaikan krisis bangsa ini. mereka juga berbeda di
dalam memilih cara memenangkan perjuangan politik hingga bentuk ideal
kenegaraan serta model pemerintahan yang demokratis.
D.
Kesimpulan
Saat
ini, pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada suasana yang kompleks.
Secara kuantitas di mana- mana tumbuh subur berbagai lembaga yang mengatas
namakan lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan tinggi,
sampai kursus-kursus bahkan yang berlabelkan pondok pesantren. Namun, kemajuan
kuantitas lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak dibarengi dengan kemajuan
kualitas atau mutu, yakni kemampuan untuk mengatasi berbagai persoalan serius
bangsa. Persoalan ini semakin paralel dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini
yang sedang dihadapkan pada problem sekaligus tantangan global.
Mensoroti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia maka sangat
dibutuhkan peran problem solving yang memiliki strategi jitu agar dapat
bersaing dengan baik di era globalisasi ini. Dengan demikian maka akan lahir
manusia-manusia pemikir yang cerdas, berkarakter, kreatif, dan imajinatif. Yang
mana akan menjadi agent social of change dan tidak akan ada lagi
pengangguran berpendidikan. Kemudian dalam konteks keagamaan, pesantren sebagai
lembaga pendidikan Indonesia juga harus mampu bersaing dalam menghadapi era
modern. Selain dapat mencetak santri-santri yang memiliki unggah-ungguh dan
memiliki jiwa tawadhu’ yang tinggi, santri juga harus mampu mengasah
ide-ide dan ilmu pengetahuannya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Beberapa puluh tahun
yang lalu pesantren di Indonesia dianggap sebagai pendidikan yang berkualitas
oleh masyarakat. Namun, jika kita amati sekarang minat masyarakat terhadap
pesantren semakin sedikit atau malah dipandang sebelah mata. Karena mereka
beranggapan bahwa pendidikan pesantren tidak memiliki orientasi ke depan.
Sehingga masyarakat cenderung lebih memilih model
pendidikan yang lulusannya siap bekerja di dunia industri, perkantoran atau
menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu pondok pesantren selama
ini memang dikhususkan untuk mencetak ulama guna mengembangkan agama saja
sehingga kurang mampu memenuhi tuntutan pasaran kerja masyarakat modern yang
berbasiskan skill, ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi
modern. Menanggapi
problem tersebut maka didirikanlah sekolah-sekolah umum berbasis Islam yang
berada di bawah naungan pesantren atau sering di sebut dengan pondok modern.
Adanya kemampuan mempertahankan tradisi
lama yang baik yang disertai dengan keterbukaan untuk menerima hal-hal baru inilah
yang akan mengembalikan kejayaan Islam, bukan hanya dalam aspek ritual saja
tetapi eksistensi Islam akan terus memberi warna dan menerangi dunia dalam
kegelapan di bidang pendidikan, sosial,
budaya, politik, dan sebagainya. Hanya dengan demikian pesantren akan
melahirkan ulama yang bukan hanya menguasai ilmu agama saja tetapi juga
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang dibutuhkan oleh manusia di
masa sekarang dan masa yang akan datang dan meraih kesempurnaan Islam sebagai
jalan keselamatan dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia
Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga.
Jalaluddin dan Ramayulis. 1998. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta:
Kalam Mulia.
Karni, Asrori S.. 2009. Etos Kerja Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan
Islam. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Maimunah, Binti. 2009. Tradisi Intelektual Santri: dalam Tantangan dan
Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan. Yogyakarta: Teras.
Masyud, M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo. 2003. Manajemen
Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual
Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: PT Tiara
Wacana.
Muthohar, Ahmad. 2007. Ideologi Pendidikan Pesantren: Pesantren di
Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Raharjo. 2012. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Umiarso dan Nur Zazin. 2011.
Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan. Rasail
Media Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar