Senin, 22 September 2014

TOLERANSI PERSPEKTIF KITAB-KITAB KLASIK DAN FILSAFAT ISLAM (SEBUAH KOMPARASI/TITIK TEMU)



Oleh:
Umi Mukaromah

A.    ABSTRAK
Saat ini kita tengah hidup di zaman global. Zaman di mana kita hidup dan berinteraksi di tengah masyarakat yang sangat plural dan majemuk. Tentu saja kita akan berhadapan dengan beragam komunitas yang mempunyai perbedaan, mulai dari budaya sampai dengan agama. Maka sebuah keniscayaan bahwa suka atau tidak suka kita harus berbaur demi menciptakan dinamika kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan.
Dalam perkembangannya nanti, interaksi tersebut akan meningkat pada level yang mungkin menyentuh area sensitif; akidah. Hal ini dikarenakan kompleksitas dalam masyarakat memaksa kita untuk berlaku fleksibel dengan tanpa meninggalkan identitas keagamaan kita.
Keberagaman merupakan sunnatullah yang tidak bisa diingkari di muka bumi pertiwi ini, maka dari itu tidak perlu dipersoalkan dan diributkan apabila terjadi perbedaan, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana sikap yang bijak dan proporsional dalam menghadapi hal ini. Istilah pluralistik dalam Al-Qur’an lebih dikenal dengan istilah “Rahmatall lil’alamin” yakni terutusnya Baginda Rasulullah SAW hanya semata-mata sebagai rahmat bagi alam semesta ini. “Rahmatall lil’alamin” mengandung dua lafadz, pertama “rahmat” yang bermakna kasih sayang. Tetapi Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuturkan bahwa “rahmat” memiliki makna nikmat, sehingga bagi siapapun yang menerima adanya pluralistik, niscaya akan bahagia di dunia dan akhirat. Adapun lafadz yang kedua adalah “al-‘alamin” hanya sebatas makhluk Allah yang berakal (manusia, jin, malaikat, dan syetan).
Istilah pluralisme agama merupakan kata yang ringkas untuk menggambarkan sebuah tatanan dunia baru di mana perbedaan budaya, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai membangkitkan bergairahnya berbagai ungkapan manusia yang tak akan kunjung habis sekaligus mengilhami konflik yang tak terdamaikan. Menyebut istilah pluralisme, telah menjadi semacam panggilan untuk suatu seruan bagi warga negara dunia untuk berdamai dengan perbedaan mereka.
Berpijak pada pemahaman tentang kebenaran, tema tentang pluralisme agama memang menjadi topik yang sangat ramai diperbincangkan di antara aktivis dialog antaragama yang berpandangan pluralis.
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility) (Budhy Munawar Rachman, 2004: 39).
Kata Kunci: Toleransi, Islam, Filsafat, Persaudaraan
B.     LATAR BELAKANG
Kita sering terperangkap dengan jebakan “toleransi antar umat beragama”, yang diartikan dengan mencampuradukkan ritual keagamaan. Jika umat lain merayakan hari besarnya, kita dianjurkan mengikutinya. Padahal sikap ini merupakan pengkhianatan terhadap keimanan dan ritual kita.
Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuradukkan keimanan dan ritual Islam dengan agama non Islam, tapi menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azaz terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Dalam komunitas yang kompleks dan majemuk, Islam selalu menganjurkan kepada kita untuk beragama. Meskipun berbeda keyakinan, kita harus bisa menciptakan suasana yang dinamis, damai, dan penuh dengan keakraban. Sikap anarkis dan mengklaim kebenaran mutlak tidak dibenarkan dalam Islam. Kehidupan yang beragam harus disikapi dengan sikap yang ramah dan familiar. Kenapa Islam sampai mengatur masalah demikian? Bahkan dari perkara yang nampaknya sepele. Tapi hal yang sepele pun bisa memberikan ekses yang luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Masih banyak kita jumpai umat muslim yang fanatik buta dalam menyikapi persoalan toleransi. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berasumsi bahwa mengucapkan selamat atau salam kepada pemeluk lain dianggap sebagai pengkhianatan terhadap akidah Islam. Ini fenomena yang patut disayangkan. Jika watak umat seperti ini maka tidaklah mengherankan jika banyak yang beranggapan bahwa umat muslim kaku dalam berinteraksi. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang santun menyapa ulama. Allah SWT menegaskan:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٨)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Mumtahanah: 8)
Hal ini, menjadi tugas kita untuk menjelaskan kepada masyarakat dunia, nilai-nilai Islam yang benar dan ajarannya yang sangat menghormati perbedaan dan keragaman. Toleransi adalah sebuah nilai yang sejatinya melekat sebagai ciri ajaran Islam. Karena dalam konteks masyarakat modern yang sangat beragam, toleransi menjadi kata kunci dalam membangun hubungan antara individu dan kelompok agar tercipta hubungan yang harmonis dan penuh kedamaian.
C.    PEMBAHASAN
1.      Islam dan Toleransi
Secara eksplisit, kata toleransi tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi padanan kata tersebut, al-tasảmuh dijumpai dalam tradisi prophetik Islam. Kata yang sesuai dengan akar kata al-tasảmuh ditemukan di dalam hadits, inni ursiltu bi al-hanifiyyat al-sahmah. Dalam hadis lain disebutkan;
أَحَبُّ الّدِّيْنِ إِلى اللهِ الحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحة ( فتح البارى : ۹٣ )
“Agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang berorientasi pada semangat  mencari kebenaran secara toleran dan lapang”.
Makna as-samhah, dalam konteks ini mengandung afinitas linguistik dengan tasâmuh atau samâha, sebuah terminologi Arab modern untuk merujuk pada toleransi. Hadis Nabi Muhammad SAW ini seringkali dipakai sebagai rujukan Islam untuk mendukung toleransi atas agama-agama lain, di mana beliau diutus Allah SWT untuk menyebarkan ajaran toleransi tersebut.
Toleransi dalam Islam merupakan persoalan yang menarik dan penting untuk dikaji, karena banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar” atau dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim. Lebih tragis dan ironis lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang Islam untuk mendukung eksistensi aliran sempalan bahkan sesat, baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antarumat beragama, padahal yang dikorbankan adalah akidah umat Islam.
Oleh karena itu, diperlukan kajian tentang bagaimana sesungguhnya konsep toleransi dalam Islam baik berdasarkan Alquran maupun Hadis, yang belakangan semakin dikaburkan. Umat Islam harus memahami secara  benar tentang konsep toleransi ini, sehingga tidak terjebak pada ketidaktahuan  dan menjadi sasaran empuk propaganda pemikiran yang merusak Islam.
2.      Toleransi dan Filsafat Islam
Toleransi Islam dibangun di atas Islamic worldview, pandangan dunia terhadap alam semesta. Dalam filsafat Islam dikenal ada al-haqq, yaitu Allah SWT dan ada al-haqq yang mencakup semua makhluk/ ciptaan. Ada yang wajib al-wujud (wajib adanya) dan ada yang wujud, yaitu yang diciptakan oleh wajib al-wujud. Al-haqq dan wajib al-wujud bersifat tunggal dan Esa, sedangkan seluruh al-haqq (ciptaan/ makhluk); benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, pemikiran dan lainnya yang selain Allah beragam.
Fatwa yang dikeluarkan MUI dalam Munas tahun 2005, dengan merujuk berbagai pandangan tokoh pluralisme seperti Diana Eck, Peter Berger, dan Isiah Belin, katanya fatwa MUI sangat simplisit dan mudah dipatahkan. Padahal pengertian pluralisme yang dimaksud oleh MUI adalah perkembangan ilmiah dan filosofis yang berkembang biak dalam kajian filsafat agama.  Tentu saja pluralisme dalam pengertian sosio-politis sebagai suatu sistem yang mengakui koeksistensi keagamaan kelompok, baik yang bercorak khas, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut, bisa diterima baik dalam sudut pandang keagamaan Islam. Yang diharamkan MUI tentu saja bukan dalam pengertian di atas, namun paham yang khas dalam dunia keilmuan filosofis yang telah dirintis oleh  John Hick dan para pengikutnya di dunia Islam seperti Sayyed H. Nasr, Rene Guenon, dan Fritchof Schoun, dan lain-lain.
Istilah pluralisme sering digunakan dalan studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, dan istilah itu telah menemukan definisinya sendiri yang berbeda dengan yang dimiliki semula (dictionary definition). John Hick misalnya menegaskan bahwa pluralisme adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap,  yang real atau yang maha agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi, dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing panata kultural manusia tersebut, dan terjadi sejauh yang dapat diamati sampai pada batas yang sama..
Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas berangkat dari pendekatan substantif yang mengungkung agama dalam ruang privat yang sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dalam pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenaran seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Bagi saya, sikap yang tepat adalah menerima kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini berbeda-beda dan beragam.
3.      Toleransi Perspektif Kitab-Kitab Klasik
Di dalam kitab “Minhajul Muslim”, disebutkan bahwa seluruh kepercayaan dan agama itu adalah batil (palsu) dan pemeluknya adalah kafir, kecuali agama Islam.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (Ali Imran: 19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran: 85).
Muslim Masuk Gereja
Gereja dalam konteks sekarang adalah tempat beribadah bagi umat Kristiani, yang hukum memasukinya bagi muslim adalah haram jika di tempat tersebut terdapat hal-hal yang diharamkan seperti terdapat tanda salib atau sedang dilaksanakan peribadatan atau syiar-syiar keagamaan mereka. Namun, jika tidak terdapat hal-hal yang diharamkan seperti hal di atas, maka hukum memasukinya boleh dengan catatan mendapatkan izin dari mereka (Nurhidayat bin Muhammad Nur: 69).
Termasuk dari vonis di atas adalah berpidato atau berkhutbah tentang keseragaman dan toleransi beragama di dalam gereja dengan dihadiri oleh segenap umat Kristiani. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh seorang yang dihormati dan menjadi panutan umat Islam. Vonis haram ini berdasarkan pada pernyataan bahwa hampir dapat dipastikan di tempat atau gereja tersebut terdapat tanda salib atau hal-hal yang menjadi ciri khas orang kafir. Namun, jika keadaannya sebaliknya hukum pun berubah menjadi sebaliknya, yakni boleh.
D’oa Bersama
Penyelenggaraan do’a bersama antarumat beragama, yang dulu pernah marak dilakukan di saat Indonesia mengalami krisis moneter, krisis kepercayaan, serta situasi dan kondisi negara sedang tidak menentu. Penyelenggaraan do’a tersebut biasanya dilaksanakan dengan alasan sebagai bentuk tanda perdamaian dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Muktamar NU di PP. Lirboyo nomer 419 memutuskan bahwa kegiatan do’a bersama tersebut adalah haram atau tidak boleh diadakan, kecuali jika isinya tidak bertentangan dengan syari’at Islam (Nurhidayat bin Muhammad Nur: 70).
Menurut saya, jawaban Muktamar tersebut kurang jelas dan terlalu global sekali, sehingga ketepatannya kami anggap tidak begitu mengena terhadap substansi pertanyaan yang ada. Meskipun jawaban tersebut tidak salah.
Untuk menjawab hal ini, menurut saya dapat ditilik melalui dua sudut pandang, yaitu berkumpul dengan mereka dalam satu majelis dan mengamini do’a mereka. Masalah hukum berkumpul dengan mereka dalam satu majelis untuk urusan berdo’a, dalam hal ini ulama masih memandang adanya khilafiyyah; Sebagian mengatakan haram, sementara yang lain mengatakan tidak mengapa. Bahkan, ada juga ulama yang mengatakan hanya makruh berkumpul dengan mereka. Sementara dalam urusan berdo’a bersama dengan mereka, agama pun tidak pernah melarang, baik berdo’a di tempat manapun dan dalam keadaan apapun.
Sedangkan masalah hukum mengamini do’a mereka, ulama sendiri juga masih berbeda pendapat, sebagian mengatakan haram secara mutlak, sementara yang lain men-tafsil-nya; Jika do’a yang di panjatkan isinya tidak majhul (di ketahui isinya), maka mengamini tidak masalah, bahkan sunat jika do’a tersebut bentuk meminta untuk dirinya sendiri supaya diberi hidayah dan atau kemenangan bagi kaum muslimin. Dan, apabila isi do’anya adalah haram, maka mengamininya sudah pasti haram.
ويكره إخرج الكفار للا ستسقاء لا نهم أعداء الله فلا يجوز أن يتوسل بهم اليه فان حضروا وتميزوا لم يمنعوا الا نهم جاء وا فى طلب الرزق ( المجموع :٦٦ )
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab “Al-Majmu” ulama masih memandang adanya khilafiyyah dia antaranya tidak boleh berdo’a  bersama dengan umat non muslim, karena do’a non muslim tidak diterima dan dilarang bertawasul dengan mereka. Kemudian makruh, jika perkumpulan tersebut berada di dalam mushola atau masjid, dan berbaurnya tersebut dilandasi hanya sekedar bergaul secara lahir saja tanpa ada tujuan. Boleh mengamini do’a bersama non muslim, bahkan sunah jika caranya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan isi do’anya memohon hidayah, pertolongan, dan menjalin hubungan baik di dunia, serta bermanfaat demi kemaslahatan umat, bahkan untuk mencegah timbulnya suatu madharat yang tidak diinginkan.
Mengucapkan dan Menjawab Salam
لَا تَبْدَؤُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَازى بِاالسَّلَامِ. فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقِ فَاضْطَرُوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ (مسلم : ۲۱٦٨ )
Sebagian madzhab fiqh berpendapat bahwa mengucapkan salam kepada orang kafir hukumnya haram. Berbeda dengan menjawabnya. Bagi seorang muslim, sekalipun dari non muslim hukumnya wajib dengan jawaban وَعَلَيْكُمْ atau عَلَيْكُمْ saja.
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا : وَعَلَيْكُمْ (مسلم : ۲۱٦٣ )
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا : وَعَلَيْكُمْ ( البخاري : ٦۲٥٨ )
Lain-lain
Tidak diperbolehkan mengganggu umat non muslim, baik dalam hal hartanya, darahnya, ataupun kehormatannya.
يَقُوْلُ اللهُ تَعَلَى: يَا عِبَادِي ا إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا. فَلَا تَظَا لَمُوْا ( مسلم : ۲٥۷۷ )
“Allah berfirman: ‘Wahai hamba-hamba-Ku, sesunggunya aku telah mengharamkan kedzaliman terhadap diri-Ku dan Aku telah menetapkannya di antara kalian sebagai sesuatu yang diharamkan, maka janganlah kalian saling mendzalimi’.”
Di dalam kitab “Minhajul  Muslim” juga dijelaskan bahwa seorang muslim tidak boleh tasyabbuh, menyelisihi, meniru-niru perilaku dan sikapnya dalam hal yang tidak penting, seperti memanjangkan jenggot apabila orang non muslim itu mencukurnya dan mewarnainya apabila ia tidak mewarnainya. Dan demikian pula menyelisihinya di dalam masalah berpakaian. Sebagaimana di jelaskan di dalam “Shahih Muslim” dan “Shahih Bukhari”.
أَحْفُوا الشَّوَا رِبَ وَأَعْفُوا اللْحَى ( مسلم : ۲٥۹ )
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللَّحَى، وَأخْفُوا الشَّوَارِبِ ( البخاري : ٥٦۹۲ )
غَيْرُوا هَذَا بِشَيْءٍ ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ ( مسلم : ۲۱۰۲ )
4.      Aspek-Aspek Toleransi Beragama
Pribadi yang memiliki toleransi adalah pribadi yang toleran. Seseorang yang memiliki toleransi beragama akan melihat perbedaan agama tidak sebagai pertentangan, apalagi permusuhan, melainkan sebagai suatu keniscayaan. Insan beragama yang toleran mampu menerima, menghargai, dan memberi kebebasan kelompok lain baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Beberapa aspek toleransi beragama diantaranya:
Penerimaan
Osborn menyatakan bahwa kunci dari toleransi adalah menerima orang apa adanya. Manifestasi dari toleransi adalah adanya kesediaan seseorang untuk menerima pendapat, nilai-nilai, perilaku orang lain yang berbeda dari diri sendiri. Hal tersebut berarti setiap golongan umat beragama menerima golongan agama lain tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan. Dan dengan adanya penerimaan akan berdampak positif bagi kehidupan keagamaan seseorang dalam masyarakat.
Penghargaan
Yaitu kesediaan untuk menghargai segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang. Kesediaan menghargai tersebut harus dilandasi oleh kepercayaan bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang atau golongan yang memonopoli kebenaran, dan landasan ini disertai catatan bahwa soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing.
Kesabaran
Bahwa wujud dari toleransi adalah kesediaan seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah atau bahkan keliru. Sikap semacam ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Juga tidak berarti acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan, melainkan lebih pada sikap hormat terhadap martabat manusia yang berbeda. Maka toleransi beragama dapat diartikan sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Kebebasan
Yakni kemauan seorang pemeluk suatu agama untuk memberi kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing.
Adapun beberapa faktor yang berpengaruh terhadap toleransi, antara lain:
a.       Kepribadian
Sebagaimana termaktub dalam buku yang berjudul “Toleransi terhadap Umat Kristiani”, ciri individu berkepribadian adalah bersifat sosial, santai, aktif, dan bersifat optimis. Dengan ciri-ciri tersebut maka individu cenderung bisa menjalin hubungan dengan outgroup.
b.      Lingkungan Pendidikan
Menurut teori belajar sosial, toleransi diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi tersebut, yakni lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
c.       Kontak Antarkelompok
Menurut Pettigrew menyatakan bahwa kontak dapat mengurangi intoleransi, dengan syarat: (1) kelompok tersebut setara dalam hal kedudukan sosial, ekonomi, dan status; (2) situasi kontak harus mendukung kerja sama; dan (3) bentuk kontak sebaiknya informal sehingga antaranggota saling mengenal sebagai individu dan bukan sebagai anggota kelompok tertentu.
d.      Fundamentalis Agama
Berdasarkan penelitian Denney dan Altemeyer menyatakan bahwa seseorang yang fundamentalisme agamanya tinggi cenderung berfikiran sempit, enggan untuk mempertanyakan keyakinan yang lain, dan tidak mampu mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda. Maka dapat diasumsikan bahwa fundamentalisme agama berpengaruh terhadap intoleransi pada pemeluk agama lain.
e.       Kontrol Diri
Seorang yang memiliki kontrol diri tinggi mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku, sehingga membawa kepada konsekuensi positif. Jadi dapat diasumsikan bahwa individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan lebih toleran terhadap pemeluk agama lain.
5.      Menciptakan Toleransi melalui Persaudaraan
Dalam hubungan sesama manusia diperlukan sebuah ikatan sosial dalam rangka menjaga keberlangsungan hidup yang damai dan toleran. Ikatan sosial tersebut biasanya dikenal dengan istilah ukhuwah dan tasamuh. Persaudaraan dan toleransi merupakan prasyarat untuk melahirkan sikap-sikap keberagamaan yang moderat.
Persaudaraan
Kedudukan persaudaraan dalam Islam adalah penting karena hal tersebut akan menjadi penyangga bagi tatanan yang kukuh dalam sebuah masyarakat. Tidak akan terbentuk sebuah masyarakat dan bangsa yang jaya jika di dalamnya tidak ada semangat gotong royong dan kebersamaan. Dalam tradisi Islam, silaturrahmi merupakan salah satu dimensi yang paling fundamental dalam membangun persaudaraan toleran. Sebab, silaturrahmi merupakan perintah yang membangun sikap keterbukaan dan dialog, serta yang terpenting dalam rangka menghindar dari upaya-upaya melakukan kerusakan di muka bumi.
Kyai Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya membangun persaudaraan dan toleransi dimulai dari keluarga. Pada hakikatnya silaturrahmi adalah persaudaraan dalam lingkungan keluarga. Jika kultur silaturrahmi dapat tumbuh subur, persaudaraan dalam konteks yang lebih luas akan tercapai, baik dalam konteks internal agama maupun antaragama dalam lingkup negara.
Dalam kacamata Islam, silaturrahmi akan memberikan dampak teologis dan sosiologis. Secara teologis, silaturrahmi diyakini akan menjadikan hidup lebih makmur, bahkan dapat memperpanjang usia.  Secara sosiologis, silaturrahmi sudah pasti dapat membangun relasi antar masyarakat yang lebih harmonis dan toleran.
Perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri. Yang perlu menjadi catatan, perbedaan tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk memupuk permusuhan, apalagi pertikaian dan konflik. Sikap keteladanan dalam persaudaraan amat dijunjung tinggi karena hal tersebut merupakan fundamen dalam agama yang harus ditegakkan sepanjang masa.
Toleransi merupakan sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa. Toleransi, baik sebagai paham maupun sikap hidup, harus memberikan nilai positif untuk kehidupan masyarakat yang saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keberagaman tersebut. Menurut UNESCO, toleransi adalah sikap saling menhormati, saling menerima dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi sudah menjadi konsensus global yang tidak bisa dielakkan lagi. Toleransi sudah menjadi sebuah fondasi untuk tatanan masyarakat yang damai dan berkeadaban. Intinya semakin masyarakat tersebut toleran, akan semakin mungkin untuk menggapai keberhasilan. Karena itu, toleransi menjadi sebuah keniscayaan, terutama dalam masyarakat plural.
Dalam tradisi Islam, toleransi dikenal dengan istilah al-samhah atau at-tasamuh. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Agama yang paling dicintai Allah SWT adalah agama yang lurus dan toleran.” Hadits ini merupakan sebuah komitmen Islam dalam membangun toleransi.
Perjuangan untuk membangun toleransi pada hakikatnya merupakan perjuangan eksistensial. Sebab, jika sebuah masyarakat semakin toleran, hal itu akan membangun sebuah masyarakat yang maju. Sebaliknya, jika masyarakat tidak mampu membangun toleransi, di mana kerap kali merebak aksi intoleransi, masyarakat tersebut akan berada dalam kubangan keterpurukan.
Poin penting yang harus diperhatikan adalah urgensi membangun nilai-nilai yang mencerminkan paham dan sikap yang toleran. Richard H. Dess, sebagaimana termaktub dalam buku yang berjudul “Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan”, memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural, yaitu toleransi sebagai nilai dan kebajikan. Masalah toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan “hitam di atas putih”. Toleransi pada level ini mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi karena rentan terjerembab dalam kepentingan kelompok tertentu, terutama bilamana pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi pada model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.
D.    KESIMPULAN
Dari beberapa konsep toleransi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan dengan gambaran sebuah bagan berikut ini:


Toleransi adalah kesediaan menghargai dan membolehkan pendirian, kepercayaan, dan tindakan seseorang yang berbeda atau bertentangan dengan yang dimilikinya. Toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan yang dianutnya. Sejalan dengan pengertia tersebut, maka toleransi agama dapat diartikan sebagai kesediaan seseorang untuk menghormati dan membolehkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini.
Toleransi hanya mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama lain absah akidahnya, valid, dan otentik. Singkatnya, toleransi yaitu menghargai perbedaan.























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Atsqalani. 1991. Fathul Baari Juz I. Beirut: Dar Al-Fikri.
Al-Jalalain, Al-Imam. 2007. Tafsir Al-Jalalain. tt: Al-Haramain.
Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir. 2006. Minhajul Muslim. Madinah: al-Ulum wa al-Hikam.
Al-Muhdar, Yunus Ali. 1982. Toleransi-Toleransi Islam: Toleransi Kaum Muslimin dan Sikap Lawan-Lawannya. tt.
An-Nawawi, Al-Imam. 1983. Al-Majmu’ Juz V. Beirut: Dar Al-Fikri.
An-Nawawi, Al-Imam. 1997. Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi Juz III. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
An-Nawawi, Al-Imam. 1997. Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi Juz XIII. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
An-Nawawi, Al-Imam. 1997. Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi Juz XV. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
Bukhori, Baidi. 2012. Toleransi terhadap Umat Kristiani Ditinjau dari Fundamentalisme Agama. Semarang: Lembaga Penelitian IAIN Walisongo.
Hadziq, Abdullah. 2008. Kapita Selekta Kerukunan Umat Beragama. Semarang: FKUB.
Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Mu’thi, Fadlolan Musyaffa’. 2007. Agama Islam Mudah: Aplikasi Kaisah “Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir” dalam Konteks Ke-Indonesiaan. Tuban: Syauqi Press.
Muhammad, Imam Abi Abdillah bin Isma’il. 1996. Shahih Bukhari Juz VII. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
Muhammad, Nurhidayat. tt. Fiqih Sosial dan Toleransi Beragama. Grobogan: Pondok Pesantren Darul Mu’in.
Musthafa, Bisri. 1983. Al-Ibriz: Al-Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz. Kudus: Maktabah Menara Kudus.
Qadir, Zuly. 2010. Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Rachman, Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Yunus, Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar