Oleh:
Umi Mukaromah
A.
ABSTRAK
Saat ini kita tengah hidup di zaman global.
Zaman di mana kita hidup dan berinteraksi di tengah masyarakat yang sangat
plural dan majemuk. Tentu saja kita akan berhadapan dengan beragam komunitas
yang mempunyai perbedaan, mulai dari budaya sampai dengan agama. Maka sebuah
keniscayaan bahwa suka atau tidak suka kita harus berbaur demi menciptakan
dinamika kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan.
Dalam perkembangannya nanti, interaksi
tersebut akan meningkat pada level yang mungkin menyentuh area sensitif;
akidah. Hal ini dikarenakan kompleksitas dalam masyarakat memaksa kita untuk
berlaku fleksibel dengan tanpa meninggalkan identitas keagamaan kita.
Keberagaman merupakan sunnatullah yang tidak
bisa diingkari di muka bumi pertiwi ini, maka dari itu tidak perlu dipersoalkan
dan diributkan apabila terjadi perbedaan, akan tetapi yang terpenting adalah
bagaimana sikap yang bijak dan proporsional dalam menghadapi hal ini. Istilah pluralistik
dalam Al-Qur’an lebih dikenal dengan istilah “Rahmatall lil’alamin”
yakni terutusnya Baginda Rasulullah SAW hanya semata-mata sebagai rahmat bagi
alam semesta ini. “Rahmatall lil’alamin” mengandung dua lafadz, pertama
“rahmat” yang bermakna kasih sayang. Tetapi Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menuturkan bahwa “rahmat” memiliki makna nikmat, sehingga bagi siapapun
yang menerima adanya pluralistik, niscaya akan bahagia di dunia dan akhirat.
Adapun lafadz yang kedua adalah “al-‘alamin” hanya sebatas makhluk Allah
yang berakal (manusia, jin, malaikat, dan syetan).
Istilah pluralisme agama merupakan kata yang
ringkas untuk menggambarkan sebuah tatanan dunia baru di mana perbedaan budaya,
sistem kepercayaan, dan nilai-nilai membangkitkan bergairahnya berbagai
ungkapan manusia yang tak akan kunjung habis sekaligus mengilhami konflik yang
tak terdamaikan. Menyebut istilah pluralisme, telah menjadi semacam panggilan
untuk suatu seruan bagi warga negara dunia untuk berdamai dengan perbedaan
mereka.
Berpijak pada pemahaman tentang kebenaran,
tema tentang pluralisme agama memang menjadi topik yang sangat ramai
diperbincangkan di antara aktivis dialog antaragama yang berpandangan pluralis.
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita
majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Pluralisme harus
dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine
engagement of diversities within the bonds of civility) (Budhy Munawar
Rachman, 2004: 39).
Kata Kunci: Toleransi, Islam, Filsafat,
Persaudaraan
B.
LATAR BELAKANG
Kita sering terperangkap dengan jebakan
“toleransi antar umat beragama”, yang diartikan dengan mencampuradukkan ritual
keagamaan. Jika umat lain merayakan hari besarnya, kita dianjurkan
mengikutinya. Padahal sikap ini merupakan pengkhianatan terhadap keimanan dan
ritual kita.
Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah
mencampuradukkan keimanan dan ritual Islam dengan agama non Islam, tapi
menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi adalah istilah dalam konteks
sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima
oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai
pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat
untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya
masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak
melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azaz terciptanya ketertiban
dan perdamaian dalam masyarakat.
Dalam komunitas yang kompleks dan majemuk,
Islam selalu menganjurkan kepada kita untuk beragama. Meskipun berbeda
keyakinan, kita harus bisa menciptakan suasana yang dinamis, damai, dan penuh
dengan keakraban. Sikap anarkis dan mengklaim kebenaran mutlak tidak dibenarkan
dalam Islam. Kehidupan yang beragam harus disikapi dengan sikap yang ramah dan
familiar. Kenapa Islam sampai mengatur masalah demikian? Bahkan dari perkara
yang nampaknya sepele. Tapi hal yang sepele pun bisa memberikan ekses yang luar
biasa dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Masih banyak kita jumpai umat muslim yang
fanatik buta dalam menyikapi persoalan toleransi. Bahkan tidak sedikit di
antara mereka yang berasumsi bahwa mengucapkan selamat atau salam kepada
pemeluk lain dianggap sebagai pengkhianatan terhadap akidah Islam. Ini fenomena
yang patut disayangkan. Jika watak umat seperti ini maka tidaklah mengherankan
jika banyak yang beranggapan bahwa umat muslim kaku dalam berinteraksi.
Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang santun menyapa ulama. Allah
SWT menegaskan:
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٨)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Mumtahanah: 8)
Hal ini, menjadi tugas kita untuk menjelaskan
kepada masyarakat dunia, nilai-nilai Islam yang benar dan ajarannya yang sangat
menghormati perbedaan dan keragaman. Toleransi adalah sebuah nilai yang
sejatinya melekat sebagai ciri ajaran Islam. Karena dalam konteks masyarakat
modern yang sangat beragam, toleransi menjadi kata kunci dalam membangun
hubungan antara individu dan kelompok agar tercipta hubungan yang harmonis dan
penuh kedamaian.
C.
PEMBAHASAN
1.
Islam dan Toleransi
Secara eksplisit,
kata toleransi tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi padanan kata tersebut, al-tasảmuh dijumpai dalam tradisi prophetik
Islam. Kata yang sesuai dengan akar kata al-tasảmuh ditemukan di dalam hadits, inni
ursiltu bi al-hanifiyyat al-sahmah. Dalam hadis lain disebutkan;
أَحَبُّ الّدِّيْنِ إِلى اللهِ
الحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحة ( فتح البارى : ۹٣ )
“Agama
yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang berorientasi pada semangat
mencari kebenaran secara toleran dan lapang”.
Makna as-samhah, dalam
konteks ini mengandung
afinitas linguistik dengan tasâmuh atau samâha, sebuah terminologi Arab modern untuk merujuk pada toleransi.
Hadis Nabi Muhammad SAW ini seringkali dipakai sebagai rujukan Islam untuk mendukung
toleransi atas agama-agama lain, di mana beliau diutus Allah SWT untuk
menyebarkan ajaran toleransi tersebut.
Toleransi
dalam Islam merupakan persoalan yang menarik dan penting untuk dikaji, karena banyak
di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang
tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang
menyatakan bahwa “semua agama itu benar” atau dijadikan alasan untuk
memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara
ritual non-muslim. Lebih tragis dan ironis lagi, kata toleransi dipakai oleh
sebagian orang Islam untuk mendukung eksistensi aliran sempalan
bahkan sesat, baik secara sadar maupun tidak
sadar. Seolah-olah dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung
kepada kerukunan antarumat beragama, padahal yang
dikorbankan adalah akidah umat Islam.
Oleh karena itu, diperlukan kajian
tentang bagaimana sesungguhnya konsep toleransi dalam Islam baik berdasarkan
Alquran maupun Hadis, yang belakangan semakin dikaburkan. Umat Islam harus
memahami secara benar tentang konsep toleransi ini, sehingga tidak terjebak
pada ketidaktahuan dan menjadi sasaran empuk propaganda pemikiran
yang merusak Islam.
2.
Toleransi dan
Filsafat Islam
Toleransi Islam dibangun di atas Islamic worldview, pandangan dunia
terhadap alam semesta. Dalam filsafat Islam dikenal ada al-haqq, yaitu
Allah SWT dan ada al-haqq yang mencakup semua makhluk/ ciptaan. Ada yang
wajib al-wujud (wajib adanya) dan ada yang wujud, yaitu yang
diciptakan oleh wajib al-wujud. Al-haqq dan wajib al-wujud
bersifat tunggal dan Esa, sedangkan seluruh al-haqq (ciptaan/ makhluk);
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, pemikiran dan lainnya yang selain
Allah beragam.
Fatwa yang dikeluarkan MUI dalam Munas tahun 2005, dengan merujuk berbagai
pandangan tokoh pluralisme seperti Diana Eck, Peter Berger, dan Isiah Belin,
katanya fatwa MUI sangat simplisit dan mudah dipatahkan. Padahal pengertian
pluralisme yang dimaksud oleh MUI adalah perkembangan ilmiah dan filosofis yang
berkembang biak dalam kajian filsafat agama.
Tentu saja pluralisme dalam pengertian sosio-politis sebagai suatu
sistem yang mengakui koeksistensi keagamaan kelompok, baik yang bercorak khas,
suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan
yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut, bisa diterima
baik dalam sudut pandang keagamaan Islam. Yang diharamkan MUI tentu saja bukan
dalam pengertian di atas, namun paham yang khas dalam dunia keilmuan filosofis
yang telah dirintis oleh John Hick dan
para pengikutnya di dunia Islam seperti Sayyed H. Nasr, Rene Guenon, dan
Fritchof Schoun, dan lain-lain.
Istilah pluralisme sering digunakan dalan studi-studi dan wacana
sosio-ilmiah pada era modern ini, dan istilah itu telah menemukan definisinya
sendiri yang berbeda dengan yang dimiliki semula (dictionary definition).
John Hick misalnya menegaskan bahwa pluralisme adalah suatu gagasan bahwa
agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang,
dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, yang real atau yang maha agung dari dalam
pranata kultural manusia yang bervariasi, dan bahwa transformasi wujud manusia
dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap
masing-masing panata kultural manusia tersebut, dan terjadi sejauh yang dapat
diamati sampai pada batas yang sama..
Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas berangkat dari
pendekatan substantif yang mengungkung agama dalam ruang privat yang sempit,
dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan
sakral yang transendental bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem
sosial.
Dalam pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan
kebenaran seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Bagi saya, sikap yang
tepat adalah menerima kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini
berbeda-beda dan beragam.
3.
Toleransi Perspektif Kitab-Kitab Klasik
Di dalam kitab “Minhajul Muslim”, disebutkan bahwa seluruh kepercayaan dan
agama itu adalah batil (palsu) dan pemeluknya adalah kafir, kecuali agama
Islam.
إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam” (Ali Imran: 19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran: 85).
Muslim Masuk Gereja
Gereja dalam konteks sekarang adalah tempat beribadah bagi umat Kristiani,
yang hukum memasukinya bagi muslim adalah haram jika di tempat tersebut
terdapat hal-hal yang diharamkan seperti terdapat tanda salib atau sedang
dilaksanakan peribadatan atau syiar-syiar keagamaan mereka. Namun, jika tidak
terdapat hal-hal yang diharamkan seperti hal di atas, maka hukum memasukinya
boleh dengan catatan mendapatkan izin dari mereka (Nurhidayat bin Muhammad Nur:
69).
Termasuk dari vonis di atas adalah berpidato atau berkhutbah tentang
keseragaman dan toleransi beragama di dalam gereja dengan dihadiri oleh segenap
umat Kristiani. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh seorang yang dihormati
dan menjadi panutan umat Islam. Vonis haram ini berdasarkan pada pernyataan
bahwa hampir dapat dipastikan di tempat atau gereja tersebut terdapat tanda
salib atau hal-hal yang menjadi ciri khas orang kafir. Namun, jika keadaannya
sebaliknya hukum pun berubah menjadi sebaliknya, yakni boleh.
D’oa Bersama
Penyelenggaraan do’a bersama antarumat beragama, yang dulu pernah marak
dilakukan di saat Indonesia mengalami krisis moneter, krisis kepercayaan, serta
situasi dan kondisi negara sedang tidak menentu. Penyelenggaraan do’a tersebut
biasanya dilaksanakan dengan alasan sebagai bentuk tanda perdamaian dan
toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Muktamar NU di PP. Lirboyo nomer 419 memutuskan bahwa kegiatan do’a bersama
tersebut adalah haram atau tidak boleh diadakan, kecuali jika isinya tidak
bertentangan dengan syari’at Islam (Nurhidayat bin Muhammad Nur: 70).
Menurut saya, jawaban Muktamar tersebut kurang jelas dan terlalu global
sekali, sehingga ketepatannya kami anggap tidak begitu mengena terhadap
substansi pertanyaan yang ada. Meskipun jawaban tersebut tidak salah.
Untuk menjawab hal ini, menurut saya dapat ditilik melalui dua sudut
pandang, yaitu berkumpul dengan mereka dalam satu majelis dan mengamini do’a
mereka. Masalah hukum berkumpul dengan mereka dalam satu majelis untuk urusan
berdo’a, dalam hal ini ulama masih memandang adanya khilafiyyah;
Sebagian mengatakan haram, sementara yang lain mengatakan tidak mengapa.
Bahkan, ada juga ulama yang mengatakan hanya makruh berkumpul dengan mereka.
Sementara dalam urusan berdo’a bersama dengan mereka, agama pun tidak pernah
melarang, baik berdo’a di tempat manapun dan dalam keadaan apapun.
Sedangkan masalah hukum mengamini do’a mereka, ulama sendiri juga masih
berbeda pendapat, sebagian mengatakan haram secara mutlak, sementara yang lain
men-tafsil-nya; Jika do’a yang di panjatkan isinya tidak majhul
(di ketahui isinya), maka mengamini tidak masalah, bahkan sunat jika do’a
tersebut bentuk meminta untuk dirinya sendiri supaya diberi hidayah dan atau
kemenangan bagi kaum muslimin. Dan, apabila isi do’anya adalah haram, maka
mengamininya sudah pasti haram.
ويكره إخرج الكفار للا ستسقاء لا
نهم أعداء الله فلا يجوز أن يتوسل بهم اليه فان حضروا وتميزوا لم يمنعوا الا نهم
جاء وا فى طلب الرزق ( المجموع :٦٦ )
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab “Al-Majmu” ulama masih memandang adanya
khilafiyyah dia antaranya tidak boleh berdo’a bersama dengan umat non muslim, karena do’a
non muslim tidak diterima dan dilarang bertawasul dengan mereka. Kemudian
makruh, jika perkumpulan tersebut berada di dalam mushola atau masjid, dan
berbaurnya tersebut dilandasi hanya sekedar bergaul secara lahir saja tanpa ada
tujuan. Boleh mengamini do’a bersama non muslim, bahkan sunah jika caranya
tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan isi do’anya memohon hidayah,
pertolongan, dan menjalin hubungan baik di dunia, serta bermanfaat demi
kemaslahatan umat, bahkan untuk mencegah timbulnya suatu madharat yang tidak
diinginkan.
Mengucapkan dan Menjawab Salam
لَا تَبْدَؤُوا الْيَهُودَ وَلَا
النَّصَازى بِاالسَّلَامِ. فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقِ
فَاضْطَرُوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ (مسلم : ۲۱٦٨ )
Sebagian madzhab fiqh berpendapat bahwa mengucapkan salam kepada orang
kafir hukumnya haram. Berbeda dengan menjawabnya. Bagi seorang muslim,
sekalipun dari non muslim hukumnya wajib dengan jawaban وَعَلَيْكُمْ
atau عَلَيْكُمْ saja.
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ
الْكِتَابِ فَقُولُوا : وَعَلَيْكُمْ (مسلم : ۲۱٦٣ )
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ
الْكِتَابِ فَقُولُوا : وَعَلَيْكُمْ ( البخاري : ٦۲٥٨ )
Lain-lain
Tidak diperbolehkan mengganggu umat non muslim, baik dalam hal hartanya,
darahnya, ataupun kehormatannya.
يَقُوْلُ اللهُ تَعَلَى: يَا
عِبَادِي ا إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ
مُحَرَّمًا. فَلَا تَظَا لَمُوْا ( مسلم : ۲٥۷۷ )
“Allah berfirman: ‘Wahai
hamba-hamba-Ku, sesunggunya aku telah mengharamkan kedzaliman terhadap diri-Ku
dan Aku telah menetapkannya di antara kalian sebagai sesuatu yang diharamkan,
maka janganlah kalian saling mendzalimi’.”
Di dalam kitab “Minhajul Muslim”
juga dijelaskan bahwa seorang muslim tidak boleh tasyabbuh, menyelisihi,
meniru-niru perilaku dan sikapnya dalam hal yang tidak penting, seperti
memanjangkan jenggot apabila orang non muslim itu mencukurnya dan mewarnainya
apabila ia tidak mewarnainya. Dan demikian pula menyelisihinya di dalam masalah
berpakaian. Sebagaimana di jelaskan di dalam “Shahih Muslim” dan “Shahih
Bukhari”.
أَحْفُوا الشَّوَا رِبَ
وَأَعْفُوا اللْحَى ( مسلم : ۲٥۹ )
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ
وَفِّرُوا اللَّحَى، وَأخْفُوا الشَّوَارِبِ ( البخاري : ٥٦۹۲ )
غَيْرُوا هَذَا بِشَيْءٍ ،
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ ( مسلم : ۲۱۰۲ )
4.
Aspek-Aspek Toleransi Beragama
Pribadi yang memiliki toleransi adalah pribadi yang toleran. Seseorang yang
memiliki toleransi beragama akan melihat perbedaan agama tidak sebagai
pertentangan, apalagi permusuhan, melainkan sebagai suatu keniscayaan. Insan
beragama yang toleran mampu menerima, menghargai, dan memberi kebebasan
kelompok lain baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Beberapa aspek
toleransi beragama diantaranya:
Penerimaan
Osborn menyatakan bahwa kunci dari toleransi adalah menerima orang apa
adanya. Manifestasi dari toleransi adalah adanya kesediaan seseorang untuk
menerima pendapat, nilai-nilai, perilaku orang lain yang berbeda dari diri
sendiri. Hal tersebut berarti setiap golongan umat beragama menerima golongan
agama lain tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan. Dan dengan
adanya penerimaan akan berdampak positif bagi kehidupan keagamaan seseorang
dalam masyarakat.
Penghargaan
Yaitu kesediaan untuk menghargai segala sesuatu yang ditolak atau ditentang
oleh seseorang. Kesediaan menghargai tersebut harus dilandasi oleh kepercayaan
bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya
sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang atau golongan yang
memonopoli kebenaran, dan landasan ini disertai catatan bahwa soal keyakinan
adalah urusan pribadi masing-masing.
Kesabaran
Bahwa wujud dari toleransi adalah kesediaan seseorang yang bersabar
terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat
disanggah atau bahkan keliru. Sikap semacam ini tidak berarti setuju terhadap
keyakinan-keyakinan tersebut. Juga tidak berarti acuh tak acuh terhadap
kebenaran dan kebaikan, melainkan lebih pada sikap hormat terhadap martabat
manusia yang berbeda. Maka toleransi beragama dapat diartikan sikap sabar dan
menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem
keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Kebebasan
Yakni kemauan seorang pemeluk suatu agama untuk memberi kebebasan kepada
sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya
atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing.
Adapun beberapa faktor yang berpengaruh terhadap toleransi, antara lain:
a. Kepribadian
Sebagaimana termaktub dalam buku yang berjudul
“Toleransi terhadap Umat Kristiani”, ciri individu berkepribadian adalah
bersifat sosial, santai, aktif, dan bersifat optimis. Dengan ciri-ciri tersebut
maka individu cenderung bisa menjalin hubungan dengan outgroup.
b. Lingkungan Pendidikan
Menurut teori belajar sosial, toleransi
diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi tersebut, yakni
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
c. Kontak Antarkelompok
Menurut Pettigrew menyatakan bahwa kontak
dapat mengurangi intoleransi, dengan syarat: (1) kelompok tersebut setara dalam
hal kedudukan sosial, ekonomi, dan status; (2) situasi kontak harus mendukung
kerja sama; dan (3) bentuk kontak sebaiknya informal sehingga antaranggota
saling mengenal sebagai individu dan bukan sebagai anggota kelompok tertentu.
d. Fundamentalis Agama
Berdasarkan penelitian Denney dan Altemeyer
menyatakan bahwa seseorang yang fundamentalisme agamanya tinggi cenderung
berfikiran sempit, enggan untuk mempertanyakan keyakinan yang lain, dan tidak
mampu mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda. Maka dapat diasumsikan bahwa
fundamentalisme agama berpengaruh terhadap intoleransi pada pemeluk agama lain.
e. Kontrol Diri
Seorang yang memiliki kontrol diri tinggi
mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur
perilaku, sehingga membawa kepada konsekuensi positif. Jadi dapat diasumsikan
bahwa individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan lebih toleran
terhadap pemeluk agama lain.
5.
Menciptakan Toleransi melalui Persaudaraan
Dalam hubungan sesama manusia diperlukan sebuah ikatan sosial dalam rangka
menjaga keberlangsungan hidup yang damai dan toleran. Ikatan sosial tersebut
biasanya dikenal dengan istilah ukhuwah dan tasamuh. Persaudaraan
dan toleransi merupakan prasyarat untuk melahirkan sikap-sikap keberagamaan
yang moderat.
Persaudaraan
Kedudukan persaudaraan dalam Islam adalah penting karena hal tersebut akan
menjadi penyangga bagi tatanan yang kukuh dalam sebuah masyarakat. Tidak akan
terbentuk sebuah masyarakat dan bangsa yang jaya jika di dalamnya tidak ada
semangat gotong royong dan kebersamaan. Dalam tradisi Islam, silaturrahmi
merupakan salah satu dimensi yang paling fundamental dalam membangun
persaudaraan toleran. Sebab, silaturrahmi merupakan perintah yang membangun
sikap keterbukaan dan dialog, serta yang terpenting dalam rangka menghindar
dari upaya-upaya melakukan kerusakan di muka bumi.
Kyai Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya membangun persaudaraan dan toleransi
dimulai dari keluarga. Pada hakikatnya silaturrahmi adalah persaudaraan dalam
lingkungan keluarga. Jika kultur silaturrahmi dapat tumbuh subur, persaudaraan
dalam konteks yang lebih luas akan tercapai, baik dalam konteks internal agama
maupun antaragama dalam lingkup negara.
Dalam kacamata Islam, silaturrahmi akan memberikan dampak teologis dan
sosiologis. Secara teologis, silaturrahmi diyakini akan menjadikan hidup lebih
makmur, bahkan dapat memperpanjang usia.
Secara sosiologis, silaturrahmi sudah pasti dapat membangun relasi antar
masyarakat yang lebih harmonis dan toleran.
Perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri. Yang perlu menjadi catatan,
perbedaan tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk memupuk permusuhan, apalagi
pertikaian dan konflik. Sikap keteladanan dalam persaudaraan amat dijunjung
tinggi karena hal tersebut merupakan fundamen dalam agama yang harus ditegakkan
sepanjang masa.
Toleransi merupakan sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang majemuk, baik
dari segi agama, suku, maupun bahasa. Toleransi, baik sebagai paham maupun
sikap hidup, harus memberikan nilai positif untuk kehidupan masyarakat yang
saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keberagaman tersebut. Menurut
UNESCO, toleransi adalah sikap saling menhormati, saling menerima dan saling
menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter
manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi sudah menjadi konsensus global
yang tidak bisa dielakkan lagi. Toleransi sudah menjadi sebuah fondasi untuk
tatanan masyarakat yang damai dan berkeadaban. Intinya semakin masyarakat
tersebut toleran, akan semakin mungkin untuk menggapai keberhasilan. Karena
itu, toleransi menjadi sebuah keniscayaan, terutama dalam masyarakat plural.
Dalam tradisi Islam, toleransi
dikenal dengan istilah al-samhah atau at-tasamuh. Dalam sebuah
hadits disebutkan, “Agama yang paling dicintai Allah SWT adalah agama yang
lurus dan toleran.” Hadits ini merupakan sebuah komitmen Islam dalam membangun
toleransi.
Perjuangan untuk membangun toleransi
pada hakikatnya merupakan perjuangan eksistensial. Sebab, jika sebuah masyarakat
semakin toleran, hal itu akan membangun sebuah masyarakat yang maju.
Sebaliknya, jika masyarakat tidak mampu membangun toleransi, di mana kerap kali
merebak aksi intoleransi, masyarakat tersebut akan berada dalam kubangan
keterpurukan.
Poin penting yang harus diperhatikan
adalah urgensi membangun nilai-nilai yang mencerminkan paham dan sikap yang
toleran. Richard H. Dess, sebagaimana termaktub dalam buku yang berjudul
“Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan”, memberikan
resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi,
khususnya dalam masyarakat plural, yaitu toleransi sebagai nilai dan kebajikan.
Masalah toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi,
yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan “hitam di atas
putih”. Toleransi pada level ini mempunyai kelemahan yang bisa
bertentangan dengan spirit toleransi karena rentan terjerembab dalam
kepentingan kelompok tertentu, terutama bilamana pihak mayoritas menjadikan
otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi.
Toleransi pada model ini bisa menjadi jalan
tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang dibangun hanya di
permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.
D. KESIMPULAN
Dari beberapa konsep toleransi yang telah
disebutkan, dapat disimpulkan dengan gambaran sebuah bagan berikut ini:

Toleransi adalah kesediaan menghargai dan
membolehkan pendirian, kepercayaan, dan tindakan seseorang yang berbeda atau
bertentangan dengan yang dimilikinya. Toleransi tidak berarti seseorang harus
mengorbankan kepercayaan yang dianutnya. Sejalan dengan pengertia tersebut,
maka toleransi agama dapat diartikan sebagai kesediaan seseorang untuk
menghormati dan membolehkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut
ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini.
Toleransi hanya mengakui keberadaan agama-agama
lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam
agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama lain absah akidahnya, valid, dan
otentik. Singkatnya, toleransi yaitu menghargai perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Atsqalani. 1991. Fathul Baari Juz I. Beirut:
Dar Al-Fikri.
Al-Jalalain, Al-Imam. 2007. Tafsir Al-Jalalain. tt: Al-Haramain.
Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir. 2006. Minhajul Muslim. Madinah:
al-Ulum wa al-Hikam.
Al-Muhdar, Yunus Ali. 1982. Toleransi-Toleransi Islam: Toleransi Kaum
Muslimin dan Sikap Lawan-Lawannya. tt.
An-Nawawi, Al-Imam. 1983. Al-Majmu’ Juz V. Beirut: Dar Al-Fikri.
An-Nawawi, Al-Imam. 1997. Shahih Muslim Bi Syarh
An-Nawawi Juz III. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
An-Nawawi, Al-Imam. 1997. Shahih Muslim Bi Syarh
An-Nawawi Juz XIII. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
An-Nawawi, Al-Imam. 1997. Shahih Muslim Bi Syarh
An-Nawawi Juz XV. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiyah.
Bukhori, Baidi. 2012. Toleransi terhadap Umat Kristiani Ditinjau dari
Fundamentalisme Agama. Semarang: Lembaga Penelitian IAIN Walisongo.
Hadziq, Abdullah. 2008. Kapita Selekta Kerukunan Umat Beragama.
Semarang: FKUB.
Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT Bina
Ilmu.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi,
Keumatan, dan Kebangsaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Mu’thi, Fadlolan Musyaffa’. 2007. Agama Islam Mudah: Aplikasi Kaisah
“Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir” dalam Konteks Ke-Indonesiaan. Tuban: Syauqi
Press.

Muhammad, Nurhidayat. tt. Fiqih
Sosial dan Toleransi Beragama. Grobogan: Pondok Pesantren Darul Mu’in.
Musthafa, Bisri. 1983. Al-Ibriz: Al-Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz. Kudus:
Maktabah Menara Kudus.
Qadir, Zuly. 2010. Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di
Indonesia 1991-2002. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Rachman, Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar