MAKALAH
Oleh:
Umi Mukaromah
I. PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk
dalam kancah pemikiran Islam lewat terjemahan, telah diakui oleh banyak
kalangan. Hal ini mendorong filsafat Islam menjadi semakin pesat. Islam
menganjurkan untuk mempelajari filsafat, namun tetap berpegang teguh pada
al-Qur’an dan al-Hadits. Filsafat digunakan untuk membuktikan kebenaran yang
telah ada di dalam wahyu.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian
adalah pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata
tidak hanya terpaku pada dunia empirik atau fisikal, tetapi mencakup juga dunia
ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas
jasad tetapi juga hati, perasaan, jiwa, dan ruh yang merupakan bagian dari
Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak hanya bisa mengandalkan
eksperimen-eksperimen lahiriyah atau hanya mengandalkan kekuatan atau
kegeniusan rasio tetapi harus dengan kesucian hati. Apapun metode yang
digunakan harus didukung oleh kebersihan jiwa..
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apakah yang dimaksud dengan metodologi?
B. Bagaimanakah penjelasan dari metodologi observasi, burhani, irfani, dan
bayani?
C. Bagaimanakah hubungan dan perbedaan metodologi burhani, irfani, dan bayani?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Metodologi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, metodologi adalah ilmu tentang
metode, atau uraian tentang metode. Sedangkan metode adalah cara teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[1]
Kata metode berasal dari kata Yunani methodhes, meta artinya menuju,
melalui, mengikuti, sesudah, dan hodos yang berarti jalan, perjalanan,
cara, arah. Menurut Surajiyo, metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan
tertentu. Metode dalam filsafat adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai
hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.[2]
Redja Mudyahardjo dalam bukunya “Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar”,
menjelaskan bahwa metode ilmiah adalah metode pemecahan masalah yang mengacu
pada berpikir reflektif, yaitu berpikir menemukan masalah serta memecahkannya
melalui kegiatan-kegiatan secara bertahap.[3]
Berdasarkan beberapa uraian tentang definisi metode, Asmuni Syukir menjelaskan,
metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau
jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan
efisien.[4]
Demikianlah perbedaan yang sangat tipis antara pengertian metode dan
metodologi.
Pemikiran ilmiah bukanlah pemikiran biasa. Pemikiran ilmiah adalah
pemikiran yang sungguh-sungguh, artinya suatu cara yang berdisiplin, di mana
seseorang yang tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya
berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu diarahkan pada satu tujuan
tertententu. Tujuan tertentu dalam hal ini adalah pengetahuan. Berpikir
keilmuan adalah cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada
pengetahuan.[5]
Pemikiran metodologis di kalangan umat Islam memiliki berbagai tujuan,
yaitu:
1. Membangun kesadaran berpikir positif;
2. Membangun kesadaran berpikir dan bertindak secara efektif dan efisien;
3. Membangun kesadaran berpikir dan bertindak secara aktif, kreatif, dan
produktif;
4. Membangun kesadaran dan bertindak strategis;
5. Membangun kesadaran dan bertindak pengembangan;
6. Membangun kemandirian baik dalam merumuskan metode maupun
konstruksi-konstruksi teori keilmuan.[6]
B. Metodologi Observasi, Burhani, Irfani, dan Bayani
1. Metodologi Observasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, observasi artinya peninjauan
secara cermat. Observasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pengamatan atau
observasi dilakukan memakan waktu yang lebih lama apabila ingin melihat suatu
proses perubahan, dan pengamatan dapat dilakukan dapat tanpa suatu
pemberitahuan khusus atau sebaliknya.
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan
secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala yang
ada untuk kemudian dilakukan pencatatan.[7]
Banyak yang mengatakan bahwa masalah-masalah
filsafat diselidiki dengan metode rasional. Namun, observasi ini lebih mengarah
kepada metode empiris, karena melalui
pengamatan secara indrawi. Ada banyak pula yang mengira bahwa metode empiris
merupakan satu-satunya metode pasti dan ilmiah, sebab tidak ada simpulan pasti
yang dapat diperoleh lewat metode rasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa filsafat tak lebih dari melemahkan hipotesis-hipotesis untuk memecahkan
persoalan ilmiah.[8]
2. Metodologi Burhani
Al-Burhani secara sederhana bisa diartikan
sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui
pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi satu dengan proposisi yang lain
yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani
pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang dikenal dengan istilah
metode analitik (tahlili); suatu cara berpikir yang didasarkan pada
proposisi tertentu dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek kajiannya.
Sarjana pertama yang mengenalkan dan
menggunakan metode burhani adalah al-Kindi (806-875 M). Kemudian, metode
rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran
Islam Arab setelah masa al-Razi (865-925 M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan
dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Dan
akhirnya, metode burhani benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran
Islam setelah masa al-Farabi (870-950 M).
Ciri utama dari burhani adalah silogisme, tetapi
silogisme tidak mesti menunjukkan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme
diterjemahkan dengan qiyas. Sedangkan secara istilah, silogisme adalah
suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan
bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.[9]
3. Metodologi Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa
semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Irfan atau makrifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman. Karena itu,
secara epistimologis, irfan dapat diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya
serta adanya oleh ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Irfan adalah wujud
mutlak, yaitu Allah swt.[10]
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber
irfan. Pertama, menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia
dan Majusi. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran Utara tetap
memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang
berasal dari daerah Khurasan.
Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen.
Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada
masa jahiliyah maupun zaman Islam, (2) adanya segi-segi kesamaan antara
kehidupan para sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa, dengan
kehidupan Yesus dan ajarannya.
Ketiga, irfan ditimba dari India. Alasannya, (1)
kemunculan dan penyebaran irfan pertama kali adalah di Khurasan, (2) kebanyakan
dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, (3) pada masa sebelum
Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat, (4)
konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah
praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani.[11]
Perkembangan irfan, secara umum bisa dibagi
dalam lima fase, yaitu:
a. Fase pembibitan (abad pertama hijriah). Karakter periode ini adalah (1)
berdasarkan ajaran al-Qur’an dan sunnah, menjauhi hal-hal duniawi demi meraih
pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian
untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motivasi zuhudnya
adalah rasa takut.
b. Fase kelahiran (abad kedua hijriah). Jika pada abad pertama hijriah, zuhud
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, pada periode ini zuhud
dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan
mendapat pahala.
c. Fase pertumbuhan (abad 3-4 hijriah). Pada fase ini, irfan telah mengkaji
soal moral, tingkah laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung pada
Tuhan, dan pencapaian kebahagiaan..
d. Fase puncak (abad ke-5 H). Pada periode ini irfan mencapai periode gemilang
dengan banyaknya pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, di
antaranya al-Ghazali (Ihya Ulum al-Din) yang menyelaraskan tasawuf dan
fiqh (irfan dan bayani).
e. Fase spesikasi (abad ke-6 dan 7 H). Irfan semakin dikenal dan berkembang
dalam masyarakat Islam berkat pengaruh pribadi al-Ghazali.[12]
Berikut ini adalah uraian dari metode irfan;
Etika
|
Irfan
|
Filsafat
|
|
Praktis
|
Teoritis
|
||
Membahas hubungan
antara manusia saja.
|
Membahas hubungan
antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.
|
Berdasarkan visi dan
intuisi kemudian dikemukakan teori secara logis.
|
Berpijak pada
postular-postulat.
|
Tidak ada tahapan
tertentu. Seseorang bisa memilih mana yang harus dilakukan.
|
Ada tahapan-tahapan
yang harus dilalui lebih dulu untuk menuju tujuan akhir.
|
Eksistensi Tuhan
meliputi semuanya dan segala sesuatu adalah manifestasi sifat-Nya.
|
Eksistensi non Tuhan
sama riel-nya dengan eksistensi Tuhan sendiri.
|
Unsur spiritual sangat
terbatas.
|
Unsur spiritual yang
sangat luas
|
Capaian tertinggi
manusia adalah kembali kepada asal-usulnya (Tuhan).
|
Capaian tertinggi
manusia adalah memahami semesta.
|
Sarana yang dipakai
adalah kalbu (hati) dan kesucian jiwa.
|
Sarana yang dipakai
adalah akal dan intelek.
|
4. Metodologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung,
dan dijustifikasikan oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
Secara langsung artinya memahami memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan
makna dan maksudnya, tetapi harus tetap bersandar pada teks. Dalam bayani,
rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada
teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek
eksoterik (syari’at).
Pengertian tentang bayani, berkembang sejalan
dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada
di dalamnya. Pada masa Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar
yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang
(furu’). Sedang dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan ini dalam
lima bagian dan tingkatan, yaitu:
a. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan
sunnah.
c. Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
d. Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
e. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atau sesuatu yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an maupun sunnah.[13]
Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksud nash
sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan hadits. Ini berbeda
dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada
intuisi. Karena itu epistimologi bayani
menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke
generasi.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistimologi
bayani menempuh dua jalan. Pertama, berperan pada redaksi (lafadz) teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharaf
sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi)
dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.[14]
C. Hubungan dan Perbedaan Metodologi Burhani, Irfani, dan Bayani
Dalam khazanah filsafat Islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran,
yakni burhani, irfani, dan bayani. Ketiga model epistemologi ini, dalam
sejarahnya telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Masing-masing model
epistimologi ini tidak dapat digunakan secara mandiri untuk pengembangan
ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk mencapai hal tersebut, ketiganya harus
disatukan dalam sebuah jalinan yang disebut “hubungan silkuler”.
Tata kerja hubungan di antara ketiga epistimologi yaitu burhani, irfani,
dan bayani dapat digambarkan sebagai berikut:
Hubungan antara metode burhani
dengan lainnya juga bisa dipetakan sebagai berikut:
Bayani
|
Irfani
|
Isyraqi
|
Muta’aliyah
|
Burhani
|
Burhani berbeda dengan bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks
suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada
pengalaman.burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan
lewat dali-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agam hanya bisa diterima sepanjang
ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistimologi ini adalah,
bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realita non-fisik atas realitas
fisik; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani pada Tuhan
dengan pernyataan universal; dan burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya.[15]
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/ Nash
|
Kasyf
|
Rasio
|
Metode
|
Berpegang pada zhahir
teks; Qiyas al-ghaib ala al-syahid; Qiyas al-far 'ala al-ashl
|
Qiyas al-syahid ala
al-ghaib
|
Silogisme
|
Pendekatan
|
Linguistik/Dilalatal
Lughawiyah
|
Psikho-Gnostik
|
Logika
|
Tema Sentral
|
Ashl-Furu'; Kata-Makna
|
Zahir-Batin;
Wilayah-Nubuwah
|
Essensi-Aksistensi;
Bahasa-Logika
|
Validitas Kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi, Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolog, ahli
Fiqh, dan ahli Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil
yang efektif dan efisien. Ada bebarapa metodologi dalam filsafat Islam, diantaranya:
1. Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala yang ada untuk kemudian dilakukan
pencatatan.
2. Burhani, yaitu suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran
proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
3. Irfani, yaitu pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya serta adanya oleh ruhani yang dilakukan
atas dasar cinta. Irfan adalah wujud mutlak, yaitu Allah swt.
4. Bayani, yaitu metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasikan oleh akal kebahasaan
yang digali lewat inferensi (istidlal).
V. PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. 2011. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi,
dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Pers.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muthahhari, Murtadha. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shandra.
Bandung: Mizan.
Qomar, Mujamil. 2012. Pemikiran Islam Metodologis: Model Pemikiran
Alternatif dalam Memajukan Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Subagyo, P. Joko. 2011. Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. 2003. Buku Daras Filsafat Islam.
Bandung: Mizan.
[1]Drs. H. Mohammad Adib, MA., Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 132.
[2]Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2007), hlm. 8.
[3]Dr. Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 95.
[4]Dr. Armai Arief, M.A., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 87-88.
[5]Drs. H. Mohammad Adib, MA., Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 132.
[6]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Pemikiran Islam Metodologis: Model
Pemikiran Alternatif dalam Memajukan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras,
2012), hlm. 7.
[7]P Joko Subagyo, S.H., Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), hlm. 63.
[8]Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 52.
[9]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 219-224.
[10]Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shandra,
(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 114.
[11]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 194-195.
[12]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 199-121.
[13]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177-179.
[14]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 187.
[15]A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 219.
cukup bagus materi yang disajikan.. terima kasih
BalasHapussangat bermanfaaaaaaaat, terima kasih ilmu nya author :D
BalasHapus