Sabtu, 20 April 2013

السلا م عليكم ورحمة الله وبركا ته



MAKALAH
DINAMIKA ISLAM DAN JAWA DI ERA MODERN
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Islam dan Kebudayaan Jawa
Yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI




Oleh:
1.      Fatimah Ratna Mutiara       113911018
2.      Hanifah Lutfiatuz Zakiyah  113911019
3.      Umi Mukaromah                  123111157


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2013



                               I.            PENDAHULUAN
Islam dalam realitas konkret berkembang dengan deret ukur perkembangan modernitas, bahkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bagaimanapun juga tidak bisa dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan menyusup kesegala wilayah kehidupan, bahkan juga menyentuh pemikiran keislaman. Modernitas sebagai penawar alternative, harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis bagi perkembangan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas tidak lepas dari akar sejarah awal Islam yang menyertai kehidupan kaum muslim sedunia, termasuk Indonesia dan khususnya diwilayah Jawa.
Globalisasi dan modernisasi menjadi fenomena yang berkembang di hampir seluruh pelosok dunia, terutama dinegara-negara berkembang. Seperti yang dapat dilihat bahwa dua proses ini memberikan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan kebudayaan manusia yang juga terpengaruhi. Perkembangan kebudayaan ini terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia sesuai dengan berkembangannya pengetahuan manusia untuk menciptakan inovasi baru.
Seperti halnya peradaban manusia yang berkembang secara bertahap dari zaman prasejarah hingga zaman sejarah. Kebudayaan juga berkembang secara bertahap mengikuti perkembangan zaman.Globalisasi dan modernisasi dalam bidang kebudayaan dapat dilihat dengan semakin luasnya masyarakat dunia mengenal suatu kebudayaan dari suatu daerah. Seperti yang diungkapan oleh Anthony Giddens bahwa modernitas meruntuhkan jarak antar ruang dan waktu.

                            II.            PERMASALAHAN
A.       Bagaimana kebudayaan Jawa dan Globalisasi?
B.        Bagaimana modernisasi dalam budaya Jawa?
C.        Bagaimana perpaduan nilai budaya Jawa dan Islam?
D.       Bagaimana enkulturasi nilai budaya Jawa-Islam?
E.        Bagaimana isi dan wujud budaya Jawa-Islam?


                         III.            PEMBAHASAN
A.    Kebudayaan Jawa dan Globalisasi
Maraknya budaya Barat yang masuk di tengah masyarakat cenderung mengubah budaya Jawa yang selalu di junjung tinggi menjadi tradisi modern yang merubah sikap, pola hidup serta mengesampingkan tata karma pergaulan di masyarakat. Kurangnya penanaman dan pemahaman budaya Jawa yang benar dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan masyarakat enggan dalam menghidupkan budaya Jawa. Semakin terpuruknya budaya Jawa banyak mengundang tanda tanya dalam kelompok kecil masyarakat yang masih menjujung nilai budaya Jawa, bagaimana sikap masyarakat yang mulai menganggap remeh dan kuno terhadap budaya tersebut. Kengengganan tersebut dipacu karena budaya Jawa memiliki pola hidup dan sikap yang kurang tepat bila di junjung di era globalisasi saat ini. Penyebab dari memudarnya budaya Jawa di era modernisasi adalah merebaknya budaya Barat di tengah masyarakat, berubahnya sikap dan pola hidup masyarakat terhadap budaya Jawa, dan kurangnya penanaman dan pemahaman budaya Jawa sejak dini kepada masyarakat.[1]
Globalisasi yang terjadi saat ini dampaknya tidak terbendung, karena terus menerus merasuk ke setiap kawasan melalui media komunikasi, informasi, dan teknologi, sehingga mnumbuhkan budaya bangsa Barat lebih menguasai dunia. Mengahadapi fenomena globalisasi, umat Islam lebih di tuntut menjaga dua poin penting yaitu pengokohan identitas dan reaksi timbal balik dengan fenomena tersebut. Pengokohan identitas bagi umat Islam ibarat amunisi terhadap berbagai unsur buruk dan destruktif dalam gelombang globalisasi.
Kebudayaan Jawa di tengah arus globalisasi, masyarakat Jawa pengusung kebudayaan Jawa tidak bisa terbawa arus gelombang masifikasi budaya-budaya dari etnik-etnik yang ada di Indonesia dan belahan bumi mana saja. Masyarakat pengusung budaya Jawa haruslah dapat secara kreatif memaknai nativistic momentum sehingga penetrasi budaya-budaya dari luar etnik, tidak sampai menguras nilai-nilai kejawen itu sendiri.Jika tidak ingin kebudayaan Jawa tergerus gelombang nativistic momentum dari kebudayaan yang ada dimuka bumi ini haruslah bertahan pada nilai-nilai luhur yang dikandungnya sembari mengadaptasi budaya-budaya yang ada disekitarnya. Sebab sesungguhnya nilai-nilai filosofi budaya Jawa bila ditafsirkan secara kreatif merupakan nilai-nilai universal.
Hidup bagi orang Jawa adalah sebuah perjalanan, ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup orang Jawa adalah sungkan paraning dumadi (dari mana mau kemana). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana asal, akan, kemana tujuan perjalanan hidup dengan benar. Bagaimana cara kita menanggulangi zaman globalisasi tersebut, salah satunya adalah intropeksi diri, oleh karena itu perlunya ditingkatkan kesadaran diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan kita menggunakan filsafat Jawa sehingga jangan sampai orang Jawa kehilangan kepribadiannya.
Adapun potensi filsafah jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri adalah sebagai berikut:
a.       Ajineng diri saka lathi, ajineng sliro soko kusumo. Artinya nilai diri seseorang terletak pada gerakan lidahnya, nilai badaniyah seseorang terletak pada pakaiannya, harga diri seseorang terletak pada ucapannya.
b.      Aja dhumuko, ojo gumon, ojo kagetan. Artinya jangan sok, jangan mudah terkagum, jangan mudah terkejut.
c.       Ojo dhumeh, tepo sliroh, ngerti kualat. Artinya jangan merasah hebat, terganung rasa,tahu karma. Dimanapun kita berada, jangan merasa hebat berbuat semaunya.
d.      Sugih tanpa bondho, digdhoyo tanpa aji, ngalurung tanpa bala, menang tanpa ngasarake. Artinya kaya tanpa harta, sakit tanpa azimat, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan.[2]

B.     Modernisasi dalam Budaya Jawa
Ketahanan hidup Islam tradisional dalam dunia modern, masuknya modernisasi kedalam dar al-Islam, dan kebangkitan kembali yang dikaitkan dengan nama atau realitas dengan Islam yang berlangsung akhir-akhir ini mewujudkan sebuah besar karya Islam dan masa depannya. Islam tradisional sendiri, sekalipun terdapat gelombang-gelombang modernisasi masih tetap bertahan. Hal ini karena struktur tradisi Islam itu sendiri yang menekankan hubungan langsung antara manusia dan Tuhan .[3]
Modernisasi ialah proses pergeseran sikap dan mentalis sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup dimasa kini. Adapun modernisasi secara terminology terdapat banyak arti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dari banyak ahli. Menurut Daniel Lener, modernisasi adalah istilah baru untuk satu proses yang panjang proses perubahan social dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang.
Kebudayaan adalah hasil berfikir dan merasa manusia yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Wujud budaya tidak lepas darisituasi tempat dan waktu yang dihasilkannya unsur kebudayaan tersebut. Oleh karena itu setiap kebudayaan mengalami perubahan. Seperti terjadinya penyempurnaan sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya bangsa-bangsa  dunia ini, dari tingkat yang sederhana menuju yang lebih kompleks. Dengan terjadinya globalisasi di era modern ini, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada dibelahan dunia ini.
Dalam proses perubahan kebudayaan ada unsur kebudayaan yang sukar berubah dan ada yang mudah berubah. Dalam hal ini kebudayaan dibagi menjadi inti kebudayaan (covert culture) dan perwujudan kebudayaan (overt culture).[4]Berkaitan dengan hal ini, Linton membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan (covert culture) yang terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, dan beberapa adat yang telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat, dan perwujudan kebudayaan (overt culture) meliputi alat-alat atau benda- benda hasil seni budaya. Dalam konteks terjadinya kearah modernisasi yang berciri rasionalistik, materialistis, dan egaliter, maka nilai budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistic.
Sebagai budaya lokal, budaya Jawa Islam memang memilki nilai universal di samping nilai lokalnya. Nilai ke universalnya itu terletak pada nilai-nilai spiritualnya yang relegius magis. Di era modern ini, nilai itu tampaknya masih akan hidup dimasyarakat karena adanya beberapa faktor, diantaranya nilai spiritual Jawa Islam yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak mudah hilang dengan munculnya rasionalisasi diberbagai segi kehidupan.[5] Jadi, orang yang mengaku beragama Islam atau penganut budaya Jawa Islam tidak dapat meninggalkan tradisi spiritualnya, seperti slametan dan wetonan dengan membuat bubur abang putih agar mendapatkan keselamatan.
Namun dalam kenyataannya, dimasyarakat ada pula adat istiadat Jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya rangkaian upacara dalam perkawinan seperti tarub, siraman, midodareni, kacar kucur dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang mulai merasakan pengaruh dari budaya modern yang lebih menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual. Bagaimanapun juga, kehidupan spiritual dibutuhkan pula oleh manusia modern disaat terjadi persaingan ketat yang menunjukkan profesionalisme dan kualitas tinggi diberbagai bidang.
Dilihat dari kebutuhan masyarakat modern terhadap nilai optimal, maka perubahan nilai budaya Jawa Islam diera modern tampaknya lebih banyak terjadi pada budaya fisik. Dalam realitasnya, beberapa nilai budaya Jawa Islam seperti seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang hidup, telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memang memerlukan interpretasi agar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Misalnya slogan alon-alon waton kelakon sering dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang Jawa yang terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang, secara tekstual tentu tidak sesuai lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya efisiensi waktu.[6]
Nilai yang relegius magis pada era modern ini tidak hanya sebatas pada budaya Jawa saja, melainkan juga dapat ditemukan pada negeri lain. Nilai-nilai tersebut masih akan hidup dimasyarakat penganutnya karena ada factor-faktor penyebabnya, antara lain:
1.  Nilai spiritual Jawa yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak akanmudah hilang dengan munculnya rasionalisasi diberbagai segi kehidupan karena diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup di era modern.
2.  Orang yang mengaku beragama Islam , atau penganut budaya Islam, tidak dapat meninggalkan tradisi spiritualnya, seperti selametan dan wetonan dengan membuat bubur abang putih agar mendapatkan keselamatan.
3.   Adat itu telah mengakar lama di masyarakat, maka adat itu dikategorikan dalam covert culture yang sulit dirubah.

C.    Perpaduan Nilai Budaya Jawa dan Islam
Sewaktu Islam masuk ke tanah Jawa masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Dengan masuknya Islam maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha dan Islam.[7] Faktor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam tersebut diantaranya, sifat dari budaya itu yang pada hakekatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain dan terjadinya interaksi manusia yang memungkinkan bertemunya unsur-unsur budaya yang ada dan saling mempengaruhi.
Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka menerima unsur-unsur lain itu, Franz Magnis Suseno menilai bahwa budaya Jawa memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur kebudayaan lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan keasliannya. Dengan demikian, inti budaya Jawa tidak larut dalam Hinduisme dan Budhisme, tapi justru unsur dua budaya itu dapat di Jawakan. Sewaktu budaya Jawa yang animistis magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan Islam yang puritan. Dikalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya Jawa Islam, yang memiliki ciri bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai “wadah”, sedangkan “isinya” adalah Jawa).
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadinya perpaduan nilai budaya Jawa Islam tidak lepas dari sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam ditengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis itu. Dengan metode manut ilining banyu para wali membiarkan adat istiadat Jawa tetap hidup, tetapi diberi warna keislaman, seperti upacara sesajen diganti kenduri atau slametan. Acara sesaji dulu diberi mantra, kemudian para wali menggantinya dengan slametan yang disertai kalimah thoyibah. Keputusan mentolerir adat Jawa pra Islam itu menurut Soclihin Salam bersifat sementara. Dan para wali mengharapkan proses Islamisasi berhasil, akan ada pemeluk Islam yang menjelaskan duduk persoalan adat istiadat Jawa yang diberi baju keislaman tersebut. Sampai sekarang, tradisi slametan masih hidup dikalangan orang-orang Jawa Islam, dengan motivasi penyelenggaraan yang beragam.[8]
Indonesia, khususnya Jawa juga pernah mengalami dualisme kebudayaan yaitu antara kebudayaan keraton dan kebudayaan popular. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional.Kebudayaan istana atau kebudayaan keraton dikembangkan oleh Abdi-Dalem (pegawai istana, mulai dari pujangga sampai arsitek, dan raja berkepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Dalam kebudayaan popular di Jawa terdapat mitos, misalnya cerita walisongo dipantai utara Jawa begitu terkenal, sehingga orang mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya.[9]
Menurut Nurcholish Madjij, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder.[10]
Dalam konteks terjadinya perubahan kearah modernisasi yang berciri rasionalitas, materialistik, dan egaliter, maka nilai budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik. Sebagai budaya lokal, budaya Jawa Islam memiliki nilai universal yang nilai keuniversalan itu terletak pada nilai spiritualnya yang religious magis. Namun dalam kenyataannya, dimasyarakat ada pula adat istiadat Jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya rangkaian upacara dalam perkawinan seperti tarub, siraman, midodareni, kacar kucur dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang mulai merasakan pengaruh dari budaya modern yang lebih menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual.Bagaimanapun juga, kehidupan spiritual dibutuhkan pula oleh manusia modern disaat terjadi persaingan ketat yang menunjukkan profesionalisme dan kualitas tinggi diberbagai bidang.
Dilihat dari kebutuhan masyarakat modern terhadap nilai optimal, maka perubahan nilai budaya Jawa Islam diera modern tampaknya lebih banyak terjadi pada budaya fisik. Dalam realitasnya, beberapa nilai budaya Jawa Islam seperti seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang hidup, telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memang memerlukan interpretasi agar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Misalnya slogan alon-alon waton kelakon sering dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang Jawa yang terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang, secara tekstual tentu tidak sesuai lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya efisiensi waktu.[11]
Untuk menyeimbangkan terjadinya akselerasi antara budaya Jawa Islam dengan dunia modern maka suasana budaya perlu diarahkan. Sebagaimana dengan mudah dipahami bahwa budaya Jawa di era sekarang amatlah dipengaruhi dengan suasana sosial yang hidup ditengah masyarakat.[12] Selain itu, perlu dilakukan rekonstruksi agar pesan feodalisme yang melekat dalam budaya Jawa, seperti tata karma yang menerapkan hierarki bahasa, dapat diubah dalam bentuk yang egaliter. Karena diera modern orang tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat budaya sehingga menginginkan penggunaan bahasa yang berlaku nasional atau internasional. Oleh karena itu penggunaan bahasa krama inggil yang mencerminkan strata sosial masyarakat tidak dipaksakan pemakaiannya. Yang terpenting, secara substansial nilai sopan santun berbicara dan bertingkah laku yang terdapat dalam budaya Jawa Islam tetap dilestarikan. Dengan sifat budaya Jawa yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang luhur masih dapat bertahan, sewaktu berhadapan dengan unsur budaya modern yang global.[13]

D.       Enkulturasi Nilai Budaya Jawa-Islam
Proses enkulturasi dapat diterjemahkan dengan suatu istilah pembudayaan atau institutionalization. Dalam proses enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup didalamnya. Proses enkulturasi mula-mula dari orang didalam lingkungan keluarganya, kemudian meniru berbagai macam tindakan yang diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan.[14]
Nilai budaya Jawa Islam yang terdiri dari gagasan atau konsep tentang berbagai hal, pada umunya dijadikan pedoman dalam kehidupan penganutnya. Agar dapat dijadikan pedoman, maka nilai yang masih bersifat abstrak itu diwujudkan dalam norma-norma untuk mengatur tindakan individu diberbagai lapangan. Maka muncul pranata-pranata dibidang pendidikan, ekonomi, social, kesenian, agama, dan lain-lain. Ditinjau dari sisi kepatuhan terhadap norma-norma beserta sanksinya, terdapat dua kategori norma, yaitu tata cara (folkways) dan adat istiadat (mores).
Masuknya norma-norma kedaerah emosional para pendukung suatu kebudayaan tidak terlepas dari upaya enkulturasi (pembudayaan) yang secara terus menerus dilakukan melalui tradisi lisan maupun tertulis. Maka sejak kecil, seseorang telah diperkenalkan dengan unsur-unsur budaya yang hidup ditengah keluarga maupun masyarakatnya. Sosialisasi secara ilmiah maupun terprogram, membawa pada proses internalisasi nilai budaya itu dalam kehidupan setiap individu sehingga tertanam secara mantap dalam pribadinya. Kuatnya adat istiadat yang melekat dalam sanubari seseorang menyebabkan sulitnya merubah adat yang telah mengakar dimasyarakat. Oleh karena itu, muncul pepatah “adat tak lekang oleh panas, dan tak lapuk oleh hujan.”
Adanya beberapa faktor yang mengancam eksistensi tradisi Jawa merupakan salah satu pendorong kalangan raja-raja atau keraton untuk menjaga kelestarian budaya Jawa Islam. Karena raja-raja Surakarta pada masa itu, walaupun telah memeluk Islam, tapi masih mempertahankan budaya pra Islam karena adanya berbagai kepentingan. Oleh karenanya pihak keraton mendukung penuh upaya enkulturasi nilai budaya Jawa Islam ketengah masyarakat. Dalam konsep budaya Jawa, raja memiliki kedudukan tinggi dalam struktur masyarakat Jawa, dan penduduk yang bertempat tinggal diwilayah kerajaan adalah milik raja. Maka mereka harus patuh terhadap perintah raja, termasuk untuk nguri-uri budaya Jawa Islam. Kepatuhan seseorang terhadap raja dalam Serat Wulangreh, diibaratkan seperti sarah munggeng jaladri, darma lumaku sepakon, seperti sampah dilaut, yang mengikuti kemana air mengalir.[15]

E.        Isi dan Wujud Budaya Jawa-Islam
Manusia dalam laku perbuatannya selalu memiliki tujuan yang berharga atau bernilai. Dan nilai-nilai itulah yang menggerakkan manusia untuk melahirkan konsep, gagasan, ide, perilaku, serta bentuk-bentuk kebudayaan fisik. Koentjaraningrat menempatkan nilai budaya pada lingkaran yang dalam, Karena menempatkan pusat dari unsur budaya lainnya. Kemudian disusul dengan lingkaran berikutnya yang disebut dengan system budaya (berupa gagasan-gagasan) dan system social (berupa tingkah laku) serta kebudayaan fisik yang merupakan wujud konkret dari kebudayaan.
Dengan menggunakan pola-pola yang telah disebutkan, maka nilai budaya Jawa Islam yang religious magis menjadi penggerak diri munculnya corak pikiran, tingkah laku, maupun perbuatan manusia Jawa Islam. Nilai budaya Jawa Islam yang religious itu telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut. Dilihat dari proses pertumbuhan nilai budaya Jawa Islam, nilai itu muncul dalam masa transisi antara periode Jawa Hinduisme dengan Islam. Oleh karena itu, nilai budaya pra Islam yang bercorak sinkretis tidak mudah untuk digantikan oleh budaya Islam yang bersumber pada asas monotheistis. Jadi, yang tercipta kemudian adalah perpaduan antara nilai budaya Jawa dengan nilai budaya Islam (akulturasi). Dimana unsur budaya Jawa masih tampak, demikian pula unsur Islamnya, misalnya puasa yang disertai puji dina.
Dikalangan orang Jawa dikenal beberapa macam puasa seperti puasa mutih, patigeni, ngebleng, dan lain-lain yang merupakan bentuk dari tirakat. Diantara puasa itu ada yang disertai dengan dzikir yang diambil dari asma’ul husna. Seperti puasa yang dilakukan pada hari Jum’at, dengan tidak makan nasi sehari semalam, disertai dzikir: Ya Kafiyyu Ya Qowiyyu sebanyak 103 kali semalam. Selain bentuk akulturasi, ada pula nilai budaya Jawa yang berpadu dengan nilai budaya Islam dalam bentuk asimilasi, dimana unsur-unsur dua budaya itu dapat menyatu sehingga tak dapat dipisahkan, misalnya gapura. Bentuk gapura itu tidak mengalami perubahan pada budaya Jawa maupun Islam. Gapura yang terdapat ditempat ibadah umat Hindu (pura), tidak berbeda dengan yang ada dimasjid maupun makam-makam.[16]

                         IV.            PENUTUP / KESIMPULAN
Merebaknya budaya Barat di tengah masyarakat, berubahnya sikap dan pola hidup terhadap budaya Jawa, dan kurangnya penanaman dan pemahaman budaya Jawa sejak dini kepada masyarakat menjadi penyebab dari memudarnya budaya Jawa di era modernisasi. Cara untuk menanggulangi adanya modernisasi globalisasi tersebut, salah satunya adalah intropeksi diri, oleh karena itu perlunya ditingkatkan kesadaran diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan menggunakan filsafat Jawa sehingga jangan sampai orang Jawa kehilangan kepribadiannya.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.Dengan masuknya Islam maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha dan Islam. Dikalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya Jawa Islam, yang memiliki ciri bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai “wadah”, sedangkan “isinya” adalah Jawa).

                            V.            DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan,dkk. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global
Amin, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Amsyari, Fuad. 1993. Masa Depan Umat Islam Indonesia. Bandung: Al-Bayan
Hasan, Riaz. 1985. Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Jakarta: CV. Rajawali
Koenjaraningrat. 2000. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta:  Djambatan
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Nasr, Seyyed Hossein. 1987. Islam Tradisi di tengah Kancah Dunia Modern. Bandung: Pustaka
Strange, Paul., Kejawen Modern. Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang

                         VI.            BIODATA PEMAKALAH
1.      Nama                                 : Fatimah Ratna Mutiara
NIM                                  : 113911018
Jurusan/Prodi                     : PGMI
Tempat/Tanggal Lahir         : Pati, 1 Febuari 1993
Pendidikan                         : SDN Kajen
                                            MTs Salafiyah Kajen
                                            MA Salafiyah Kajen
                                            IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              : Kajen RT/RW :01/II Kec. Margoyoso Kab. Pati
Nomor Telepon                 : 087833802181
E-mail                                : fatimahratna01@gmail.com

2.      Nama                                : Hanifah Lutfiatuz Zakiyah
NIM                                  : 113911019
Jurusan/Prodi                     : PGMI
Tempat/Tanggal Lahir         : Temanggung, 19 Mei 1992
Pendidikan                         : SD Petompon 01 Semarang
                                            Mts Assalaam Temanggung
                                            MA Assalaam Temanggung
                                            IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              : Jl. Simongan 1 rt 8 rw 2 Semarang Barat
Nomor Telepon                 : 08985630119
E-mail                                : haneefnief@yahoo.com
                 
3.      Nama                               : Umi Mukaromah
NIM                                 : 123111157
Jurusan/Prodi                    : PAI
Tempat/Tanggal Lahir       : Kendal, 23 November 1994
Pendidikan                       : MI Parakan Sebaran Pageruyung Kendal
                                                                       SMPN 1 Pageruyung Kendal
                                                                       SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo
                                                                       IAIN Walisongo Semarang
Alamat                             : Parakan Sebaran RT: 01/ RW: 03 Kec.
                                                                        Pageruyung Kab. Kendal
Nomor Telepon                 : 085727027139 / 089604901255
E-mail                               : Umimukaromah379@yahoo.com



[1]Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media,2002) hlm.31
[2]Koenjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta:  Djambatan,2000), hlm.71
[3]Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Pustaka, 1987, hlm. 211-220
                                [4]Darori Amin, Op.cit. hlm.285-286
.

[6]Ibid, hlm. 289
[7]Ibid, hlm.277
[8]Ibid, hlm. 277-279.
[9]Dr. Paul Strange, Kejawen Modern, Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2009, hlm. 44-47.
[10]Irwan Abdullah,dkk, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, hlm. 34
[11]Drs. H. M. Darori Amin, M., Op.cit., hlm. 285-289.
[12]Dr, Fuad Amsyari, Masa Depan Umat Islam Indonesia, Bandung: Al-Bayan, 1993, hlm. 44.
[13]Drs. H. M. Darori Amin, M., Op.cit., hlm. 289
[14]Koentjaraningrat, Op.cit., hlm. 247-248
[15]Drs. H. M. Darori Amin, M., Op.cit., hlm. 282-285
[16]Ibid., hlm. 280-282