PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA ANAK
Disusun Oleh:
Umi Mukaromah
I.
PENDAHULUAN
Sebagaimana terjadi pada aspek kehidupan yang
lainnya, maka rasa keagamaan yang dimiliki oleh anak-anak mengalami adanya perkembangan
sebagaimana hal ini terkait dengan terjadinya perkembangan pada diri seseorang
secara menyeluruh. Manusia sebagai satu kesatuan, maka satu bagian tidak akan
bisa dipisahkan dengan bagian yang lainnya. Perkembangan bukan merupakan proses
yang berdiri sendiri, terlepas dari bagian yang lain, tetapi merupakan rentetan
yang tidak putus dan saling terkait dalam satu mekanisme yang saling
berpengaruh dan mempengaruhi.
Rasa keagamaan ternyata juga mengenal adanya
perkembangan diri seseorang, sebab jika diperhatikan, rasa keagamaan yang
dimiliki anak-anak maupun rasa keagamaan remaja akan berbeda dengan rasa
keagamaan orang dewasa. Hal itu terbukti dalam kenyataan hidup sehari-hari
misalnya jika kebetulan anak melakukan sholat, maka si anak tersebut lebih
banyak menggantungkan dirinya kepada orang lain dengan jalan menirukan
orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga tidak jarang anak-anak dalam
melakukan sholat kadang-kadang berubah-ubah menurut keadaan sekitarnya. Berbeda
dengan anak remaja, mereka sudah kelihatan semakin mampu membawakan dirinya dan
menguasai dirinya, sehingga sholat yang dilakukan tidak mengalami adanya
perubahan-perubahan seperti anak-anak. Lain halnya dengan orang yang sudah
dewasa, maka dengan penuh kesadaran dan pengertian melakukan sholat sebagaimana
yang ada di dalam ajaran yang telah dia pelajari dan yakini.
Berpijak pada sedikit pengantar di atas, dalam
makalah ini secara khusus akan dibicarakan tentang perkembangan rasa keagamaan
pada masa anak.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah tahap perkembangan beragama pada
anak?
B.
Bagaimanakah proses timbulnya keagamaan pada
anak?
C.
Bagaimanakah perkembangan agama pada masa
anak?
D.
Bagaimanakah sifat-sifat agama pada masa anak?
E.
Apa saja hambatan-hambatan dalam perkembangan
pada masa anak?
III.
PEMBAHASAN
A. Tahap Perkembangan Beragama pada Anak
Masa anak-anak adalah masa sebelum masa remaja, yaitu masa sebelum umur 12
tahun, di mana masa tersebut sebenarnya mengandung tiga periodesasi
perkembangan, yaitu:
1. Umur 0,0 – 2,0 tahun disebut masa vital. Masa vital merupakan masa
perubahan jasmani yang tercepat. Pada umumnya jika anak itu normal dan sehat,
maka selama enam bulan pertama, bertambah kurang lebih dua kali lipat dari
berat badannya sewaktu lahir. Orang tua mempunyai pengaruh yang sangat besar
sekali terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anak dan juga dalam
pembentukan pribadi anak pada masa ini.
2. Umur 2,1 – 6,0 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak
terjadi perkembangan psikis yang terbesar. Menurut Konhstam pada masa ini anak
mengalami perkembangan pengamatan indera yang terbesar. Anak mulai sadar akan
dirinya dan mulai mengenal antara dirinya dan orang lain. Masa ini disebut orang
Barat dengan masa individualisme yang pertama, yaitu suatu masa di mana anak
menunjukkan kecenderungannya untuk berkeras kepala, suka menolak perintah atau
saran-saran dari orang lain.
3. Umur 6,1 – 12,0 tahun disebut masa sekolah. Masa sekolah yaitu masa di mana
anak sudah mulai dianggap matang untuk mengikuti pelajaran di sekolah dasar,
jika perkembangan anak tersebut normal. Adapun tanda-tanda kematangan itu
antara lain:
a. Ada kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan serta berkesanggupan untuk
menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh orang lain kepadanya walaupun
sebenarnya dia tidak menyukainya.
b. Perasaan sosial kemasyarakatan sudah mulai tumbuh dan berkembang, hal ini
dapat terlihat di dalam pergaulan anak dengan teman-temannya.
c. Telah memiliki perkembangan jasmani yang cukup kuat dalam rangka
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
d. Telah memiliki perkembangan intelek yang cukup besar, hingga memiliki
minat, kecekatan, dan pengetahuan.[1]
Menurut Raharjo dalam karyanya yang berjudul “Pengantar Ilmu Jiwa Agama”,
perkembangan jiwa beragama pada anak terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. The Fierly Tale Stage (Tingkat Dongeng), tahap ini terjadi pada anak berumur
3-6 tahun. Konsepnya mengenai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi,
sehingga dalam menanggapi agama, anak masih menggunakan konsep fantastis yang
diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Cerita Nabi akan dikhayalkan
seperti yang ada dalam dongeng-dongeng.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan), pada tingkat ini pemikiran anak
tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai Pencipta. Hubungan
dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan
menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini terdapat satu hal yang perlu
digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan
pertumbuhan logika, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan
dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu), pada tingkat ini anak telah memiliki
kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. [2]
B. Proses Timbulnya Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik, maupun psikis. Walaupun
dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat
laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan
pemeliharaan yang mentap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak dalam
proses menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang
dimilikinya, yaitu:
1.
Prinsip biologis
Secara fisik, anak yang baru dilahirkan dalam
keadaan lemah, dalam segala gerak dan tindak tanduknya, selalu memerlukan
bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat
berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan
tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2.
Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan
fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia
dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak
berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3.
Prinsip eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan
potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani
memerlukan pengembangan melalui pemeliharan dan latihan. Jasmaninya baru akan
berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental
lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan
pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian
perkembangannya.
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan
melalui pentahapan.
Menurut beberapa ahli, anak bukanlah dilahirkan sebagai
makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan
malahan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada
bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya,
bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru
berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada
pada tahap kematangan.[3]
C. Perkembangan Agama pada Masa Anak
Setiap anak atau manusia mempunyai beberapa kebutuhan dasar yang berasal
dari dorongan-dorongan manusiawinya, antara lain:
1. Dorongan fisik (jasmaniah)
2. Dorongan emosional (perasaan)
3. Dorongan sosial (bergaul, bermasyarakat)
4. Dorongan mental (berilmu dan berpengalaman)
5. Dorongan spiritual (beragama, bermoral, dan sebagainya)
Dorongan-dorongan tersebut dibawa anak semenjak lahir, sehingga dengan
demikian setiap anak yang normal membutuhkan hal-hal yang sifatnya jasmaniah
dan berkaitan dengan kebutuhan biologisnya, untuk dapat memenuhi dan
menyalurkan perasaannya, kebutuhan akan orang lain dalam kehidupan bersama dan
bermasyarakat, kebutuhan ilmu pengetahuan dan pengalaman termasuk kebutuhan
akan agama dan moral.
Dengan demikian rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak adalah
bersifat instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya.
Rasa keagamaan itu ada dengan sendirinya dalam diri anak yaitu rasa pengakuan
adanya kekuatan dari sesuatu di atas kekuatan dirinya dan alam.
Dalam kenyataannya, rasa keagamaan tersebut akan tergambarkan dalam diri
anak sesuai dengan sifat kekanak-kanakannya yang kemudian berkembang sesuai
dengan perkembangan psikisnya. Mungkin saja pada awalnya dijabarkan dengan
adanya rasa takut terhadap sesuatu di luar dari apa yang pernah dilihat oleh
anak secara panca inderawi, atau kemudian berkembang lagi setelah anak itu
berada dalam perkembangan pengamatan yang terbesar dengan menganggap sesuatu
yang menakjubkan dikaitkan dengan orang-orang atau tokoh-tokoh yang selama ini
banyak dikenal dalam memberikan perlindungan dan pertolongan.
Atau juga dikaitkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar atau
diamatinya sehingga benda-benda yang menakjubkan atau figuran-figuran tersebut
menjadi penyaluran yang efektif dari rasa keagamaannya untuk sementara. Dalam
masa anak-anak semacam itu memang tidak bisa dipungkiri betapa besarnya peran
orang tua dalam kehidupan anak-anak termasuk juga dalam kehidupan keagamaannya.
Orang tua mempunyai peranan penting dalam membina dasar-dasar keagamaan,
terutama di dalam mengarahkan, melatih, dan membiasakan kelakuan-kelakuan
keagamaan. Orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyabab
berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya
dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan
hidupnya dahulu. Apa yang dipercaya oleh anak tergantung kepada apa yang
diajarkan kepadanya oleh orang tua di rumah atau guru di sekolah, karena ia
masih belum mampu berpikir secara logis, kepercayaan anak itu bisa saja
bersifat kontradiksi misalnya ia percaya bahwa Tuhan itu baik, tetapi di lain
pihak dapat memberikan hukuman kepada manusia.[4]
Banyak orang tua berpendapat bahwa anak-anak yang belum bersekolah adalah
terlalu kecil untuk diberi pendidikan agama. Mereka masih terlalu kecil.
Pikiran mereka belum waktunya memikirkan agama. Tunggu sampai mereka sudah
dewasa, demikian pendapat banyak orang tua.
Pendapat ini pada umumnya tidak dibenarkan oleh para ahli pendidik zaman
modern ini. Dari hasil pendidikan dikemukakan bahwa pendidikan agama sudah
harus diberikan kepada anak-anak sebelum mereka bersekolah. Pendidikan agama
itu akan banyak bergantung pula atas sikap orang tua itu sendiri.
Dengan lain perkataan sikap orang tua akan menentukan jenis pendidikan
agama apa yang diberikan kepada anaknya. Mustahil bagi orang tua yang tidak
memperdulikan agama, mengharapkan anaknya akan memperoleh dasar keyakinan agama
yang baik.
Biasanya pendidikan agama yang diberikan kepada anak-anak pada masa kecil,
akan bersifat menentukan bagi kehidupan agama mereka di kemudian hari. Namun
ada pula kenyataan yang membuktikan bahwa semakin mereka bertumbuh dan menjadi
dewasa, pikiran mereka dan sikap mereka pun akan lebih kritis lagi terhadap
agama dan soal doktrin.
Hal ini mudah dipahami, karena semakin dewasa mereka akan dihadapkan kepada
banyak persoalan ilmu pengetahuan, atau pergaulan sesama teman yang tidak
percaya adanya Tuhan atau mereka yang tidak beragama. Apabila seorang anak
sudah menerima pelajaran agama sejak kecil, yang diberikan dengan sabar dan
teliti oleh orang tuanya, maka hal ini berarti bahwa ia telah dilengkapi dengan
suatu kekuatan rohani untuk mengahadapi pengaruh-pengaruh anti agama yang akan
dijumpainya kemudian hari. Betapa besar malapetaka yang akan menimpa kehidupan
seorang anak pada masa pertumbuhan sampai ia menjadi dewasa, apabila ia sama
sekali tidak diberi pelajaran agama pada masa kecilnya.[5]
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan sangat ditentukan oleh pendidikan
dan pengalaman. Dan seorang anak yang tidak mendapat pendidikan agama dan tidak
pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan
cenderung terhadap sikap negatif terhadap agama. Hubungan anak dengan orang
tuanya, mempunyai pengaruh dalam perkembangan agama anak, karena anak akan
merasakan hubungan hangat dengan orang tuanya, merasa bahwa ia disayangi dan
dilindungi, serta mendapat perlakuan yang baik. Mereka akan mudah menerima dan
mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selanjutnya akan cenderung kepada agama.[6]
Nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelum bersekolah,
akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak itu, pada masa kecil
sampai ia menjadi dewasa. Mengapa terjadi banyak gejala negatif, misalnya dalam
kehidupan anak dan orang muda tidak berdisiplin, sikap menentang orang tua
menimbulkan berbagai kesulitan di sekolah dan sebagainya. Para ahli berpendapat
bahwa yang menjadi sumber utama ialah karena orang tua telah melalaikan
pendidikan rohani bagi kehidupan anak itu. Pada masa kecil mereka tidak diberi
pendidikan supaya mengenal Tuhan.
Memang untuk memberikan pendidikan agama khususnya menanamkan rasa
ke-Tuhanan dalam diri anak yang relatif usianya sangat muda, orang tua sedikit
mengalami kesulitan karena bagi anak itu sendiri pemikiran tentang Tuhan adalah
sesuatu tentang kenyataan luar, dan anak pun juga akan sedikit mengalami
pengalaman yang pahit. Mereka kadang-kadang menerima pikiran tentang Tuhan
setelah lebih dulu ia ingkari dan penuh keraguan, oleh sebab itu mulai umur 3
sampai 4 tahun kurang lebih anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang ada
hubungannya dengan agama, misalnya: Siapa Tuhan itu? Di mana surga dan
bagaimana cara pergi ke sana? Dan anak memandang alam ini seperti memandang dirinya,
belum ada pengertian yang metafisik. Sampai sekitar umur 7 tahun, perasaan si
anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif, yaitu takut, menentang dan ragu. Dia
berusaha untuk menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, sedang
gambarannya terhadap Tuhan pada dasarnya negatif, yaitu takut, menentang, dan
ragu. Dia berusaha untuk menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan
Tuhan, sedang gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya. Tuhan bagi
mereka hidup sebagai kehidupan manusia biasa. Dia memahami sesuatu yang
diajarkan kepadanya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dalam batas
pengalamannya.
Setelah anak mencapai umur lebih 7 tahun maka pandangan anak tentang Tuhan
semakin positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi dengan rasa percaya
dan rasa aman, sehingga sedikit demi sedikit kegelisahan yang dirasakan oleh
anak semakin menipis, dan anak-anak betul-betul ingin mengetahui rahasianya.
Sampai kira-kira umur 8 tahun hubungan anak-anak dengan Tuhan adalah hubungan
individual, hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat,
yang dibayangkan dengan cara sendiri. Adapun kepercayaan tentang Tuhan dan
keyakinan yang diajarkan oleh lingkungannya pada umur ini, belum betul-betul
menjadi bagian dari pembinaan pikirannya, kecuali pada usia yang lebih besar
lagi.
Dasar yang sudah ada di dalam diri anak dalam mengenal Tuhan dapat
dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman dan latihan, yang pada saatnya anak
itu sendiri nanti akan memperoleh keyakinan yang dapat diterimanya sebagai
sesuatu yang dibutuhkan. Berdasarkan gambaran psikis pada masa anak-anak, maka
dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran anak tentang Tuhan bukanlah keyakinan
sebagaimana yang terdapat pada diri orang dewasa, atau satu hipotesa, tetapi
sikap emosi yang lebih dekat pada kebutuhan jiwa anak dan pemikiran tentang
Tuhan adalah pemuasan dari kebutuhan si anak akan seorang pelindung.[7]
Dengan demikian maka di dalam penjabarannya kita melihat berbagai tingkah
laku anak dan juga di dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada orang di
sekitarnya ataupun juga di dalam lukisan kata-kata mereka. Yang kesemuanya itu
merupakan penyaluran yang efektif bagi anak sebagai penyebab dari keraguan yang
selama ini dialami. Dalam saat-saat demikian inilah pengaruh luar mempunyai
perasaan yang sangat menentukan pola keagamaan anak, dan perkembangan rasa
keagamaannya untuk masa-masa yang akan datang.[8]
D.
Sifat-Sifat Agama pada Masa Anak
Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak.
Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh
mengikuti pola ideas concept on authority. Ide keagamaan pada anak
hampir sepenuhnya autoritas, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka
dipengaruhi oleh fakrot dari luar diri mereka. Berdasarkan hal itu, maka bentuk
dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective (tidak mendalam). Anggapan anak terhadap ajaran agama dapat mereka terima
dengan tanpa kritik. Karena anggapan mereka tidak begitu mendalam sehingga
cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang
kadang-kadang kurang masuk akal.[9]
2. Egosentris. Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya.
Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh
keraguan pada rasa egonya. Dengan demikian, semakin bertumbuh, semakin mengingkat
pula egoisnya.
3. Antromorpis. Konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya
dikala ia berhubungan dengan orang lain. Mereka menganggap bahwa keadaan Tuhan
itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang
berbuat jahat.
4. Verbalis dan Ritualis. Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan.
Mereka juga melaksanakan tuntunan yang diajarkan.
5. Imitatif. Dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak
pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan sholat misalnya mereka
laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan
atau pun pengajaran yang intensif.
6. Rasa heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang
terakhir pada anak. Rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan kreatif
sebagaimana orang dewasa.[10]
Ringkasnya, masa anak-anak merupakan periode yang dinamis secara psikologis
maupun religius. Anak-anak memiliki kemampuan yang luar biasa dalam meniru
perilaku orang dewasa. Tetapi pada umumnya anak memasukkan ke dalam pikiran,
perasaan, dan kehendaknya apa yang didengar dan dilihatnya sesuai dengan
kemampuannya. Menerima agama masa anak dan memberi keleluasaan kepada mereka
untuk bebas ikut serta dalam kegiatan umat yang diikuti oleh semua anggota dari
segala umur, dapat menjadi cara untuk menyiapkan mereka dalam peziarahan menuju
kedewasaan religius.[11]
E.
Hambatan-Hambatan dalam Perkembangan pada Masa
Anak
Di dalam menuju kedewasaan beragaman, maka akan terjadi hal-hal yang
kadang-kadang mengganggu perkembangan pada anak. Perkembangan memerlukan waktu,
karena kedewasaan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Dan juga perkembangan
tersebut tidaklah monoton, tetapi banyak variasi secara berirama dijumpai di
dalamnya. Menurut M. Hafi Anshari dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar
Ilmu Jiwa Agama” menyebutkan dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan, yaitu:
1. Faktor diri sendiri
Dalam hal ini ada dua yang menonjol yaitu
kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas diri berupa kemampuan ilmiah (ratio)
dalam menerima ajaran-ajaran agama. Di sini akan terlihat perbedaan antara anak
yang mampu dan kurang mampu dalam menerima agama. Bagi yang mampu menerima
dengan rationya, mereka akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran
agama itu dengan baik.
Namun lain lagi dengan anak yang kurang mampu
menerima dengan rationya, dia akan lebih banyak terganggu kepada kondisi
masyarakat yang ada. Dalam keaktifan berbuat melakukan perbuatan religious
sebenarnya mereka penuh keraguan dan kebimbangan, sehingga apabila terjadi
perubahan-perubahan, maka perubahan tersebut tidaklah melalui prose berpikir
sebelumnya, tetapi lebih bersifat emosional.[12]
Di samping kemampuan rasional, kemampuan
emosional juga akan berpengaruh terhadap perkembangan rasa keagamaan anak,
seperti dihinggapi rasa enggan untuk mengerjakan kelakuan-kelakuan keagamaan
atau keengganan merubah dari sesuatu yang sebenarnya tidak diyakini (ragu)
kepada yang tidak diragukan karena rasa solidaritas yang terlalu besar.
Termasuk juga faktor diri sendiri adalah
pengalaman yang dimiliki. Semakin banyak dan luas pengalaman seseorang dalam
bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan
kelakuan-kelakuan religius, tetapi bagi anak yang mempunyai pengalaman sedikit
dan sempit maka dia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu
dihadapkan kepada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara
mantap dan stabil. Sehingga perkembangannya akan lebih bersifat statis.
2. Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi
lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah
justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada.
Faktor luar antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur
kemasyarakatan yang sudah dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa
oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai.
Kadang-kadang tradisi itu sendiri tidak ketemu dari mana asal-usul dan sebab
musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.[13]
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di dalam makalah ini
dapat diambil kesimpulan bahwa rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak
bersifat instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya.
Meskipun seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah, peran orang tua sangat
pengaruh dalam perkembangan agama pada anak. Orang tualah yang menentukan jenis
pendidikan agama apa yang diberikan kepada anaknya. Bagi orang tua yang tidak
memperdulikan agama namun mengharapkan anaknya akan memperoleh dasar keyakinan
agama yang baik, hal itu tidak memungkinkan.
Selain ditentukan oleh peran orang tua,
perkembangan agama pada anak juga sangat ditentukan oleh pendidikan dan
pengalaman. Seorang anak yang tidak mendapat pendidikan agama dan tidak pula
mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung
terhadap sikap negatif terhadap agama. Dengan demikian nilai-nilai ajaran agama
dalam kehidupan seorang anak sebelum bersekolah, atau sebelum mereka remaja
akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak itu, sampai ia menjadi
dewasa.
V. PENUTUP
Demikian
penjelasan tentang “Perkembangan Anak pada Masa Anak”.
Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dalam menambah wawasan keilmuan dan bagi
penulis dalam rangka beramal jariyah. Penulis menyadari masih banyak kesalahan
dalam penyusunan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi tegaknya kebenaran dan menghindari mudharat yang ditimbulkan dari
kesalahan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, M. Hafi. 1991.
Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
Crapps, Robbert W. 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta:
Bulan Bintang.
Jalaluddin. 1996. Psikologi
Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Raharjo. 2002. Pengantar
Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
[1]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 69-70.
[2]
Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 28-29.
[3]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 64-65.
[4]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 70-71.
[5]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 72.
[6]
Prof. Dr. Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), hlm 59.
[7]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 72-73.
[8]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 75.
[9]
Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 68.
[10]
Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 69-71.
[11]
Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan
Keagamaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 22.
[12]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 97-98.
[13]
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 99.