Jumat, 20 September 2013

KEWAJIBAN BELAJAR DAN MENGAJAR




KEWAJIBAN BELAJAR DAN MENGAJAR
Oleh:
UMI MUKAROMAH
 

A.    Ayat dan Terjemahannya
1.      Q.S. Al-Alaq: 1-4
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
2.      Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
3.      Q.S. Al-Taubah: 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

4.     Q.S. Ali Imran: 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
B.     Penjelasan Isi Tafsir Ayat
1.      Q.S. Al-Alaq: 1-4
Tafsir ayat 1:
Allah menyuruh Nabi agar membaca, sedang beliau tidak pandai membaca dan menulis, maka dengan kekuasaan Allah ini beliau dapat mengikuti ucapan Jibril. Dan Allah akan menurunkan kepadanya suatu kitab yang akan menjadi petunjuk bagi manusia.
Maksudnya, bahwa Allah yang menjadikan dan menciptakan seluruh makhlukNya dari tidak ada kepada ada, sanggup menjadikan Nabinya pandai tanpa belajar.
Tafsir ayat 2:
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan cara bagaimana ia menjadikan manusia: yaitu manusia sebagai makhluk yang mulia dijadikan Allah dari sesuatu yang melekat dan diberinya kesanggupan untuk menguasai segala sesuatu yang ada dibumi ini serta mendudukkannya untuk keperluan hidupnya dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya dan dia berkuasa pula menjadikan insan kamil diantara manusia, seperti Nabi SAW yang pandai membaca walaupun tanpa belajar.
Tafsir ayat 3:
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kembali NabiNya untuk membaca, karena bacaan tidak dapat melekat pada diri seseorang kecuali dengan mengulang-ulangi dan membiasakannya, maka seakan-akan perintah mengulangi bacaan itu berarti mengulang-ulangi bacaan yang dibaca dengan demikian isi bacaan itu menjadi satu dengan jiwa Nabi SAW. Nabi SAW dapat membaca adalah dengan kemurahan Allah. Dia mengabulkan permintaan orang-orang yang meminta kepada-Nya, maka dengan limpahan karunia-Nya dijadikan Nabi-Nya pandai membaca. Dengan demikian hilanglah keudzuran Nabi SAW yang beliau kemukakan kepada Jibril ketika menyuruh beliau membaca: “Saya tidak pandai membaca karena saya seorang buta huruf yang tak pandai membaca dan menulis”.[1]
Tafsir ayat 4
Disini Allah menyatakan bahwa diri-Nyalah yang telah mengajari manusia dengan perantara qolam. Yang menjadikan pena sebagai sarana berkomunikasi antar sesama manusia sekalipun letaknya saling berjauhan. Oleh sebab itu Zat Yang Menciptakan benda mati bisa menjadi alat komunikasi- sesungguhnya tidak ada kesulitan bagi-Nya menjadikan Nabi Muhammad bisa membaca dan memberi penjelasan serta pengajaran.[2]
2.      Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20
Tafsir:
Dalam ayat-ayat ini dalam bentuk pertanyaan Allah mengungkapkan bahwa apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan-Nya, unta yang berada didepan mata mereka pergunakan pada setiap waktu. Dan bagaimana pula langit yang berada ditempat yang tinggi dengan tidak bertiang, bagaimana gunung-gunung dipancangkan dengan kokoh, tidak bergoyang sehingga mudah didaki setiap waktu dan dijadikan petunjuk bagi orang yang dalam perjalanan terdapat diatasnya danau-danau dan mata air yang dapat dipergunakan untuk keperluan manusia dan mengairi tumbuh-tumbuhan dan memberi minum binatang ternak. Bagaimana pula bumi dihamparkan memberi kepada penghuninya untuk memanfaatkan apa yang ada diatasnya. Oleh karena itu, hendaklah manusia memperhatikan bagaimana Tuhan menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Sehingga mereka mengakui bahwa penciptanya dapat membangkitkan mereka kembali pada hari kiamat nanti.[3]
3.      Q.S. Al-Taubah: 122
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu-ilmu agama islam, yang juga merupakan salah satu cara dan alat dalam berjihad. Menuntut ilmu serta mendalami ilmu-ilmu agama, juga merupakan suatu perjuangan yang meminta kesabaran, pengorbanan tenaga dan harta benda serta bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agam islam, agar disebar luaskan dan dipahami oleh segala macam lapisan masyarakat.[4]
4.      Q.S. Ali Imran: 190-191
Dalam ayat ini terkandung pelajaran untuk orang-orang mukmin yang mau menggunakan akal pikirannya, selalu mengharapkan kepada Allah dengan pujian dan do’a, sesudah ia melihat bukti-bukti yang menunjukkan kepada keindahan hikmah, ia pun luas pengetahuannya tentang detail-detail alam semesta yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya.[5]
5.      Pembahasan
1.      Asbab Al-Nuzul
a.       Q.S. Al-Alaq: 1-4
b.      Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20
c.       Q.S. Al-Taubah: 122
d.      Q.S. Ali Imran: 190-191

2.      Munasabah
3.      Muqaranah Al-Ayah
a.       Q.S. Al-Alaq: 1-4
Dalam ayat-ayat ini dijelaskan bahwa syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam belajar adalah dengan membaca. Membaca yang dimaksud disini bukan hanya membaca ayat-ayat qauliyah tetapi juga membaca ayat-ayat kauniyah.
b.      Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20
Pada ayat surat Al-Ghasyiyah ayat 17-20 menjelaskan bahwa setelah kita belajar membaca kita diperintahkan untuk berfikir sambil melihat fenomena alam yang ada.
c.       Q.S. Al-Taubah: 122
Pada ayat ini dijelaskan bahwa orang islam dalam menuntut ilmu tidak hanya berkutat satu bidang ilmu saja, tetapi dapat mempelajari tiap bidang ilmu secara merata.
d.      Q.S. Ali Imran: 190-191
Allah menciptakan alam semesta pasti memiliki tujuan. Dan Allah menganugerahi akal dan pikiran agar manusia dapat memikirkan dan merenungkan alam semesta. Dan Allah meninggikan derajat orang-orang yang mau berpikir. Muhammad Abduh mengatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa manusia menyaksikan tentang keesaan Allah, yaitu adanaya aturan yang dibuat-Nya serta karunia dan berbagai manfaat yang terdapat didalamnya. Hal ini memperlihatkan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat dan berpikir.[6]

e.       Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA



[1] Tim Tashih Departemen Agama, Alqur’an dan Tafsirnya Jilid X, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1990), hlm. 749-750.
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi 30, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), hlm. 347.
[3] Tim Tashih Departemen Agama, op.cit., hlm. 687-688.
[4] Tim Tashih Departemen Agama, Alqur’an dan Tafsirnya Jilid IV, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1990), hlm. 278.
[5] Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi 4, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), hlm. 292.
[6] DR.H.Abuddin Nata, MA., Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 132.
 

HADITS TENTANG JUJUR SEBAGAI PRASYARAT ILMIAH DAN PAHALA AMALIAH


HADITS TENTANG JUJUR SEBAGAI PRASYARAT ILMIAH DAN PAHALA AMALIAH
oleh:
UMI MUKAROMAH
 


I.       PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Sebagai makhluk yang sempurna dan sebagai khalifah dibumi manusia dituntut untuk berakhlak terpuji, karena dengan akhlak terpuji manusia akan selamat didunia dan diakhirat. Dengan demikian hendaklah menghias diri dengan akhlak terpuji dimanapun berada, dimulai dengan berbuat baik terhadap diri sendiri, lingkungan keluarga, dan masyarakat.
Salah satu akhlak terpuji yang harus dimiliki oleh setiap manusia adalah bersikap jujur, karena kejujuran akan membawa pada kebaikan. Kejujuran merupakan pilar keimanan. Kejujuran merupakan kesempurnaan, kemuliaan, saudara keadilan, sebaik-baiknya ucapan, dan hiasan perkataan. Pada pembahasan ini akan dijelaskan pembahasan-pembahasan mengenai:
A.    Bagaimanakah bunyi hadits tentang jujur sebagai prasarat ilmiah dan pahala amaliah?
B.     Bagaimanakah penjelasan hadits tentang jujur sebagai prasarat ilmiah dan pahala amaliah?
C.     Bagaimanakah sikap jujur pada masa sekarang?
D.    Apa sajakah faedah yang dapat diambil dari hadits?

II.    PEMBAHASAN
A.    Hadits tentang Jujur sebagai Prasarat Ilmiah dan Pahala Amaliah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Dari Abdillah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Kalian harus jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur akan ditulis disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta akan ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.”[1]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ الْجَنَّةِ قَالَ الصِّدْقُ وَإِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ وَإِذَا بَرَّ آمَنَ وَإِذَا آمَنَ دَخَلَ الْجَنَّةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ النَّارِ قَالَ الْكَذِبُ إِذَا كَذَبَ الْعَبْدُ فَجَرَ كَفَرَ وَإذَا كَفَرَ دَخَلَ يَعْنِي النَّارَ
(اخرجه أحمدفي الرسالة)
Dari Abdillah bin Umar bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW kemudian bertanya kepada Rasul. Apa itu amal surga? Rasul menjawab, “jujur, ketika seorang jujur maka dia telah melakukan perbuatan baik, dan bila ia berbuat baik maka dia akan aman/ selamat dan bila dia selamat, maka dia akan masuk surga.” Laki-laki itu bertanya, “Apa itu amal neraka?” Rasul menjawab, “Bohong, ketika seorang (hamba) berbohong maka dia telah berbuat salah. Ketika salah maka dia telah kafir dan apabila dia kafir maka dia masuk neraka.”
عَنْ أَبِي الحَوْارَءِ السَّعْدِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِي :مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَمَ ؟ قَالَ حَفِظْتُ مَنْ رَسُوْلَ اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم دَعُ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَالَا يَرِيْبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةُ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةُ(اخرجه الترمذي)
Dari Abi Khauro’ As-Sa’di, berkata, “Saya pernah bertanya kepada Hasan bin Ali: ‘Apa yang anda jaga dari Rasul?’ Hasan menjawab, ‘Dari beliau saya menghapal (semua hadits), tinggalkan apa yang membuatmu ragu menuju apa yang tidak meragukanmu (meyakinkanmu). Sungguh, kejujuran itu menenangkan dan sebaliknya kebohongan itu (melahirkan) keraguan.”

B.     Penjelasan Hadits tentang Jujur sebagai Prasarat Ilmiah dan Pahala Amaliah
Penjelasan Hadits:
عليكم بالصدق
Kata kata  الصدق  yang berarti jujur, terbagi dalam 6 bagian :
1.      Jujur dalam berbicara yaitu tidak berbicara bohong
2.      Jujur dalam niat yaitu ikhlas ( menjaga ma’na kejujuran dalam bermunajat atau mendekatkan diri kepada allah),
3.      Jujur dalam bertekad (kemauan yang besar) pada hal yang baik yang telah kalian niatkan dalam artian menguatkan apa yang telah kita tekadkan
4.      Jujur dalam menepati tekad yang kuat, kategori jujur kali ini ditujukan kepada penguasa yang mengumbar janji tatkala kampanye
5.      Jujur dalam beramal, maksudnya ketika dalam keadaan tertutup atau rahasia maupun terang terangan dia berperilaku dan berkata sama
6.      Jujur dalam maqomat seperti jujur dalam khauf dan roja’
Barang siapa yang dapat mempunyai sifat 6 tersebut maka seseorang tersebut mendapat predikat  صديق , apabila hanya sebagian yang terpenuhi dari sifat jujur tersebut maka mendapat predikat صادق  .
وقال الراغب : الصدق مطابقةالقول:الضمير والمخبرعنه
Ar roghib berkata jujur itu cocoknya berkataan dengan apa yang ada dihati kepada orang yang dikabari, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak disebut  jujur tetapi sebaliknya yaitu bohong , seperti orang munafiq ketika berkata محمد رسول الله  , dalam berbicara memang benar, jujur kepada yang dikabari tetapi dalam hatinya berbeda.
فان الصدق يهدي الى البر
Maksudnya bisa menyampaikan pada amal sholih, yang murni tanpa ada cela atau keburukan.
البر itu sebuah nama yang mencakup semua kebaikan, dan dikatakan pula bahwa البر بمعنى الجنة. Kebaikan disini dimaksudkan sebagai surga.
وان البر يهدي الى الجنة
وفي رواية اخرى :ان الصدق بر, وان البر يهدي الى الجنة
وما يزال الرجل يصدق
Selalu jujur dalam keadaan apapun dan melakukan kejujuran terus menerus.
ويثحرى الصدق, حثى يكثب عند الله: صديقا
واياكم والكذب فان الكذب يهدي الى الفجور وان الفجوريهدي الى النار
   الفجور: berpaling dari istiqomah, juga dapat dikatakan meningkatnya kemaksiatan.
ومايزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عندالله كذابا 
Orang yang terus-menerus berbuat kebohongan akan dicap disisi Allah sebagai  كذابا, orang yang   كذاباdikenal malaikat sebagai ahli bohong, dan  kebohongan tersebut akan disampaikan ke hati  penduduk bumi (manusia), orang orang yang suka berbohong akan ditempeli sifat-sifat pembohong dan akan mendapatkan siksa.
Seorang hamba yang terus menerus berbuat kebohongan didalam hatinya akan ada satu titik, titik itu berwarna hitam, sehingga membuat hatinya menjadi hitam dan dicatat disisi allah sebagai pembohong.
Hadits ini menganjurkan agar selalu berkata jujur, sengaja berbuat jujur dan menikmati kejujuran, dan juga hadits ini memberikan peringatan agar takut berbicara bohong, mempermudah bohong, karena apabila sering mempermudah bohong akan memperbanyak dan menarik kebohongan  kebohongan yang lain.[2]
Penjelasan Lain:
Kata shidq adalah bentuk intensif dari shadiq, dan berarti orang yang diresapi oleh kebenaran. Kata shadiq (orang yang jujur) sendiri berasal dari kata shidq (kejujuran). Derajat paling rendah kejujuran adalah jika batin seseorang serasi dengan perbutan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya. Shidq adalah orang yang benar dalam semua kata-kata, perbuatan dan keadaan batinnya.[3]
Al-Raghib dalam kitabnya Mufradat Al-Qur’an mengatakan: kata al-shidq (kejujuran) dan al-kidzb (kedustaan, kebohongan) pada mulanya dipakai untuk bentuk ucapan -yang berlalu atau akan tiba, berupa janji atau bukan- dalam bentuknya berita, pertanyaan atau tuntutan. Dimana kejujuran adalah ketepatan antara ucapan, isi hati, dan realitas yang diberitakan, dimana apabila syarat itu tidak terpenuhi maka bukanlah kejujuran, tetapi kedustaan atau diantara kejujuran dan kedustaan, seperti ucapan orang munafik.[4]
Barangsiapa yang menginginkan pahala, niscaya mudah baginya patuh akan aturan Allah SWT. Tetapi barangsiapa yang menganggapnya remeh, yaitu adanya surga, niscaya berat baginya untuk melaksanakannya. Bersikap jujur sangatlah ringan bagi mereka yang menginginkan pahala yang besar.[5]
Rasulullah memilih kata yahdi (menunjukkan), karena kejujuran itu menarik kesurga, sebagaimana surga itu membawa keneraka. Beliau juga memilih kata al-fujur (kejahatan) karena kata tersebut mencakup segala bentuk kejahatan.[6]
Petunjuk (menunjukkan) ialah penunjukan untuk sampai tujuan. Kejahatan (al-fujur) ialah menyobek tutup keagamaan, atau diartikan  sebagai kecondongan merusak dan semangat bermaksiat, yakni bahwa kata al-fujr mencakup semua keburukan, dimana asal kata al-fujr adalah bermakna sobekan yang luas.
Kejujuran atau kebenaran ialah nilai keutamaan dari yang utama-utama dan pusat akhlak, dimana dengan kejujuran maka suatu bangsa menjadi teratur, segala urusan menjadi tertib dan perjalanannya adalah perjalanan yang mulia. Kejujuran akan mengangkat harkat pelakunya ditengah manusia, maka ia menjadi orang terpercaya, pembicaraannya disukai, ia dicintai orang-orang, ucapannya diperhitungkan para pengusaha, persaksiannya diterima didepan pengadilan. Dengan ini Rasulullah SAW memerintahkan kita berkejujuran, sebagaimana juga Al-Qur’an memerintahkan kita didalam firman-Nya.[7]
Kebenaran dan kedustaan merupakan dua hal yang bertolak belakang. Kedustaan (al-kizb) merupakan final dari segala hal yang buruk dan sekaligus merupakan asal dari berbagai celaan (al-zamm) dengan segala natijah (hasil) yang jelek. Bertentangan dengan kedustaan yang mengarah cara berfikir yang negatif, maka kebenaran (as-shidq) adalah menginformasikan sesuatu sesuai dengan kenyataan, mengarah kepada cara berfikir yang positif.[8]

C.    Sikap Jujur pada Masa Sekarang
Jujur dan dusta tidak pernah terpisah, padahal keduanya adalah berlawanan. Orang-orang masih mempergunakan timbangan kepada yang manakah sikap atau perangai seseorang. Tetapi dusta (bohong) itu tetap dusta, tidak ada pertikaian diantara yang memandangnya dan tidak ada yang sanggup membela suatu kedustaan, untuk mengatakan bahwa dia itu benar. Dusta menimbulkan kebencian diantara orang-orang dan menyebabkan kehilangan kepercayaan diantara mereka dan menjadikan mereka saling menjauh, tidak saling menolong dan tidak terdapat kerukunan diantara mereka. Karena itu, benarlah islam menganggap dusta sebagai dosa yang besar, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits diatas.[9]
Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Fenomena ketidak jujuran saat ini telah benar-benar menjadi realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk keberbagai wilayah kehidupan manusia. Sosok manusia jujur telah menjadi makhluk langka dibumi ini. Mencari orang-orang pintar lebih mudah daripada mencari orang-orang jujur. Keserakahan dan ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan materialisme dan hedonisme yang cenderung menghalalkan segala cara.
Pada masa sekarang, banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang halal dan haram dalam mencari uang dan jabatan. Sehingga sering didengar ungkapan-ungkapan kaum materialis, “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan banyak juga yang mengucapkan, “kalau jujur akan terbujur, kalau lurus akan kurus, kalau ikhlas akan tergilas.” Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia zaman kini telah dilanda penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit ketidak jujuran.
Dengan demikian, sangat dibutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan kejujuran pada setiap individu. Adapun faktor-faktor yang mendorong tindak kebenaran (as-shidq), menurut Al-Mawardi adalah:
1.      Akal,disamping ia mampu membedakan mana yang benar dan mana pula yang tidak benar, akal juga memiliki kecenderungan kepada kebaikan (mustahsinat).
2.      Agama, karena ia tidak mungkin bertentangan dengan akal, maka syariat datang menguatkan argumentasi akal.
3.      Kepribadian yang baik (muru’ah) ia selalu menentang kecenderungan yang negatif, dan mendorong kepada hal-hal yang positif.[10]
Adapun macam-macam dari kejujuran adalah sebagai berikut:
1.      Jujur dalam niat
Yang dimaksud dengan niat yang benar adalah senantiasa berharap akan ridha Allah SWT dalam setiap perbuatan dan perkataan yang keluar dari mulut seseorang.
2.      Jujur dalam lisan
3.      Jujur dalam berbuat

D.    Faedah yang Dapat Diambil dari Hadits
Berikut ini merupakan faedah yang dapat dipetik dari sikap jujur didalam hadits, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kejujuran merupakan akhlak terpuji yang dianjurkan oleh islam
2.      Diantara petunjuk islam hendaknya perkataan orang sesuai dengan isi hatinya
3.      Jujur merupakan sebaik-baiknya sarana keselamatan didunia dan diakhirat
4.      Seorang mukmin yang bersikap jujur dicintai disisi Allah dan disisi manusia
5.      Membimbing bahwa jujur itu jalan keselamatan didunia dan diakhirat
6.      Dusta merupkan sikap buruk yang dilarang islam
7.      Menasehati orang yang mempunyai sifat dusta
8.      Dusta merupakan jalan yang menyampaikan keneraka
9.      Menegakkan keadilan dan kebenaran
10.  Mendatangkan ketentraman jiwa

III. PENUTUP
Kata الصدق  yang berarti jujur, terbagi dalam 6 bagian yaitu: Jujur dalam berbicara, jujur dalam niat, jujur dalam bertekad, jujur dalam menepati tekad yang kuat, jujur dalam beramal, dan jujur dalam maqomat. Barang siapa yang dapat mempunyai sifat 6 tersebut maka seseorang tersebut mendapat predikat  صديق. Sedangkan orang yang terus-menerus berbuat kebohongan akan dicap disisi Allah sebagai  كذابا, orang yang   كذاباdikenal malaikat sebagai ahli bohong, dan akan dihiasi sifat-sifat pembohong dan akan mendapatkan siksa.
Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Adapun faktor-faktor untuk mendorong tindak kebenaran (as-shidq), menurut Al-Mawardi adalah: akal, agama, dan kepribadian yang baik (muru’ah).
Faedah yang dapat dipetik dari sikap jujur didalam hadits, diantaranya sebagai berikut: kejujuran merupakan akhlak terpuji yang dianjurkan oleh islam, jujur merupakan sebaik-baiknya sarana keselamatan didunia dan diakhirat, seorang mukmin yang bersikap jujur dicintai disisi Allah dan disisi manusia.
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.















DAFTAR PUSTAKA

al-Bukhori, al-Khusaini al-Qonuji. 1992. As-Siroojul Wahhaaj.
al-Ghazali, Imam. 1994. Bahaya Lidah. Jakarta: Bumi Aksara.
al-Imam Abi Qosim Abdul Karim. Ar-Risalatul Qusyairiyyah.
al-Khauli, Muhammad Abdul Aziz. 2006. Menuju Akhlak Nabi. Semarang: Pustaka Nuun.
al-Musawi, Khalil. 1992. Bagaimana Membangun Kepribadian Anda?. Jakarta: PT Lentera Basritama.
al-Qusyayri, Abd al-Karim Ibn Hawazin. 1990. Risalah Sufi al-Qusyayri. Bandung: Pustaka.
Khalid, Amru. 2007. Berakhlak Seindah Rasulullah. Semarang: Pustaka Nuun.
Syukur, Suparman. 2004. Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




[1] Muhammad Abdul Aziz al-Khauli, Menuju Akhlak Nabi (Semarang: Pustaka Nuun, 2006), hlm. 150.
[2] al-Khusaini al-Qonuji al-Bukhori, As-Siroojul Wahhaaj, 1992, hlm. 163-167.
[3] Abd al-Karim Ibn Hawazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, (Bandung: Pustaka, 1990) hlm. 187-188.
[4] Muhammad Abdul Aziz al-Khauli, op.cit., hlm. 151.
[5] Amru Khalid, Berakhlak Seindah Rasulullah (Semarang: Pustaka Nuun, 2007), hlm. 100.
[6] Ibid., hlm. 101.
[7] Muhammad Abdul Aziz al-Khauli, op.cit., hlm. 151-152.
[8] Suparman Syukur, Etika Religius (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.274.
[9] Imam al-Ghazali, Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara,1994), hlm. 7.
[10] Ibid., hlm. 275.