Senin, 22 September 2014

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS THARIQAH (STUDI ANALISIS PONDOK PESANTREN SURYALAYA DESA TANJUNGKERTA KECAMATAN PAGERAGEUNG KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT)


 
Disusun Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag


Disusun Oleh:
UMI MUKAROMAH
(123111157)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.             JUDUL PENELITIAN
Pada kali ini penulis akan melakukan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS THARIQAH (STUDI ANALISIS PONDOK PESANTREN SURYALAYA DESA TANJUNGKERTA KECAMATAN PAGERAGEUNG KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT).
II.          LATAR BELAKANG
Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan yang kompleks dalam berbagai bidang. Masalah-masalah yang ada, akan teratasi bila sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki benar-benar berkualitas dan mampu berkiprah secara maksimal sesuai keahlian di bidang masing-masing. Tidak sedikit, SDM kita yang berkualitas diberdayakan pihak asing sehingga menambah kemakmuran bangsa dan negara lain. Ini terjadi akibat rendahnya kesadaran akan nilai-nilai nasionalisme. Inilah permasalahan karakter yang melanda. Karena itulah, presidan mengajak rakyat Indonesia untuk bersama membangun karakter yang mulai pudar melalui pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[1]
Formal character building menjadi tujuan Pendidikan Nasional, namun, realitas sosial menunjukkan rapuhnya karakter output dari sistem pendidikan kita. Aksi tawuran antar siswa maupun mahasiswa, maraknya pergaulan bebas, pola-pola demonstrasi mahasiswa yang anarkis, praktek korupsi yang subur merupakan potret faktual yang menggambarkan rapuhnya karakter produk dari Sistem Pendidikan Nasional.[2]
Membicarakan karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik.[3]
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَالْا ثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالا ثْمُ مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (اخرجه مسلم في كتاب البروالصلاح)[4]
Dari An-Nawas bin Sim’an Al Anshari, ia berkata, “Aku bartanya kepada Rasulullah saw mengenai soal kebajikan dan dosa. Beliau menjawab, ‘Kebajikan adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan di dalam hatimu dan engkau pun tidak suka orang lain mengetahuinya’.” (HR. Muslim dalam Kitab Kebaikan dan Menyambung Kasih Sayang)
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat.
Karakter-karakter yang baik adalah sumber dari tata krama. Karakter-karakter yang baik dititipkan Allah di dalam diri manusia selama beberapa waktu, dan manusia dituntut untuk mengeluarkan karakter-karakter shaleh yang dititipkan Allah di dalam dirinya tanpa tataran praktis (amal perbuatan). Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Qalam ayat 4, yaitu
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.[5]
Caranya dengan mengontrol perilakunya dengan kehendak (iradah) dan usaha (kasb). Jika ia mampu melakukan hal itu maka ia bisa mengeluarkan apa yang masih dalam tataran potensi ke tataran perbuatan. Kemampuan ini hanya dimiliki oleh orang yang telah terinstal karakter shaleh di dalam dirinya. Sebagaimana halnya peluru yang diisikan ke dalam senjata api yang kemudian dikeluarkan oleh pemegang senjata tersebut dengan menarik pelatuknya maka tata krama juga bersumber dari karakter-karakter shaleh yang merupakan anugerah Ilahi di dalam dirinya, yang kemudian dikeluarkan dengan usaha (kasb).
Kadar kemampuan untuk menggapai kebaikan atau jauh dari keburukan berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain sesuai dengan karakter yang tertanam dalam diri masing-masing. Dalam hal ini, kaum sufi telah menyiapkan diri mereka agar senantiasa siap menjalankan setiap kebaikan. Mereka pun kemudian antusias mendidik nafsu diri mereka dan mendisiplinkannya melalui perilaku mujahadah dan riyadhah.
As-Suhrawardi mengatakan: Berkat taufik Allah terhadap kaum sufi untuk menyempurnakan karakter-karakter bawaaan dalam batin mereka, mereka pun dalam proses mujahadah dan riyadhah mampu mengeluarkan potensi kebaikan yang diciptakan Allah dalam diri mereka ke tataran perbuatan sehingga mereka benar-benar kaum yang terdidik secara tata krama.[6]
Kajian tentang pendidikan karakter berbasis thariqat menarik diteliti karena beberapa alasan yang melatarinya. Pertama, disamping secara teoritik, tasawuf atau spiritual Islam merupakan bagian dari ilmu keislaman yang sarat dengan ajaran-ajaran nilai moral Islam yang menjadi keniscayaan dalam pendidikan karakter. Kedua, pendidikan karakter nampak dalam tujuan tasawuf, sebagai ilmu yang menekankan kesucian diri dan hati dari segala sifat tercela. Ketiga, terpancar dalam struktur konsep maqamat. Keempat, sebagai tahapan atau tingkatan moralitas yang harus ditempuh oleh murid sufi.
III.       RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah urgensi dari “pendidikan karakter berbasis thariqah” ?
B.     Bagaimanakah sistem “pendidikan karakter berbasis thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya?
C.     Bagaimana aplikasi “pendidikan karakter berbasis thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya?
D.    Bagaimanakah output karakter santri di Pondok Pesantren Suryalaya?
IV.       PEMBATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang akan menjadi fokus bahasan. Oleh sebab itu, pembatasan masalah dalam penelitian ini di antaranya:
A.       Penelitian akan difokuskan pada pengelolaan pendidikan karakter santri di Pondok Pesantren Suryalaya berbasis thariqah.
B.       Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup proses pendidikan karakter dan  kegiatan santri.
V.          SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui latar belakang adanya ajaran thariqat di Pondok Pesantren Suryalaya.
2.      Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
3.      Untuk menunjukkan output kerakter santri di Pondok Pesantren Suryalaya.
Sedangkan manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
1.      Dapat menambah khazanah keilmuan tentang “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
2.      Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan tentang “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
3.      Penilitian ini diharapkan mampu menjadi bahan evaluasi terutama bagi pemerintah dalam menangani degradasi moral.
VI.       KAJIAN RESEARCH SEBELUMNYA
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengadakan kajian terhadap penelitian yang sudah ada. Selain peneliti menggali informasi dari buku-buku yang ada kaitannya dengan Pendidikan Karakter, penulis juga menggali informasi melalui skripsi.
Dari penelusuran yang telah dilakukan, banyak kajian yang mengangkat tema tentang Pendidikan Karakter, di antaranya:
1.       Penelitian yang dilakukan oleh Wildan Fatkhul Mu’in, NIM: 063111019, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang dengan judul Pendidikan Karakter melalui Seni Teater [Studi pada Kelompok Studi Teater dan Sarjana (STESA) Madrasah Aliyah Negeri Kendal]. Beliau mengemukakan bahwa pendidikan karakter melalui seni teater pada kelompok STESA MAN Kendal dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: 1) Memberikan teori tentang teater dan manfaatnya bagi kehidupan yang menitikberatkan pada pendidikan karakter siswa; 2) Latihan dasar, latihan ini dilakukan melalui beberapa tahap, di antaranya: latihan olah vokal, olah gerak, olah rasa, 3) Latihan naskah, dalam latihan ini pendidikan karakter siswa diarahkan sesuai nilai atau ajaran dalam naskah itu melalui beberapa proses yang panjang, yaitu dimulai dari reading, latihan dasar, penjelasan naskah, sampai ke pementasan.
2.       Penelitian yang dilakukan oleh Alim Sumarno, mahasiswa Universitas Negeri Surabaya dengan judul Implementasi Pendidikan Karakter melalui Kultur Sekolah pada Siswa Kelas XI di SMA N 1 Gendangan Sidoarjo. Berdasarkan penelitiannya, beliau mengemukakan bahwa implementasi pendidikan karakter dapat diintegrasikan melalui mata pelajaran, pengembangan diri, dan kultur sekolah. Implementasi pendidikan karakter juga sesuai dengan visi dan misi yang ada di sekolah. Jadi, nilai karakter yang ditanamkan di SMA N 1 Gendangan yaitu nilai karakter jujur, religius, tanggung jawab, dan disiplin. Serta dapat pula disimpulkan bahwa siswa memberi respons baik terhadap kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh sekolah atau kebiasaan-kebiasaan di lingkungan sekolah.
VII.    KERANGKA TEORI
A.    Pendidikan Karakter
1.      Pengertian Pendidikan Karakter
Untuk mendapatkan pengertian tentang pendidikan karakter secara keseluruhan, maka di dalam subbab ini akan diuraikan masing-masing unsur dari pendidikan dan karakter secara terpisah.
a.       Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana yang dilakukan oleh guru untuk mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal. Potensi ini mencakup potensi jasmani dan rohani sehingga melalui pendidikan seorang peserta didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan dapat mengoptimalkan perkembangan rohaninya agar dengan totalitas pertumbuhan fisik dan perkembangan psikisnya secara serasi dan harmoni, dia dapat menjalankan tugas  hidupnya dalam seluruh aspeknya, baik sebagai anggota masyarakat, sebagai individu, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.[7]
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi diantar seorang pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.[8]
Sementara itu, di dalam buku yang berjudul “Dasar-Dasar Kependidikan” karangan Drs. H. Fuad Ihsan dijelaskan definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:
1)      Driyarkara mengatakan bahwa: pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia taraf insani itulah yang disebut mendidik.
2)      Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana ia hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
3)      Crow and Crow menyebut pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
4)      Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 menyebutkan: Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.
5)      Di dalam GBHN tahun 1973 disebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.[9]
6)      Di dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[10]
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa pendidikan diartikan sebagai berikut:
1)      pendidikan mengandung pembinaan kepribadian, pengembangan kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan; peningkatan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan ke arah mana peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin.
2)      Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik. Di dalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan perasaan yang berbeda. Tetapi keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling mempengaruhi guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan tertuju kepada tujuan yang diinginkan).
3)      Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan pembentukan diri secara utuh. Maksudnya, pengembangan segenap potensi dalam rangka penentuan semua komitmen manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
4)      Aktivitas pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
5)      Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkannya berkembang.
b.      Pengertian Karakter
Mahatma Gandhi mengatakan ada tujuh dosa besar di dunia, sebagai berikut:
1.      Kaya tanpa kerja
2.      Kesenangan tanpa kata/ suara hati
3.      Pengetahuan tanpa karakter
4.      Perdagangan tanpa moral
5.      Ilmu tanpa kemanusiaan
6.      Ibadah tanpa pengorbanan
7.      Politik tanpa prinsip.
Menurut Dani Setiawan, akar kata “karakter” berasal dari bahasa Latin, yaitu kharakter, kharassein, dan kharax, yang bermakna tools for marking, to engrave, dan pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Prancis  sebagai caractere. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata caractere ini berubah menjadi character.
Menurut American Dictionary of The English Language, karakter didefinisikan sebagai kualitas-kualitas yang dibangun dalam kehidupan seseorang, yang menentukan responnya tanpa pengaruh kondisi-kondisi yang ada.[11]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian.
Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary sebagaimana termaktub dalam buku “Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa” karya Furqon Hidayatullah, dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu.[12]
Secara konseptual, menurut Saptono, karakter dipahami dalam dua kubu pengertian. Pengertian pertama, bersifat deterministik. Di sini karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi rohaniah pada diri kita yang sudah teranugerahi. Pengertian kedua, bersifat non deterministik atau dinamis. Di sini karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan atau ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given (teranugerahi).[13]
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.
2.      Landasan Dasar Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berorientasi pada pembentukan manusia yang berakhlak mulia dan berkepribadian luhur. Dalam hal ini, landasan dasar daripada pendidikan karakter adalah sesuai dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu
Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[14]
Pendidikan karakter dilandaskan pada UU Sistem Pendidikan Nasional karena dalam uraian undang-undang tersebut salah satu tujuan dari pendidikan adalah dapat mengembangkan potensi manusia. Yang mana arah dari pengembangan potensi tersebut adalah terwujudnya akhlak mulia.  Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan dari pada pendidikan karakter.
Berpijak pada QS. Ali Imran ayat 159,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (۱٥۹)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.[15]
Ayat ini menjelaskan bahwa Allahlah yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad.[16] Nabi Muhammad menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia terutama dalam perangainya. Karakter nabi Muhammad adalah berdasarkan Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Al-Hadits menjadi landasan dalam pendidikan karakter.
3.      Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan mengajar dan mendidik pada hakikatnya adalah:
a.       Meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan;
b.      Menumbuhkan atau menanamkan kecerdasan emosi dan spiritual yang mewarnai aktivitas hidupnya;
c.       Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis melalui pelaksanaan tugas-tugas pembelajaran;
d.      Menumbuhkan kebiasaan dan kemampuan untuk berpartisipasi aktif secara teratur dalam aktivitas hidupnya dan memahami manfaat dan keterlibatannya.
e.       Menumbuhkan kebiasaan untuk memanfaatkan dan mengisi waktu luang dengan aktivitas belajar; dan
f.       Menumbuhkan pola hidup sehat dan pemeliharaan kebugaran jasmani.[17]
Yahya Khan, mengklasifikasikan beberapa tujuan dari pendidikan karakter, yaitu:
a.       Mengembangkan potensi anak didik menuju self actualization;
b.      Mengembangkan sikap dan kesadaran akan harga diri;
c.       Mengembangkan pemecahan masalah;
d.      Membantu meningkatkan berpikir kritis dan kreatif;
e.       Menggunakan proses mental untuk mengembangkan prinsip ilmiah.[18]
B.     Thariqah
1.      Pengertian Thariqah
Thariqah berasal dari bahasa arab al-tharq, secara etimologi berarti jalan, tempat lalu atau metode. Thariqah juga diartikan sebagai jalan lurus yang digunakan para calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan Tuhan tanpa dibatasi dengan dinding atau hijab.
Jika ditinjau dari segi terminologi, menurut Abu Bakar Aceh, thariqah adalah petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh rasul, dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai.[19]
Thariqah juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Boleh dikatakan bahwa thariqah itu mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf. Seorang pengikut thariqah ketika melakukan amalan-amalan thariqah berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan diri ke sisi Allah. Sebagai istilah khusus, perkataan thariqah lebih sering dikaitkan dengan suatu “organisasi thariqah”, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan zikir tertentu, dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi thariqah tersebut.[20]
2.      Sejarah Thariqah
Ordo thariqah pada awalnya merupakan berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tatabrata atau baiat apapun. Selanjutnya odo thariqah menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan adanya berbagai aturan seperti baiat, ijazah, silsilah, dan sebagainya.
Banyak pendapat yang menjelaskan tentang latar belakang munculnya thariqah. Di antaranya adalah adanya doktrin bahwa belajar tasawuf harus melalui guru, sebab barang siapa yang tidak berguru, maka gurunya adalah syetan. Dari sini muncul hubungan yang erat antara murid dan guru. Setelah murid dapat mencapai suatu tingkatan tertentu, diizinkan untuk mengajarkan thariqah gurunya kepada murid baru.
Latar belakan lain adalah karena tasawuf selama ini hanya dinikmati oleh orang-orang khas (tertentu, istimewa) untuk membantu orang-orang awam agar bisa mencicipi tujuan tasawuf (ma’rifat) maka diselenggarakan pendidikan shufi untuk membimbing mereka yang selanjutnya disebut dengan thariqah.[21]
3.      Jenis-jenis Thariqah
a.       Thariqah Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama thariqah yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir Jilani. Mengenai perbuatan manusia, thariqah Qadiriyah berpandangan bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh Allah (determinisme). Tetapi, tidak mau terjerumus pada determinisme yang ekstrim. Karena itu, thariqah ini mengatakan bahwa manusia memiliki perbuatan sendiri, yang dalam teologi klasik dikenal dengan kasb (perbuatan). Dia menegaskan, jangan lupa posisi usaha-usaha manusia agar tidak terperosok pada kepercayaan Jabariyah. Sebab, jika dikatakan bahwa perbuatan itu tidak lain adalah perbuatan Tuhan, maka dia akan terjerumus pada kekafiran, sama halnya pengikut Qadariyyah mengatakan sebaliknya. Lebih baik dikatakan bahwa perbuatan yang terkait dengan Tuhan adalah tentang penciptaan, sedangkan yang terkait dengan manusia adalah tentang perbuatan (kasb).[22]
b.      Thariqah Syadziliyah
Thariqah Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzili. Thariqah Syadziliyah adalah thariqah yang paling layak disejajarkan dengan thariqah Qadiriyah. Adapun pemikiran-pemikiran thariqah al-Syadziliyah adalah:
1)      Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka
2)      Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam
3)      Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain Tuhan
4)      Tidak ada larangan untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.[23]
c.       Thariqah Naqsyabandiyah
Pendiri thariqah Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari. Ciri thariqah Naqsyabandiyah adalah Pertama, diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.[24]
d.      Thariqah Khalwatiyah
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati. Ciri yang menonjol dari teologi al-Makassari adalah mengenai keesaan Tuhan yaitu usahanya untuk mendamaikan sifat-sifat Tuhan yang tampaknya saling bertentangan. Misalnya, al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bathin.[25]
e.       Thariqah Syattariyyah
Nama Syattariyyah dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari. Thariqah Syattariyah mengajarkan perpaduan antara  aspek mistis dengan aspek syari’at, atau yang kemudian dikenal sebagai neosufisme.  Sifat dan corak ajaran ini adalah kecenderungannya untuk melakukan rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan tradisi syari’at. Thariqah Syattariyah pada masa ini juga memperlihatkan adanya pertemuan beberapa tradisi keilmuan, khususnya tradisi hadits, yakni untuk menegaskan bahwa tasawuf atau thariqah tidak harus dipandang sebagai bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah.[26]
f.       Thariqah Sammaniyah
Thariqah Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman. Thariqah Sammaniyah adalah tarekat pertama yang mendapat pengikut massal di Nusantara. Hal yang menarik dari thariqah Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan syathahat yang terucap olehnya tidak bertentangan dengan syari’at.[27]
g.      Thariqah Tijaniyah
Thariqah Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani. Thariqah Tijaniyah termasuk tarekat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem barzakhi, yaitu semua ajaran thariqah harus berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta berasal dari metode suluk yang dipraktekkan oleh Rasulullah.[28]
h.      Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)
Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ialah sebuah thariqah gabungan dari thariqah Qadiriyah dan thariqah Naqsyabandiyah. Thariqah ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang merupakan seorang syaikh dari kedua thariqah dan mengajarkannya dalam satu versi.[29]
VIII. METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[30] Penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan data dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.[31]
Penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqahdi Pondok Pesantren Suryalaya Desa Tanjungkerta Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat.
B.     Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data tersebut diperoleh.[32] Adapun dalam penelitian ini, penulis mengelompokkan sumber data menjadi dua bentuk data:
1.      Sumber Data Primer
Yaitu sumber data yang diperoleh dari kyai, ustadz, santri, dan masyarakat yang faham  mengenai thariqah di Pondok Pesantren Suryalaya.
2.      Sumber Data Sekunder
Yaitu sumber data yang mendukung data primer. Data sekunder ini diperoleh dari sejarah serta perkembangnya, letak geografis, serta keadaan santri di Pondok Pesantren Suryalaya.
C.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk memperoleh data tentang “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.      Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala yang ada untuk kemudian dilakukan pencatatan.[33] Dalam penelitian ini penulis menggunakan alat bantu berupa buku catatan, kamera, dan rekorder. Metode ini digunakan untuk melihat secara langsung bagaimana sistem Dalam hal ini penulis bertindak sebagai pengamat nonpartisipan.
2.      Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.[34]
Dalam wawancara ini penulis akan memperoleh data dari hasil wawancara para koresponden tentang apa  saja yang terkait dengan “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
3.      Metode Library Research/ Studi Kepustakaan/ Studi Dokumentasi
Metode atau teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dan informasi melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter ini merupakan metode yang berasal dari sumber nonmanusia.[35] Metode ini digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
IX.       INSTRUMEN PENELITIAN
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan oleh penulis adalah pedoman observasi dan wawancara. Karena dalam penelitian ini peneliti menggunakan peneltian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti pun menggumpulkan data dokumentasi yang ada di lapangan.
X.          SUMBER BACAAN
Afifudin dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa Barat: CV Pustaka Setia.
An-Nawawi, Al-Imam. 1981. Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi Juz 8. Beirut: Dar Al-Fikri.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Agama. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surakarta: Pustaka Al-Hanan.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah.
Hasan, Fuad. 2010. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta:  Yuma Pustaka.
Khan, D. Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Mulyati, Sri. 2011. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Nasirudin. 2009. Pendidikan Tasawuf. Semarang: RaSAIL Media Group.
Rusli, Ris’an. 2013.  Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta: Rajawali Pers.
Saptono. 2011. Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi, dan Langkah Praktis. Yogyakarta: Erlangga.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Subagyo, P Joko. 2011. Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta.
Suwarno, Wiji. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan Konseling. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyani, Novan Ardy. 2002. Pendidikan Karakter Berbasis Iman dan Taqwa. Yogyakarta: Teras.
Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


[1]UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[2]Dr, Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 2.
[3]Dr, Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 1.
[4]Al-Imam An-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi Juz 8, (Beirut: Dar Al-Fikri, 1981), hlm. 90.
[5]Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surakarta: Pustaka Al-Hanan, 2009), hlm. 564.
[6]Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 318.
[7]Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I, Pendidikan Karakter Berbasis Iman dan Taqwa, (Yogyakarta: Teras, 2002), hlm. 1.
[8]Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet.ketiga, hlm. 19.
[9]Drs. H. Fuad Hasan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), hlm. 5.
[10]Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet.ketiga, hlm. 21-22.

[11]Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 34.
[12]Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta:  Yuma Pustaka, 2010), hlm. 12.
[13]Saptono, M.Pd., Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi, dan Langkah Praktis, (Yogyakarta: Erlangga, 2011), hlm. 18.
[14]Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet.ketiga, hlm. 21-22.

[15]Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surakarta: Pustaka Al-Hanan, 2009), hlm. 71.
[16]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 256.
[17]Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta:  Yuma Pustaka, 2010), hlm. 1.
[18]Dr. D. Yahya Khan, M.Pd., Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 17.
[19]Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 184.
[20]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 9.
[21]Nasirudin, M.Ag., Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), hlm. 116.
[22]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 29.
[23]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 74.
[24]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 91.
[25]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 125.
[26]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 161.
[27]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 181.
[28]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 220.
[29]Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 153.
[30]Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan Konseling, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 2.
[31]Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.15
[32]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 129.
[33]P Joko Subagyo, S.H., Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), hlm. 63.
[34]Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 316.
[35]Prof. Dr. H. Afifudin, M.M. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jawa Barat: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 141.