Disusun
Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata
Kuliah: Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen
Pengampu: Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag
Disusun Oleh:
UMI MUKAROMAH
(123111157)
PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
JUDUL PENELITIAN
Pada kali ini penulis akan melakukan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS THARIQAH (STUDI
ANALISIS PONDOK PESANTREN SURYALAYA DESA TANJUNGKERTA KECAMATAN PAGERAGEUNG
KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT).
II.
LATAR BELAKANG
Indonesia dihadapkan pada berbagai
permasalahan yang kompleks dalam berbagai bidang. Masalah-masalah yang ada,
akan teratasi bila sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki benar-benar
berkualitas dan mampu berkiprah secara maksimal sesuai keahlian di bidang
masing-masing. Tidak sedikit, SDM kita yang berkualitas diberdayakan pihak
asing sehingga menambah kemakmuran bangsa dan negara lain. Ini terjadi akibat
rendahnya kesadaran akan nilai-nilai nasionalisme. Inilah permasalahan karakter
yang melanda. Karena itulah, presidan mengajak rakyat Indonesia untuk bersama
membangun karakter yang mulai pudar melalui pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[1]
Formal character building menjadi
tujuan Pendidikan Nasional, namun, realitas sosial menunjukkan rapuhnya
karakter output dari sistem pendidikan kita. Aksi tawuran antar siswa maupun
mahasiswa, maraknya pergaulan bebas, pola-pola demonstrasi mahasiswa yang
anarkis, praktek korupsi yang subur merupakan potret faktual yang menggambarkan
rapuhnya karakter produk dari Sistem Pendidikan Nasional.[2]
Membicarakan karakter merupakan hal yang
sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan
manusia dengan binatang. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara
individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi
pekerti yang baik.[3]
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ
الأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْبِرِّ وَالْا ثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالا ثْمُ
مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (اخرجه مسلم
في كتاب البروالصلاح)[4]
Dari An-Nawas bin Sim’an Al Anshari, ia berkata, “Aku bartanya kepada
Rasulullah saw mengenai soal kebajikan dan dosa. Beliau menjawab, ‘Kebajikan
adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan
keraguan di dalam hatimu dan engkau pun tidak suka orang lain mengetahuinya’.” (HR. Muslim dalam Kitab Kebaikan dan Menyambung Kasih Sayang)
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks
sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di
negara kita. Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan
dalam masyarakat.
Karakter-karakter yang baik adalah sumber dari
tata krama. Karakter-karakter yang baik dititipkan Allah di dalam diri manusia
selama beberapa waktu, dan manusia dituntut untuk mengeluarkan
karakter-karakter shaleh yang dititipkan Allah di dalam dirinya tanpa tataran
praktis (amal perbuatan). Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Qalam ayat 4, yaitu
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
Caranya dengan mengontrol perilakunya dengan
kehendak (iradah) dan usaha (kasb). Jika ia mampu melakukan hal
itu maka ia bisa mengeluarkan apa yang masih dalam tataran potensi ke tataran
perbuatan. Kemampuan ini hanya dimiliki oleh orang yang telah terinstal
karakter shaleh di dalam dirinya. Sebagaimana halnya peluru yang diisikan ke
dalam senjata api yang kemudian dikeluarkan oleh pemegang senjata tersebut
dengan menarik pelatuknya maka tata krama juga bersumber dari karakter-karakter
shaleh yang merupakan anugerah Ilahi di dalam dirinya, yang kemudian
dikeluarkan dengan usaha (kasb).
Kadar kemampuan untuk menggapai kebaikan atau
jauh dari keburukan berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain
sesuai dengan karakter yang tertanam dalam diri masing-masing. Dalam hal ini,
kaum sufi telah menyiapkan diri mereka agar senantiasa siap menjalankan setiap
kebaikan. Mereka pun kemudian antusias mendidik nafsu diri mereka dan
mendisiplinkannya melalui perilaku mujahadah dan riyadhah.
As-Suhrawardi mengatakan: Berkat taufik Allah
terhadap kaum sufi untuk menyempurnakan karakter-karakter bawaaan dalam batin
mereka, mereka pun dalam proses mujahadah dan riyadhah mampu
mengeluarkan potensi kebaikan yang diciptakan Allah dalam diri mereka ke
tataran perbuatan sehingga mereka benar-benar kaum yang terdidik secara tata
krama.[6]
Kajian tentang pendidikan karakter berbasis
thariqat menarik diteliti karena beberapa alasan yang melatarinya. Pertama,
disamping secara teoritik, tasawuf atau spiritual Islam merupakan bagian dari
ilmu keislaman yang sarat dengan ajaran-ajaran nilai moral Islam yang menjadi
keniscayaan dalam pendidikan karakter. Kedua, pendidikan karakter nampak
dalam tujuan tasawuf, sebagai ilmu yang menekankan kesucian diri dan hati dari
segala sifat tercela. Ketiga, terpancar dalam struktur konsep maqamat.
Keempat, sebagai tahapan atau tingkatan moralitas yang harus ditempuh
oleh murid sufi.
III.
RUMUSAN MASALAH
A. Apakah urgensi dari “pendidikan karakter berbasis thariqah” ?
B. Bagaimanakah sistem “pendidikan karakter berbasis thariqah” di Pondok
Pesantren Suryalaya?
C. Bagaimana aplikasi “pendidikan karakter berbasis thariqah” di Pondok
Pesantren Suryalaya?
D. Bagaimanakah output karakter santri di Pondok Pesantren Suryalaya?
IV.
PEMBATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang akan menjadi fokus
bahasan. Oleh sebab itu, pembatasan masalah dalam penelitian ini di antaranya:
A.
Penelitian
akan difokuskan pada pengelolaan pendidikan karakter santri di Pondok Pesantren Suryalaya
berbasis thariqah.
B.
Ruang
lingkup dalam penelitian ini mencakup proses pendidikan karakter dan kegiatan santri.
V.
SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui latar belakang adanya ajaran thariqat di Pondok Pesantren
Suryalaya.
2.
Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem “Pendidikan Karakter Berbasis
Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
3.
Untuk menunjukkan output kerakter santri di Pondok Pesantren Suryalaya.
Sedangkan manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
1.
Dapat menambah khazanah keilmuan tentang “Pendidikan Karakter Berbasis
Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan tentang “Pendidikan
Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
3.
Penilitian ini diharapkan mampu menjadi
bahan evaluasi terutama bagi pemerintah dalam menangani degradasi moral.
VI.
KAJIAN RESEARCH SEBELUMNYA
Dalam melakukan penelitian ini, penulis
mengadakan kajian terhadap penelitian yang sudah ada. Selain peneliti menggali
informasi dari buku-buku yang ada kaitannya dengan Pendidikan Karakter, penulis
juga menggali informasi melalui skripsi.
Dari penelusuran yang telah dilakukan, banyak kajian
yang mengangkat tema tentang Pendidikan Karakter, di antaranya:
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Wildan Fatkhul
Mu’in, NIM: 063111019, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang dengan judul
Pendidikan Karakter melalui Seni Teater [Studi pada Kelompok Studi Teater dan
Sarjana (STESA) Madrasah Aliyah Negeri Kendal]. Beliau mengemukakan bahwa pendidikan
karakter melalui seni teater pada kelompok STESA MAN Kendal dilakukan melalui
tiga tahap, yaitu: 1) Memberikan teori tentang teater dan manfaatnya bagi
kehidupan yang menitikberatkan pada pendidikan karakter siswa; 2) Latihan
dasar, latihan ini dilakukan melalui beberapa tahap, di antaranya: latihan olah
vokal, olah gerak, olah rasa, 3) Latihan naskah, dalam latihan ini pendidikan
karakter siswa diarahkan sesuai nilai atau ajaran dalam naskah itu melalui
beberapa proses yang panjang, yaitu dimulai dari reading, latihan dasar,
penjelasan naskah, sampai ke pementasan.
2.
Penelitian
yang dilakukan oleh Alim Sumarno, mahasiswa Universitas Negeri Surabaya dengan
judul Implementasi Pendidikan Karakter melalui Kultur Sekolah pada Siswa
Kelas XI di SMA N 1 Gendangan Sidoarjo. Berdasarkan penelitiannya, beliau
mengemukakan bahwa implementasi pendidikan karakter dapat diintegrasikan
melalui mata pelajaran, pengembangan diri, dan kultur sekolah. Implementasi pendidikan karakter
juga sesuai dengan visi dan misi yang ada di sekolah. Jadi, nilai karakter yang
ditanamkan di SMA N 1 Gendangan yaitu nilai karakter jujur, religius, tanggung
jawab, dan disiplin. Serta dapat pula disimpulkan bahwa siswa memberi respons
baik terhadap kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh sekolah atau
kebiasaan-kebiasaan di lingkungan sekolah.
VII.
KERANGKA TEORI
A. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Untuk mendapatkan pengertian tentang
pendidikan karakter secara keseluruhan, maka di dalam subbab ini akan diuraikan
masing-masing unsur dari pendidikan dan karakter secara terpisah.
a. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana
yang dilakukan oleh guru untuk mengembangkan segenap potensi peserta didiknya
secara optimal. Potensi ini mencakup potensi jasmani dan rohani sehingga
melalui pendidikan seorang peserta didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan
fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan
dapat mengoptimalkan perkembangan rohaninya agar dengan totalitas pertumbuhan
fisik dan perkembangan psikisnya secara serasi dan harmoni, dia dapat
menjalankan tugas hidupnya dalam seluruh
aspeknya, baik sebagai anggota masyarakat, sebagai individu, maupun sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.[7]
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy,
yang mengandung makna seorang anak yang pergi diantar seorang pelayan.
Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos.
Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti
mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan
diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih
intelektual.[8]
Sementara itu, di dalam buku yang berjudul
“Dasar-Dasar Kependidikan” karangan Drs. H. Fuad Ihsan dijelaskan definisi
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:
1) Driyarkara mengatakan bahwa: pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia
muda. Pengangkatan manusia taraf insani itulah yang disebut mendidik.
2) Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses di mana
seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya
di dalam masyarakat di mana ia hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan
pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga dia dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu
yang optimum.
3) Crow and Crow menyebut pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang
cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan
budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
4) Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930
menyebutkan: Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.
5) Di dalam GBHN tahun 1973 disebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah
usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar
sekolah dan berlangsung seumur hidup.[9]
6) Di dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.[10]
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa
pendidikan diartikan sebagai berikut:
1) pendidikan mengandung pembinaan kepribadian, pengembangan kemampuan, atau
potensi yang perlu dikembangkan; peningkatan pengetahuan dari tidak tahu
menjadi tahu, serta tujuan ke arah mana peserta didik dapat mengaktualisasikan
dirinya seoptimal mungkin.
2) Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik. Di
dalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan perasaan yang berbeda. Tetapi
keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling mempengaruhi guna terlaksananya
proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan
keterampilan-keterampilan tertuju kepada tujuan yang diinginkan).
3) Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan pembentukan
diri secara utuh. Maksudnya, pengembangan segenap potensi dalam rangka
penentuan semua komitmen manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
4) Aktivitas pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
5) Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami yang
memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi
seseorang yang menyebabkannya berkembang.
b. Pengertian Karakter
Mahatma Gandhi mengatakan ada tujuh dosa besar
di dunia, sebagai berikut:
1. Kaya tanpa kerja
2. Kesenangan tanpa kata/ suara hati
3. Pengetahuan tanpa karakter
4. Perdagangan tanpa moral
5. Ilmu tanpa kemanusiaan
6. Ibadah tanpa pengorbanan
7. Politik tanpa prinsip.
Menurut Dani Setiawan, akar kata “karakter”
berasal dari bahasa Latin, yaitu kharakter, kharassein, dan kharax,
yang bermakna tools for marking, to engrave, dan pointed stake.
Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Prancis sebagai caractere. Ketika masuk ke
dalam bahasa Inggris, kata caractere ini berubah menjadi character.
Menurut American Dictionary of The English
Language, karakter didefinisikan sebagai kualitas-kualitas yang dibangun
dalam kehidupan seseorang, yang menentukan responnya tanpa pengaruh
kondisi-kondisi yang ada.[11]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak,
mempunyai kepribadian.
Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary sebagaimana
termaktub dalam buku “Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa” karya
Furqon Hidayatullah, dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda
yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada
individu.[12]
Secara konseptual, menurut Saptono, karakter
dipahami dalam dua kubu pengertian. Pengertian pertama, bersifat
deterministik. Di sini karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi rohaniah
pada diri kita yang sudah teranugerahi. Pengertian kedua, bersifat non
deterministik atau dinamis. Di sini karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan
atau ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given
(teranugerahi).[13]
Dari beberapa pengertian tersebut dapat
dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral,
akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang
menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain.
Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan
keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral
dalam hidupnya.
2. Landasan Dasar Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berorientasi pada
pembentukan manusia yang berakhlak mulia dan berkepribadian luhur. Dalam hal
ini, landasan dasar daripada pendidikan karakter adalah sesuai dengan UU No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu
Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[14]
Pendidikan karakter dilandaskan pada UU Sistem
Pendidikan Nasional karena dalam uraian undang-undang tersebut salah satu
tujuan dari pendidikan adalah dapat mengembangkan potensi manusia. Yang mana
arah dari pengembangan potensi tersebut adalah terwujudnya akhlak mulia. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan dari
pada pendidikan karakter.
Berpijak pada QS. Ali Imran ayat 159,
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ (۱٥۹)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.[15]
Ayat ini menjelaskan bahwa Allahlah yang
mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad.[16]
Nabi Muhammad menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia terutama dalam
perangainya. Karakter nabi Muhammad adalah berdasarkan Al-Qur’an. Dengan
demikian, Al-Qur’an dan Al-Hadits menjadi landasan dalam pendidikan karakter.
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan mengajar dan mendidik pada hakikatnya
adalah:
a. Meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam
pendidikan;
b. Menumbuhkan atau menanamkan kecerdasan emosi dan spiritual yang mewarnai
aktivitas hidupnya;
c. Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis melalui pelaksanaan tugas-tugas
pembelajaran;
d. Menumbuhkan kebiasaan dan kemampuan untuk berpartisipasi aktif secara
teratur dalam aktivitas hidupnya dan memahami manfaat dan keterlibatannya.
e. Menumbuhkan kebiasaan untuk memanfaatkan dan mengisi waktu luang dengan
aktivitas belajar; dan
f. Menumbuhkan pola hidup sehat dan pemeliharaan kebugaran jasmani.[17]
Yahya Khan, mengklasifikasikan beberapa tujuan dari pendidikan karakter,
yaitu:
a. Mengembangkan potensi anak didik menuju self actualization;
b. Mengembangkan sikap dan kesadaran akan harga diri;
c. Mengembangkan pemecahan masalah;
d. Membantu meningkatkan berpikir kritis dan kreatif;
e. Menggunakan proses mental untuk mengembangkan prinsip ilmiah.[18]
B. Thariqah
1. Pengertian Thariqah
Thariqah berasal dari bahasa arab al-tharq, secara etimologi berarti
jalan, tempat lalu atau metode. Thariqah juga diartikan
sebagai jalan lurus yang digunakan para
calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan Tuhan
tanpa dibatasi dengan dinding atau hijab.
Jika ditinjau dari segi terminologi, menurut Abu Bakar Aceh,
thariqah adalah petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh rasul, dikerjakan oleh sahabat dan
tabiin, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan
rantai-berantai.[19]
Thariqah juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas.
Boleh dikatakan bahwa thariqah itu
mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf. Seorang
pengikut thariqah ketika melakukan amalan-amalan thariqah
berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia
dan mendekatkan diri ke sisi Allah. Sebagai istilah khusus, perkataan thariqah lebih sering dikaitkan dengan suatu “organisasi thariqah”, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan zikir
tertentu, dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh
pimpinan organisasi thariqah tersebut.[20]
2. Sejarah Thariqah
Ordo thariqah pada awalnya merupakan
berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari
pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara
tatabrata atau baiat apapun. Selanjutnya odo thariqah menjadi suatu ikatan yang
sangat ketat dengan adanya berbagai aturan seperti baiat, ijazah, silsilah, dan
sebagainya.
Banyak pendapat yang menjelaskan tentang latar
belakang munculnya thariqah. Di antaranya adalah adanya doktrin bahwa belajar
tasawuf harus melalui guru, sebab barang siapa yang tidak berguru, maka gurunya
adalah syetan. Dari sini muncul hubungan yang erat antara murid dan guru.
Setelah murid dapat mencapai suatu tingkatan tertentu, diizinkan untuk mengajarkan
thariqah gurunya kepada murid baru.
Latar belakan lain adalah karena tasawuf
selama ini hanya dinikmati oleh orang-orang khas (tertentu, istimewa)
untuk membantu orang-orang awam agar bisa mencicipi tujuan tasawuf (ma’rifat)
maka diselenggarakan pendidikan shufi untuk membimbing mereka yang selanjutnya
disebut dengan thariqah.[21]
3. Jenis-jenis Thariqah
a. Thariqah Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama thariqah yang diambil
dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir Jilani. Mengenai perbuatan manusia, thariqah
Qadiriyah berpandangan bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh Allah
(determinisme). Tetapi, tidak mau terjerumus pada determinisme yang ekstrim.
Karena itu, thariqah ini mengatakan bahwa manusia memiliki perbuatan sendiri,
yang dalam teologi klasik dikenal dengan kasb (perbuatan). Dia menegaskan, jangan lupa posisi usaha-usaha manusia agar tidak
terperosok pada kepercayaan Jabariyah. Sebab, jika dikatakan bahwa
perbuatan itu tidak lain adalah perbuatan Tuhan, maka dia akan terjerumus pada
kekafiran, sama halnya pengikut Qadariyyah mengatakan sebaliknya. Lebih
baik dikatakan bahwa perbuatan yang terkait dengan Tuhan adalah tentang penciptaan,
sedangkan yang terkait dengan manusia adalah tentang perbuatan (kasb).[22]
b. Thariqah Syadziliyah
Thariqah Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya,
yakni Abu al-Hasan al-Syadzili. Thariqah Syadziliyah adalah thariqah yang paling layak
disejajarkan dengan thariqah Qadiriyah. Adapun
pemikiran-pemikiran thariqah al-Syadziliyah adalah:
1)
Tidak
menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka
2)
Tidak
mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam
3)
Zuhud
tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati selain Tuhan
4)
Tidak
ada larangan untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak
bergantung pada harta yang dimilikinya.[23]
c. Thariqah Naqsyabandiyah
Pendiri thariqah Naqsyabandiyah adalah seorang
pemuka tasawuf terkenal yakni Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi
al-Bukhari. Ciri thariqah Naqsyabandiyah adalah Pertama, diikutinya
syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan
terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berzikir dalam hati. Kedua, upaya
yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta
mendekatkan negara pada agama.[24]
d. Thariqah Khalwatiyah
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang
Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati. Ciri yang menonjol dari teologi al-Makassari
adalah mengenai keesaan Tuhan yaitu usahanya untuk mendamaikan sifat-sifat
Tuhan yang tampaknya saling bertentangan. Misalnya, al-Awwal dan al-Akhir,
al-Zhahir dan al-Bathin.[25]
e. Thariqah Syattariyyah
Nama Syattariyyah dinisbatkan kepada Syaikh
‘Abd Allah al-Syaththari. Thariqah Syattariyah mengajarkan perpaduan
antara aspek mistis dengan aspek
syari’at, atau yang kemudian dikenal sebagai neosufisme. Sifat dan corak ajaran ini adalah
kecenderungannya untuk melakukan rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan
tradisi syari’at. Thariqah Syattariyah pada masa ini juga memperlihatkan adanya
pertemuan beberapa tradisi keilmuan, khususnya tradisi hadits, yakni untuk
menegaskan bahwa tasawuf atau thariqah tidak harus dipandang sebagai
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah.[26]
f. Thariqah Sammaniyah
Thariqah Sammaniyah didirikan oleh Muhammad
bin ‘Abd al-Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman. Thariqah Sammaniyah adalah
tarekat pertama yang mendapat pengikut massal di Nusantara. Hal yang menarik
dari thariqah Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat
al-wujud yang dianut dan syathahat yang terucap olehnya tidak
bertentangan dengan syari’at.[27]
g. Thariqah Tijaniyah
Thariqah Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad
bin Muhammad al-Tijani. Thariqah Tijaniyah termasuk tarekat yang dasar
pembentukannya menggunakan sistem barzakhi, yaitu semua ajaran thariqah
harus berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta berasal dari metode
suluk yang dipraktekkan oleh Rasulullah.[28]
h. Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)
Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ialah
sebuah thariqah gabungan dari thariqah Qadiriyah dan thariqah Naqsyabandiyah. Thariqah
ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang merupakan seorang syaikh
dari kedua thariqah dan mengajarkannya dalam satu versi.[29]
VIII.
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[30] Penelitian kualitatif
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, sampel sumber data dilakukan secara purposive dan
snowbaal, teknik pengumpulan data dengan triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi.[31]
Penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan “Pendidikan
Karakter Berbasis Thariqah” di
Pondok Pesantren Suryalaya Desa Tanjungkerta Kecamatan Pagerageung Kabupaten
Tasikmalaya Jawa Barat.
B.
Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian
adalah subjek dari mana data tersebut diperoleh.[32] Adapun dalam penelitian
ini, penulis mengelompokkan sumber data menjadi dua bentuk data:
1.
Sumber Data Primer
Yaitu sumber data yang diperoleh dari kyai,
ustadz, santri, dan masyarakat yang faham
mengenai thariqah di Pondok Pesantren Suryalaya.
2.
Sumber Data Sekunder
Yaitu sumber data yang mendukung data primer. Data sekunder ini diperoleh dari sejarah serta perkembangnya, letak geografis, serta keadaan santri di Pondok Pesantren Suryalaya.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk
memperoleh data tentang “Pendidikan Karakter
Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren
Suryalaya.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan
secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala yang
ada untuk kemudian dilakukan pencatatan.[33] Dalam penelitian ini penulis menggunakan alat bantu berupa buku catatan,
kamera, dan rekorder. Metode ini digunakan untuk melihat secara langsung
bagaimana sistem Dalam hal ini penulis bertindak sebagai
pengamat nonpartisipan.
2.
Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topik tertentu.[34]
Dalam wawancara ini penulis akan memperoleh data
dari hasil wawancara para koresponden tentang apa saja yang terkait dengan “Pendidikan Karakter Berbasis Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
3.
Metode Library Research/ Studi Kepustakaan/
Studi Dokumentasi
Metode atau teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dan informasi
melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter ini merupakan
metode yang berasal dari sumber nonmanusia.[35] Metode ini digunakan
untuk menggali data yang berkaitan dengan “Pendidikan Karakter Berbasis
Thariqah” di Pondok Pesantren Suryalaya.
IX.
INSTRUMEN PENELITIAN
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan oleh penulis adalah pedoman
observasi dan wawancara. Karena dalam penelitian ini peneliti menggunakan
peneltian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti pun menggumpulkan
data dokumentasi yang ada di lapangan.
X.
SUMBER BACAAN
Afifudin dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Jawa Barat: CV Pustaka Setia.
An-Nawawi, Al-Imam. 1981. Shahih Muslim Bi
Syarh An-Nawawi Juz 8. Beirut: Dar Al-Fikri.
Arikunto, Suharsimi. 2006.
Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka
Cipta.
Departemen Agama. 2009. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Surakarta: Pustaka Al-Hanan.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam
dan Akhlak. Jakarta: Amzah.
Hasan, Fuad. 2010. Dasar-Dasar Kependidikan.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter:
Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Khan, D. Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis
Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi
Publishing.
Mulyati, Sri. 2011. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Nasirudin. 2009. Pendidikan Tasawuf. Semarang:
RaSAIL Media Group.
Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta: Rajawali Pers.
Saptono. 2011. Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter:
Wawasan, Strategi, dan Langkah Praktis. Yogyakarta: Erlangga.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Subagyo, P Joko. 2011. Metode Penelitian: dalam Teori
dan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sugiyono. 2009. Metode
Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi.
Bandung: Alfabeta.
Suwarno, Wiji. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam
Pendidikan dan Bimbingan Konseling. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter di
Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wiyani, Novan Ardy. 2002. Pendidikan Karakter Berbasis
Iman dan Taqwa. Yogyakarta: Teras.
Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter:
Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
[1]UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
[2]Dr, Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan
Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), hlm. 2.
[3]Dr, Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan
Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), hlm. 1.
[4]Al-Imam An-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi Juz 8, (Beirut:
Dar Al-Fikri, 1981), hlm. 90.
[5]Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surakarta: Pustaka
Al-Hanan, 2009), hlm. 564.
[6]Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 318.
[7]Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I, Pendidikan Karakter Berbasis Iman dan Taqwa,
(Yogyakarta: Teras, 2002), hlm. 1.
[8]Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), cet.ketiga, hlm. 19.
[9]Drs. H. Fuad Hasan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2010), hlm. 5.
[10]Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), cet.ketiga, hlm. 21-22.
[11]Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter
Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
hlm. 34.
[12]Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Pendidikan Karakter: Membangun
Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010), hlm. 12.
[13]Saptono, M.Pd., Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi,
dan Langkah Praktis, (Yogyakarta: Erlangga, 2011), hlm. 18.
[14]Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), cet.ketiga, hlm. 21-22.
[15]Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surakarta: Pustaka
Al-Hanan, 2009), hlm. 71.
[16]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 256.
[17]Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Pendidikan Karakter: Membangun
Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010), hlm. 1.
[18]Dr. D. Yahya Khan, M.Pd., Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri:
Mendongkrak Kualitas Pendidikan, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010),
hlm. 17.
[19]Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.
184.
[20]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 9.
[21]Nasirudin, M.Ag., Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group,
2009), hlm. 116.
[22]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 29.
[23]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 74.
[24]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 91.
[25]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 125.
[26]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 161.
[27]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 181.
[28]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 220.
[29]Dr. Hj.
Sri Mulyati, MA, et al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 153.
[30]Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan
Konseling, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 2.
[31]Prof. Dr. Sugiyono, Metode
Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2009), hlm.15
[32]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 129.
[33]P Joko Subagyo, S.H., Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), hlm. 63.
[34]Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi, (Bandung: Alfabeta,
2011), hlm. 316.
[35]Prof. Dr. H. Afifudin, M.M. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Jawa Barat: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 141.