Selasa, 09 Juli 2013

MEMBANGUN MORALITAS DAN IDENTITAS BANGSA



MEMBANGUN MORALITAS DAN IDENTITAS BANGSA
(BUDAYA LATAH SEBAGAI TOMBAK PUDARNYA IDENTITAS BANGSA)
Oleh:
UMI MUKAROMAH
A.    ABSTRAK
Di era globalisasi sekarang ini, setiap individu dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman yang bergerak melesat. Makin canggihnya teknologi, mempermudah siapapun untuk mencari dan memperoleh informasi secara cepat, simpel, dan praktis. Kemudahan tersebut tampak dalam berbagai hal, seperti dengan adanya on-line shop sehingga seseorang tidak perlu keluar rumah untuk membeli sesuatu yang diinginkan, atau tidak perlu keperpustakaan untuk mencari materi tugas atau mencari bahan bacaan. Namun dari sekian banyak situs yang mampu didapatkan tersebut, yang paling menonjol adalah sosial media, kini sosialisasi dengan kerabat menjadi jauh lebih mudah, baik dengan teman baru, teman lama, atau orang yang tidak dikenal sekalipun. Remaja pada khususnya bisa mendapatkan teman baru lewat media yang begitu terkenal dimasa kini, contohnya facebook dan twitter, sehingga hampir semua pengguna sosial media ingin terlihat menarik untuk mendapatkan perhatian dari orang lain dengan berlomba-lomba memasang foto yang dianggap paling kece, keren, dan menarik perhatian. Akhirnya tak sedikit dari remaja yang menjadi ragu dan tidak percaya diri untuk memasang fotonya sendiri. Ada yang akhirnya memasang foto idolanya atau bahkan foto yang menirukan foto idolanya. Tak sedikit pula yang menggunakan aplikasi-aplikasi pengedit foto hanya untuk menghilangkan sebagian kekurangan fisik atau bahkan sebagian banyak.
Penampilan merupakan hal yang sensitif dari diri seseorang terutama remaja. Seperti cara berpakaian, tatanan rambut, accesoris, dan sebagainya. Seorang remaja akan berusaha terlihat menarik didepan teman-temannya, bahkan hingga rela merubah penampilannya demi sebuah pengakuan dari kelompok yang ia ikuti. Ini menandakan bahwa remaja belum menerima apa adanya diri sendiri. Karena kebanyakan dari mereka merasa kurang percaya diri dengan apa yang ada pada dirinya, hasilnya menjadi seseorang itu mencari identitas diri melalui orang lain, orang tua, idolanya, atau orang-orang yang ada disekitarnya, bukan berasal dari dirinya sendiri, sehingga cenderung tidak konsisten.
Rentannya generasi muda terhadap pengaruh berubahnya zaman, terjadi tak lain karena pemuda memiliki karakteristik unik, yakni labil dan sedang dalam taraf mencari identitas, serta mengalami masa transisi. Hal itu membuat mereka cenderung tidak mampu menahan godaan dari proses perubahan global. Dengan demikian, semua pihak terutama orang tua dan guru sebaiknya tidak cepat menghakimi remaja dengan perilaku menyimpang sebagai anak nakal. Tetapi bisa dengan memberi pengarahan-pengarahan dan motivasi agar remaja bias memfilter adanya globalisasi. Untuk memahami remaja juga dibutuhkan kesediaan orang tua dan guru untuk berempati dan mengerti arti sebetulnya keinginan, harapan, dan dunia kehidupan mereka. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan remaja, niscaya yang dilakukan hanyalah tindakan menghakimi atau sekedar menyalahkan mereka sebagai anak nakal yang patuh pada nasihat orang tua.

B.     LATAR BELAKANG
Krisis identitas bukan bermakna orang yang tidak mengenal namanya, tetapi orang yang lupa fungsi dan perannya, krisis identitas muncul sebagai efek atau dampak seseorang yang mengalami degradasi konsep diri, konsep diri terkikis oleh kritik, terkikis oleh berbagai komentar negatif, terkikis oleh masukan dan saran yang terkesan bagus tetapi sebenarnya merusak konsep diri. Semakin lunak pemikiran terhadap diri, semakin kecil upaya untuk meningkatkan potensi diri, banyak keraguan, banyak ketidakpercayaan yang akhirnya mengikis kepercayaan diri. 
Kehidupan berjalan dengan sangat keras, berjalan dengan kejam dan tidak memberi kesempatan atau ampunan kepada orang-orang yang merasa kalah, orang-orang yang mundur sebelum bertarung. “Hadapi atau lari”, itulah ajaran kehidupan dalam menghadapi permasalahan. Dan melarikan diri dari masalah bukanlah sebuah solusi tetapi sebuah ketakutan menghadapi kerasnya kehidupan dan ketakutan jika gagal.
Krisis identitas bermula dari problem antara harapan dan realita, jika harapan terlalu tinggi dan realita terlalu rendah maka seseorang akan ragu dengan kemampuan dirinya, akan ragu dengan semua kelebihannya, akan ragu dengan semua potensi yang dia miliki. Krisis identitas tersebut sering diistilahkan oleh anak gaul dengan “galau”. Strategi-strategi dalam menangani dan mengatasi galau sangat dibutuhkan dengan kekuatan mental dan kekuatan fisik.
Setiap insan dilahirkan dengan naluri bertahan hidup,baik itu hidup seadanya atau hidup seperti yang diimpikannya. Impian setiap orang juga beragam dan bermacam-macam. Jangan pernah menganggap remeh impian orang lain karena suatu saat kita hanya akan terdiam dan terkagum-kagum ketika orang tersebut sudah mencapai keinginannya. Sebesar apapun impian, sebesar apapun pencapaian  jangan pernah meragukan orang lain bahwa kelak mereka juga akan menggenggam impiannya.
Harapan atau impian yang terlalu tinggi memang baik tetapi lebih baik lagi memiliki impian berjenjang (menjadi yang terbaik dikelas, menjadi terbaik di nasional, menjadi terbaik di internasional). Impian berjenjang atau bertahap membuat gap antara realita dan harapan tidak terlalu besar, kesenjangan antara realita dan harapan sangat pendek sehingga upaya keras untuk mencapainya juga lebih sistematis dan berjenjang, ketika pencapaian berjalan sistematis seperti menaiki anak tangga maka bukan mustahil apapun yang diimpikan akan tercapai.
Jika suatu individu merasa memiliki krisis identitas, coba evaluasi apakah memiliki harapan-harapan terlalu tinggi? apakah langkah-langkah mencapai impian sudah sistematis? apakah kelebihan yang ada sudah menunjang pencapaian impian? Apakah semua peluang dan tantangan yang ada sudah terprediksi sejak awal? Jika semua langkah-langkah refleksi dan perbaikan sudah dilakukan masih mengalami krisis identitas maka saatnya melakukan pelatihan “GOLDEN WAYS” nya Mario Teguh.

C.    PEMBAHASAN
1.      BUDAYA LATAH
LATAH. Sebuah peniruan spontan yang dilakukan oleh seseorang akibat terkejut. Dr RinRin Khaltarina mengungkapkan bahwa latah memiliki dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psikologis, dan sosial. Ada empat macam latah yang bisa dilihat berdasarkan gejala-gejala tersebut, yaitu ekolalia (mengulangi perkataan orang lain), ekopraksia (meniru gerakan orang lain), koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor), dan automatic obedience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut). Berdasarkan fakta yang ada, gangguan latah biasanya tumbuh dalam masyarakat terbelakang yang menerapkan budaya otoriter atau sewenang-wenang. Hasil kajian yang dilakukan mereka bersependapat untuk mengkelaskan latah sebagai satu sindrom budaya masyarakat setempat.
Terlepas dari sebuah popularitas ke-latah-an, latah dapat didevinisikan sebuah peniruan terhadap aktivitas ataupun produk yang telah dilakukan oleh pihak lain (ikut-ikutan). Di dunia industri hiburan (terutama televisi), latah telah berkembang menjadi unit produksi tersendiri, dimulai dengan tema sinetron, bentuk acara (diantaranya program reality show), hingga model-model pemberitaan. Sangat sulit sekali saat ini untuk menemukan ciri khas sebuah stasiun televisi.
Ada pula sindrom latah pada saham-saham di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia mayoritas berada dibawah pola pikir orang-orang asing. Orang-orang Indonesia lebih percaya dengan ide-ide dan gagasan orang-orang asing tersebut dibanding kreativitas sendiri. Sehingga mereka tidak merasa percaya diri untuk mengungkapkan tentang orientasi mereka. Akhirnya orang-orang Indonesia hanya duduk dibawahan atas kendali orang-orang asing.
Dari kelatahan yang terjadi saat ini, sebenarnya tak lebih dari akibat miskinnya kreativitas yang dimiliki, serta ditambah dengan tingginya budaya otoriter sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Semboyan “yang muda yang kreatif yang muda yang berprestasi,” kadang mengesalkan dan memilukan sebagian kaum muda yang kebanyakan hebat namun tak pernah menggapai prestasi maksimum. Bagaimana mencapai keberhasilan dan kesuksesan jika kita tak tahu kemana arah dan tujuan kita melangkah, tak mengetahui bakat diri, bahkan cenderung malu mengakui bakat yang kita miliki, karena bakat yang tidak sesuai dengan keinginan kita untuk berprestasi dibidang mana. Tepatnya, sebagian besar dari kaum muda lebih menyukai arus kekinian atau malah sekedar melawan arus hanya ingin dikata hebat. Menurut saya, tak perlu melawan arus jika arus itu sesuai dengan kaidah-kaidah kehidupan. Hanya tetap didalam arus namun bisa dengan menggunakan cara yang berbeda untuk dapat lebih cepat mencapai tujuan.
Orang-orang muda masa kini, dihadapkan pada perubahan-perubahan yang sangat signifikan. Dampak dari lahirnya globalisasi yang menciptakan kampung dunia melahirkan suasana serba tidak menentu. Disadari maupun tidak, orang-orang muda akan dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi begitu cepat. Perubahan yang terjadi hampir-hampir tidak mungkin dielakkan sangat sulit untuk mengubah keadaan. Yang dapat dilakukan ialah bagaimana menyikapi perubahan dan menyesuaikan dengan keadaan. Atau kalu tidak maka akan dilindas oleh perubahan zaman yang sekaligus memudarkan identitas asli kita.
Ya, krisis identitas itu memang penghambat kita untuk berorientasi, kita cenderung takut untuk menjadi diri sendiri karena tak laku dipasaran. Selain itu pula, krisis identitas disebabkan oleh latah pemikiran, dan lebih menonjolkan bayangan diri daripada memunculkan sifat yang aslinya. Jika kita pernah membaca buku La Tahzan, didalamnya menyebutkan bahwa tak satupun manusia sejak Adam hingga akhir zaman akan serupa baik karakter maupun rupa dengan lainnya. Bahkan kalau kita membaca dibuku-buku ilmu pemasaran, untuk menjual sebuah produk, tentu ada nilai lebih yang dapat ditawarkan dibanding dengan produk lainnya.
Sampai saat ini saya masih amat yakin dan percaya, bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak perlu melihat kekurangan orang lain dan dibandingkan dengan kelebihan kita, namun gunakan kelebihan kita untuk lebih berprestasi dalam bakat yang kita punya.

2.      KRISIS IDENTITAS
Identitas dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri. Adapun identitas yang dimaksud disini adalah identitas atau jati diri yang menunjuk pada ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang maupun sesuatu. Identitas atau jati diri itu muncul dan ada dalam interaksi yaitu adanya hubungan antara seseorang dengan orang lain. Dengan demikian, seseorang mempunyai jati diri tertentu karena adanya pengakuan atas keberadaannya oleh orang lain dalam interaksi tersebut. Dan jati diripun bisa saja berbeda dari semula sesuai dengan interaksi yang telah dijalani.
Sebagaimana kita ketahui bahwa identitas atau jati diri itu diperlukan dalam interaksi maka dalam setiap interaksi, seseorang memiliki posisi dengan menjalankan peranan-peranannya. Semakin banyak peranan yang dimainkan dan semakin luas pergaulan seseorang dalam kehidupan, semakin banyak pula identitas atau jati diri yang dimiliki. Oleh karena itu, seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas.
Manakala kita membicarakan remaja pasti kita mengandaikan kekhasan dalam kehidupan mereka, yang dapat dilihat dari gaya hidup mereka. Maka timbullah pertanyaan, adakah suatu gaya hidup yang dapat menyebabkan kelompok remaja menjadi terbedakan dengan kelompok lainnya yang nonremaja, misalnya? Padahal setiap kelompok dalam masyarakat sosial tentu memiliki gaya hidup yang khas. Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang sebagai KTP bagi keanggotaan suatu masyarakat sosial. Untuk merangkap gaya hidup ini dapat kita lihat dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya bersifat modis, cara berperilaku, sampai bahasa yang digunakan tidak untuk tujuan berkomunikasi semata-mata, tetapi juga untuk simbol identitas mereka.
Kemudian, yang terlihat menonjol lainnya adalah dalam gaya bahasa yang digunakan, yaitu dialek remaja. Memang dialek remaja tersebut memiliki kekhasan. Namun hal inilah yang menyebabkan identitas bahasa aslinya menjadi luntur. Di Jawa misalnya, banyak sekali kaum remaja yang kesulitan dalam menggunakan bahasa Jawa. Mereka lebih mengenal dan memakai bahasa-bahasa yang dipandang gaul dalam kalangan mereka, dan parahnya lagi ada remaja yang memandang kuno jika memakai bahasa daerah. Contohnya saja remaja-remaja yang berasal dari kota-kota ngapak akan mendapat respon yang berbeda dari kalangannya ketika sudah keluar dari kota aslinya. Kemudian mereka mencoba beradaptasi meskipun harus meninggalkan kekhasan mereka agar supaya diterima dilingkungan barunya tersebut. Dan timbullah rasa tidak percaya diri dalam diri mereka jikalau masih menggunakan bahasa asli mereka.
Rasa tidak percaya diri akan identitas sebenarnya merupakan duri yang harus disingkirkan. Kebanyakan remaja merasa minder dengan kawan-kawannya karena beberapa kekurangan yang ia miliki. Misalnya, karena dia berasal dari keluarga miskin, kemudian segi fisik maupun penampilan yang tergolong pas-pasan. Hal itulah yang membuat para remaja tidak pede dengan menjadi dirinya yang sebenarnya, sehingga dia mengikuti pola hidup orang lain. Karena menurut mereka, itu merupakan jalan agar mereka dapat diterima dikalangannya.
Sebenarnya percaya diri bisa mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan. Menjadi diri sendiri atas identitasnya. Itulah aura yang akan terpancar dari seorang yang percaya diri. Adakalanya ketidakpercayaan diri diakibatkan kita merasa bahwa orang lain jauh lebih baik, sementara kita tidak mempunyai kemampuan atau kelebihan. Lalu, kitapun minder, menyalahkan atau menjelekkan diri sendiri. Padahal, kita semua sama-sama diberi akal dan jiwa oleh Allah dengan potensi yang sama.
Untuk mengembangkan rasa percaya diri atas identitas kita, kita bisa melakukan berbagai hal. Pertama, berpikirlah hal-hal yang positif, hilangkan praduga, apalagi berburuk sangka. Kedua, selalu melakukan sesuatu yang terbaik. Ketiga, berusaha fokus pada apa yang kita cita-citakan. Dan keempat, pantang menyerah. Kemampuan kita untuk mengembangkan diri sangat bergantung pada daya tahan kita dalam menghadapi situasi yang sulit. Kita harus terus mengembangkan rasa percaya diri. Bagaimana orang lain akan percaya kepada kita kalau kita saja tidak percaya kepada identitas kita sendiri? Percayalah bahwa setiap orang mempunyai keunikan. Oleh karena itu, jika kita merasa tidak percaya diri karena menganggap orang lain lebih daripada kita, galilah potensi keunikan kita. Karena setiap orang mempunyai potensi yang bisa dibanggakan.

3.      MEMBANGUN MORALITAS
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), moral artinya ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, atau akhlak. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral/immoral (Desmita, 2011:258), tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Melalui pengalamannya dalam berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman atau guru).
Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan dari setiap individu. Perkembangannya memang melalui interaksi sosial, namun dalam berinteraksi memiliki corak khusus, dimana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas individu ikut berperan. Sehingga semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, maka akan semakin terlihat moralitas yang lebih bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
Gejala kemerosotan moral saat ini sudah benar-benar mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, dan saling merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menipu, mengambil hak orang lain, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Penurunan moral yang demikian itu lebih mengkhawatirkan lagi, karena bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan dan profesinya, melainkan juga telah menimpa kepada para pelajar generasi muda yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan, dan perdamaian masa depan.
Akhir-akhir ini banyak terdengar keluhan orang tua, pendidik, dan orang-orang yang berperan dalam bidang agama dan sosial, berkenaan dengan ulah remaja yang sulit sekali untuk dikendalikan, nakal, keras kepala, berbuat keonaran, maksiat, tawuran, mabuk-mabukan, pesta obat-obat terlarang, bergaya hidup ala Eropa dan Amerika, bahkan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya. Penyimpangan-penyimpangan yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan bangsa itu sungguh sangat disayangkan karena telah mencoreng nama baik dunia pendidikan.  Para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak yang baik sebagai hasil didikan itu, justru malah menunjukkan tingkah laku yang buruk. Lantas, adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan?
Seiring dengan munculnya berbagai pertanyaan, kini bermunculan seminar-seminar yang ditujukan untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan pendidikan moral. Karena, moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungannya dalam berinteraksi dengan sesama manusia, dan menghindari konflik-konflik peran yang terjadi dalam masa modern ini. Orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik atau buruknya sesuatu. Namun, seperti yang dapat kita rasakan, perkembangan moral remaja Indonesia belum optimal. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya ditemui remaja yang mengalami degradasi moral. Untuk itu sangat diperlukan program-program untuk meningkatkan tahap penalaran moral dikalangan remaja agar tidak mudah terbawa arus yang dianggap baik atau buruk oleh masyarakat, sebab remaja-remaja sekarang akan menduduki posisi kunci dalam masyarakat dimasa mendatang.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang dikalangan remaja. Diantaranya yaitu; longgarnya pegangan terhadap agama. Segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Kemudian dapat disebabkan karena kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Perilaku moral tidaklah stagnan, tetapi perilaku moral seseorang dapat berubah dan berkembang dari waktu kewaktu karena perilaku moral sangat erat dengan situasi, kondisi, dan lingkungan seseorang. Perilaku moral pada dasarnya sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran seseorang, maka untuk mengetahui moral dibalik tingkah laku seseorang tidak dapat hanya melihat penampilannya saja.
Perkembangan moral itu bertahap, artinya kedewasaan moral seseorang hanya dapat meningkat tahap demi tahap. Perkembangan moral antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan.  Perkembangan moral pada perempuan lebih mengacu pada perasaan sadangkan laki-laki lebih menekankan pada penalaran.  Sejumlah penelitian tokoh pendidik moral (Sutarjo Adisusilo, 2012: 45) menyimpulkan bahwa jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap sikap dan perilaku moral seseorang. Penelitian tersebut setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa perkembangan dalam membangun moralitas antara perempuan dan laki-laki tidak sama, begitu juga dalam menghadapi persoalan-persoalan, baik yang berhubungan dengan moralitas maupun pada aspek-aspek yang lain.
Di Indonesia, pendidikan moral sudah lama dimasukkan dalam kurikulum melalui pelajaran seperti; PKN, pendidikan agama, dan lain-lain. Dewasa ini bahkan sudah ada gerakan-gerakan yang akan menyelenggarakan pendidikan karakter, setelah diketahui karakter bangsa mulai pudar. Sekarangpun, batas-batas teritorial, cultural, dan sebagainya bukanlah merupakan hambatan untuk kita dalam mengetahuinya. Semua itu tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih dibidang komunikasi seperti; televisi, internet, dan sebagainya. Melalui teknologi tersebut berbagai peristiwa yang terjadi dibelahan dunia dapat dengan mudah diketahui.
Masyarakat sekarang yang tinggal diera global ini sudah tidak bisa menyembunyikan dirinya lagi. Kemanapun ia pergi pasti dikejar. Bagaimanakah langkah-langkah strategis pendidikan agama dan moral dalam situasi sekarang ini? Memerhatikan uraian tentang perkembangan moral, ada beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan, uraian dibawah ini akan mencoba menjawabnya.
Pertama, pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama, karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.
Kedua, pendidikan agama yang dapat menghasilkan pendidikan moral harus diubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Pengajaran agama dapat berarti mengisi anak dengan pengetahuan tentang agama, sedangkan pendidikan agama bisa berarti membina dan mewujudkan perilaku manusia yang sesuai dengan agama.
Ketiga, pendidikan moral dapat dilakukan dengan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, logika, matematika, fisika, biologi, sejarah, dan sebagainya.
Keempat, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti yang selama ini ditekankan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
Kelima, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerja sama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keenam, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern.
Dengan demikian, uraian-uraian tersebut memperlihatkan dengan jelas, bahwa pembinaan moral erat kaitannya dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, pendidikan agama perlu ditingkatkan kualitasnya dengan melibatkan unsur kedua orang tua, sekolah, dan masyarakat serta dengan menggunakan berbagai cara yang efektif.

4.      PERLUNYA PENDIDIKAN KARAKTER
Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2012:30). Dalam sejarah islam, Rasulullah Muhammad SAW, sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada tujuan yang serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Kecerdasan disertai karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.
Dalam islam, tentunya kita tahu bahwa konsep pendidikan mengacu pada at-ta’lim, at-ta’dib, dan at-tarbiyah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, istilah-istilah tersebut cenderung lebih populer dipakai dalam praktik pendidikan islam. Padahal pendidikan karakter haruslah berdasarkan pada nilai religious, bukan justru malah anti nilai agama.
Thomas Lickona (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2012:31) dalam karyanya The Return of Character Education telah menyadarkan dunia akan urgennya pendidikan karakter dan setelah itu pula menjadi awal kebangkitan karakter. Dan konsep pendidikan karakter yang asli di Indonesiapun sudah ada. Konsep pendidikan karakter tersebut dapat digali dari berbagai adat istiadat dan budaya di Indonesia, ajaran berbagai agama yang ada di Indonesia serta praktik kepemimpinan yang telah lama diterapkan di Indonesia. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,…” (Sutarjo Adisusilo, 2012:76).
Jika seseorang berbicara tentang pendidikan karakter terkadang disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai-nilai luhur yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Hal itupun tidak jauh berbeda jika seseorang berbicara tentang pendidikan budi pekerti. Terkait dengan nilai-nilai luhur, pendidikan di Indonesia didasarkan pada nilai-nilai luhur pancasila. Oleh karena itu, pendidikan nilai membantu seseorang dalam menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Tidak ada yang meragukan jika kualitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa tersebut membangun bangsanya dari sisi kualitas pendidikan. Sebab pendidikan memang menjadi salah satu tolok ukur penting didalam proses pengembangan sumber daya manusia (SDM). Keberhasilan pengembangan SDM sangat tergantung kepada bagaimana bangsa tersebut mengelola pendidikannya.
 “75% orang sukses itu karena karakternya, bukan karena kecerdasannya.” Demikianlah penuturan dari Dr. M. Sulistiyo, M.Pd. dalam Seminar Nasional Tafsir Kurikulum Baru Pendidikan Bermutu yang digelar di Auditorium II kampus III IAIN Walisongo Semarang. Jadi, jelaslah bahwa tujuan utama seorang pendidik adalah menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Seorang pendidik harus berbenah diri terlebih dahulu baru peserta didik, karena pendidik adalah kunci utama dalam pendidikan karakter. Kemudian, dipaparkan pula sebuah kisah oleh Habiburrahman El-Shirazy yang juga menjadi pembicara pada Seminar Nasional tersebut. Dari kisah seekor singa yang tumbuh dan berkembang bersama kambing, kita dapat mengambil hikmah atau nilai moral bahwa pendidikan karakter juga sangat bergantung pada lingkungan tempat tinggal kita. Semakin tidak terkendali lingkungan-lingkungan yang ada disekitar kita semakin tidak terkendali pula karakter kita.
Dijelaskan pula oleh Habiburrahman El-Shirazy tentang pendidikan karakter dalam islam. Dalam penjelasannya, jika Allah SWT hendak mendidik suatu bangsa yang rusak, menghidupkan peradaban yang sekaratdan mengembalikan kemuliaan jiwa manusia yang nyaris sirna, maka diutuslah seorang nabi dan rasul, dan diturunkanlah kitab suci yang memberikan pencerahan. Begitu juga, tatkala peradaban manusia akhir zaman sekarat, Allah SWT menurunkan rasul pamungkas-Nya yaitu Muhammad SAW. dan menurunkan kitab suci teragungnya, yaitu Al-Qur’an. Muhammad SAW. diutus untuk menyempurnakan shalihal akhlaq dan Al-Qur’an diturunkan sebagai hudan li an-nas.
Nabi Muhammad SAW. adalah sebaik-baiknya pendidik, karena ia dididik langsung oleh Allah SAW. Nabi Muhammas SAW. bersabda, “Allah mendidik aku maka baguslah adab dan pekertiku.” Dengan Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW. mendidik bangsa peradaban jahiliyah menjadi bangsa yang berkarakter mulia, bangsa yang mampu meruntuhkan peradaban adikuasa Romawi dan Persia. Generasi penerus para sahabat Nabi SAW. yang dididik dengan karakter Al-Qur’an itu telah terbukti berabad-abad menjadi leader story diatas muka bumi ini. Sampai pelan-pelan mereka meninggalkan Al-Qur’an, maka pudarlah cahaya kegemilangannya.
Mendidik untuk mengamalkan ilmu adalah ciri terpenting dari pendidikan karakter dalam islam. Mengamalkan ilmu adalah adab bagi pendidik dan yang dididik. Bagi pendidik mengamalkan ilmu adalah fardhu ‘ain, tanpanya jatuhlah predikat sebagai pendidik. Didalam pendidikan islam, didikan mengamalkan ilmu akan menuntut para pencari ilmu untuk memiliki adab. Pendidikan itu gagal, jika pemilik ilmu tidak memiliki adab. Pendidikan karakter dalam islam adalah masalah pendidikan adab.
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, gurunya sebagian besar ulama besar di Tanah Jawa, menekankan pentingnya adab dalam kitabnya Adab al ‘Alim Wa al Muta’allim. Bahkan kitab itu boleh dikatakan isinya semuanya tentang adab, yaitu adab bagi guru dan murid, adab bagi pendidik dan yang dididik. Dan sebelum Syaikh Hasyim menulis al ‘Alim Wa al Muta’allim, seorang ulama’ pakar pendidikan Al Zarnuji, menulis kitab tuntunan untuk para pencari ilmu, yaitu Ta’lim al-Muta’allim, kitab tipis yang sangat terkenal dikalangan pesantren.
Dalam kitan Ta’lim al-Muta’allim menekankan aspek nilai adab, baik adab batiniyah maupun adab lahiriyah dalam pembelajaran. Kitab ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, namun yang paling penting adalah transfer niali adab. Kitab yang popular dipesantern-pesantren Indonesia ini, memaparkan konsep pendidikan islam secara utuh. Bahwa karakter sejati itu karakter beradab, yaitu adanya keseimbangan dan keterkaitan antara adab batiniyah dan adab lahiriyah.

D.    KESIMPULAN
Budaya latah yang populer diIndonesia benar-benar dapat memberikan efek buruk untuk kita, khususnya para remaja generasi penerus bangsa. Merajalelanya trend-trend yang dipandang dan dirasa gaul menjadikan berkurangnya rasa percaya diri akan sesuatu yang sebenar-benarnya adalah diri kita. Lebih memilih menjadi diri yang baru bahkan menjadi orang lain itulah yang menjadi faktor pudarnya identitas kita. Maka dari itu menanggapi problema ini sangat dibutuhkan pendidikan karakter untuk menumbuhkan kembali identitas diri serta moralitas yang tentunya untuk mengharumkan kembali citra bangsa dengan mengindahkan segala keunikan-keunikan dan keaslian-keaslian yang ada didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi.  2010. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ali, Mohammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Desmita. 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Direktorat Pendidikan Madrasah Kementrian Agama. 2010. Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Kementrian Agama.
Kesuma, Dharma., et all.. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ibrahim, Idi Subandy., et all.. 2007. Lifestyle Ecstasy. Yogyakarta: Jalasutra.
Ismulcokro, C. dan J. Tito Sutarto. 2009. Berani Berfikir Positif, Bertindak Efektif. Yogyakarta: Great Publisher.
Lathifah, Annisa. 2008. La Tahzan for Modern Muslimah. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Mahendra, Fidi. La Tahzan for Student Membangun Kecerdasan Sang Pemenang. Jogjakarta: A Plus Book.
Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Masruroh, Ninik dan Umiarso. 2011. Modernisasi Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata, Abuddin. 2010. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, A.. 2004. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar Pustaka Media Transformasi Pengetahuan.
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press.


Sabtu, 06 Juli 2013

KOLEKSI EMAS MUSEUM RONGGOWARSITO



LAPORAN
KOLEKSI EMAS MUSEUM RONGGOWARSITO
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI




Oleh:
1.      Umi Mukaromah                              123111157


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
KOLEKSI EMAS MUSEUM RONGGOWARSITO
       I.      PENDAHULUAN
Peninggalan-peninggalan sebagai bukti dan saksi sejarah yang pernah ada di Jawa kini sudah mendapat perhatiankan dari pemerintah dan masyarakat. Peninggalan-peninggalan yang ditemukan memiliki jenis yang beragam diantaranya, fosil-fosil binatang purba, benda-benda terkait peninggalan prasejarah dan peradaban Hindu-Budha berupa koleksi alat-alat batu, alat-alat logam, dan arca-arca Hindu, kemudian peninggalan Islam dan Kolonial, ornamen dari Masjid, bangunan-bangunan Kolonialisme Belanda, peralatan maupun jenis kesenian musik, koleksi berbahan emas yang dibuat pada zaman klasik, dan sebagainya. Bukti-bukti yang telah ditemukan dikumpulkan disuatu tempat yang dapat digunakan untuk media pembelajaran dalam rangka pengenalan terhadap sejarah.
Dengan adanya bukti-bukti sejarah, kita dapat memahami dengan mengetahui langsung contoh-contoh peninggalan yang sudah ada. Laporan ini membahas salah satu peninggalan di Jawa Tengah yang sekarang dijadikan media pembelajaran di Museum Ronggowarsito Semarang, yaitu koleksi emas. Didalam museum tersebut kita akan menemukan berbagai koleksi emas, mulai dari cincin, anting, kalung, dan berbagai macam perhiasan. Untuk lebih lengkapnya dijelaskan dalam laporan ini.

    II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa saja koleksi emas di Museum Ronggowarsito?
B.     Bagaimanakah sejarah peninggalan emas?
C.     Dimanakah letak asal peninggalan emas?
D.    Apakah manfaat peninggalan emas?


 III.      HASIL PENGAMATAN
A.    Koleksi Emas di Museum Ronggowarsito
Di Museum Ronggowarsito terdapat berbagai macam koleksi emas yang pernah ditemukan, koleksi emas tersebut adalah:
1.      Replika aneka perhiasan temuan Wonoboyo
Koleksi perhiasan ini bersal dari Wonoboyo, Jagonalan, Klaten. Koleksi ini merupakan replika temuan Wito Lakon dan kawan-kawannya yang ditemukan dalam guci keramik Dinasti Tang (± abad IX M). seluruhnya berjumlah 27 kg. Aneka perhiasan yang ditemukan adalah sebagai berikut:
a.       Hiasan leher
Foto0543.jpg

b.      Kelat bahu
Foto0544.jpg

c.       Hiasan pinggang
Foto0542.jpg

2.      Replika aneka wadah temuan Wonoboyo
Aneka wadah yang ditemukan di Wonoboyo, meliputi;
a.       Tutup berbentuk ikat rambut
b.      Tutup berhias
c.       Tas bertutup
d.      Tutup
e.       Hiasan tutup bermotif anjing PO
f.       Cepuk
g.      Hiasan cucuk kendi

3.      Pesona kalung
Kalung merupakan bentuk karya seni yang mempunyai nilai simbolis dan estetis. Pemakaian kalung juga menandakan status sosial. Biasanya pemakaiannya dilengkapi dengan liontin. Liontin sering dilengkapi batu-batu mulia yang berfungsi menambah kewibawaan karena sering diisi dengan kekuatan magic. Tetapi tidak semua kalung didesain untuk dilengkapi liontin, sebagai contoh kalung berbentuk daun dan kelat leher.

4.      Pesona perhiasan
Selain kalung dan cincin bentuk-bentuk perhiasan anggota badan yang sering dipakai nenek moyang meliputi:
a.       Kelat bahu
b.      Bros
c.       Ikat pinggang
d.      Hiasan dada
e.       Binggel
f.       Gelang
Pemakaian lengkap perhiasan anggota badan tersebut biasanya berhubungan dengan kegiatan adat/upacara keagamaan.
5.      Pesona perhiasan kepala
SAM_1200.JPG
Budaya logam mulia pada masa klasik (Hindu-Budha) berkembang dalam berbagai variasi yang memancarkan keindahan pesona dalam design, jenis permata, dan ukurannya. Buktinya adalah berupa:
a.       Mahkota
b.      Anting
c.       Sumping isubang
d.      Timang konde
e.       Grodho
6.      Cincin perhiasan
SAM_1250.JPG
Pemilikan cincin oleh masyarakat pada masa klasik (Hindu-Budha) menggambarkan tingginya status sosial, yang fungsi utamanya bersifat praktis dan elastis. Bentuknya bervariasi seperti cincin polos permata dan cincin burung.

7.      Cincin stempel
SAM_1251.JPG
Cincin stempel berfungsi simbolis. Tulisan “Sri” pada mata cincin berkaitan dengan aspek keagamaan dan sosial politik. Dari aspek keagamaan “Sri” dikenal sebagai pasangan Dewa Wisnu yang selalu dihubungkan dengan keberuntungan dan kemakmuran. Sedangkan dari sosial-politik, kata “Sri” digunakan sebagai nama depan seorang raja (bangsawan). (Sri Maharaja atau Sri Daksa) Stempel pengesahan dari penguasa, persembahan yang diserahkan oleh pemegang hak tanah lungguh kepada pejabat tinggi dalam suatu upacara penetapan Sima.

8.      Sarana perlengkapan upacara keagamaan
Adapun dalam upacara keagamaan juga dibutuhkan media yang terbuat dari logam mulia berupa:
a.       Arca
Arca berfungsi sebagai sarana pemujaan.
b.      Keris
Keris berfungsi sebagai benda pusaka.
c.       Mangkok
Mangkok berfungsi sebagai tempat atau wadah.
d.      Paku emas
Paku emas berfungsi sebagai penolak bala pada rumah.
e.       Mata uang tipe piloncito
Mata uang tipe piloncito berfungsi sebagai bekal kubur yang ditempatkan di peripih.
f.       Lempengan emas
Lempengan emas dengan goresan nama dewa berhuruf kuno ditempatkan didalam peripih.

9.      Fragmen kali area
Koleksi fragmen kali area yang pernah ditemukan diantaranya sebagai berikut:
a.       Multiple piloncito
b.      Keris nagasapta
c.       Paku
d.      Tangkai keris
e.       Mangkuk
f.       Arca budha

B.     Sejarah Peninggalan Emas
Secara pasti kapan sebenarnya emas mulai pertama dikenal dan memiliki nilai, apabila menurut sejarah peradaban manusia, emas mulai dikenal manusia sejak manusia mulai berbudaya. Sebagai sesuatu yang mempunyai nilai tinggi, emas mulai dikenal pada masa kekuasaan kekaisaran di Eropa yang kemudian diikuti dengan pencarian oleh sejumlah petualang dan penemu benua baru seperti Christoper Columbus dan Vasco da Gamma. Apabila kita menelaah jauh sebelum itu, emas telah dikenal sejak 40 ribu tahun sebelum masehi dan dijadikan sebagai alat budaya khususnya perlengkapan spiritual kuno pada masyarakat Mesir Kuno.
Bangsa-bangsa di Asia mengenal emas sejak 3000 tahun sebelum masehi. Di Indonesia keterampilan membuat perhiasan dari emas menyebar keseluruh pelosok nusantara, sehingga tercipta keanekaragaman perhiasan. Perkembangan budaya India turut serta mempengaruhi pola ragang hias dan bentuk perhiasan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada pemakaian perhiasan arca dan relief didinding candi. Pada umumnya emas ditemukan berkadar 6-20 karat.

C.    Letak Asal Peninggalan Emas

Foto0545.jpg

Peta diatas adalah denah temuan koleksi emas masa klasik hindu- budha di Jawa Tengah, diantaranya yaitu:
1.      Tegal
2.      Pemalang
3.      Batang
4.      Kendal
5.      Klaten
6.      Temanggung
7.      Boyolali
8.      Semarang
9.      Ungaran
10.  Demak
11.  Kudus
12.  Purworejo
13.  Banjarnegara
14.  Banyumas
15.  Pati
16.  Blora
17.  Rembang
18.  Wonogiri
19.  Magelang
20.  Wonosobo
21.  Cilacap

D.    Manfaat Peninggalan Emas
Pemakaian perhiasan memiliki tujuan dan manfaat yang bermacam-macam mulai dari simbol religious, untuk melengkapi pakaian adat dalam upacara keagamaan, memberi kekuatan magis, hingga semata-mata berfungsi praktis sebagai simbol status sosial, penampilan, dan kewibawaan. Status sosial menandakan menambah kewibawaan karena sering diisi dengan kekuatan magic yang fungsi utamanya bersifat praktis dan elastic simbolis menggambarkan tingginya status sosial. Emas juga digunakan untuk kegiatan adat atau upacara keagaman. Tulisan-tulisan yang ada pada mata cincin berkaitan dengan aspek keagamaan yang dihubungkan dengan keberuntungan dan kemakmuran dan aspek sosial politik dihubungkan dengan pengesahan dari penguasa atau persembahan yang diserahkan oleh pemegang hak tanah lungguh kepada pejabat tinggi dalam suatu upacara penetapan Sima. Dalam sarana perlengkapan upacara keagamaan, emas dijadikan sebagai sarana pemujaan benda pusaka, sebagai tempat, sebagai penolak bala pada rumah, dan sebagai bekal kubur yang ditempatkan di peripih.

 IV.      ANALISIS BUDAYA JAWA
Emas merupakan salah satu peninggalan dari kebudayaan Jawa pada masa Hindu-Budha. Pada masa ini, pemakaian perhiasan emas memiliki tujuan dan manfaat yang bermacam-macam mulai dari simbol religious, untuk melengkapi pakaian adat dalam upacara keagamaan, memberi kekuatan magis, hingga semata-mata berfungsi praktis sebagai simbol status sosial, penampilan, dan kewibawaan. Kemudian dalam upacara keagamaan, emas dijadikan sebagai sarana pemujaan benda pusaka, sebagai penolak bala pada rumah, dan sebagai bekal kubur yang ditempatkan di peripih.
Berbeda dengan era sekarang, emas lebih popular dijadikan sebagai perhiasan. Perhiasan emas sekarangpun memiliki tujuan dan manfaat yang berbeda dengan perhiasan emas pada budaya Jawa dahulu. Misalnya, emas tidak digunakan dalam upacara keagamaan tetapi sebagai fashion yang biasanya dipakai oleh para wanita.

    V.      KESIMPULAN
Di Museum Ronggowarsito terdapat berbagai koleksi emas Jawa Tengah yang ditemukan di wilayah-wilayah daerah Jawa Tengah. Beberapa koleksi emas tersebut diantaranya meliputi; aneka perhiasan dan aneka wadah temuan Wonoboyo, kalung, cincin perhiasan, perhiasan kepala, cincin stempel, emas dalam perlengkapan upacara keagamaan, dan fragmen kali area. Koleksi emas tersebut ditemukan pada masa klasik hindu- budha di Jawa Tengah yaitu; Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Klaten, Temanggung, Boyolali, Semarang, Ungaran, Demak, Kudus, Purworejo, Banjarnegara, Banyumas, Pati, Blora, Rembang, Wonogiri, Magelang, Wonosobo, dan Cilacap.
Pemakaian perhiasan emas sendiri memiliki tujuan dan manfaat yang bermacam-macam mulai dari simbol religious, untuk melengkapi pakaian adat dalam upacara keagamaan, memberi kekuatan magis, hingga semata-mata berfungsi praktis sebagai simbol status sosial, penampilan, dan kewibawaan.

 VI.      PENUTUP
Demikian laporan ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan laporan yang akan datang.