MEMBANGUN MORALITAS DAN IDENTITAS BANGSA
(BUDAYA LATAH SEBAGAI TOMBAK PUDARNYA IDENTITAS BANGSA)
Oleh:
UMI MUKAROMAH
A.
ABSTRAK
Di era globalisasi sekarang ini,
setiap individu dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman yang bergerak
melesat. Makin canggihnya teknologi, mempermudah siapapun untuk mencari dan
memperoleh informasi secara cepat, simpel, dan praktis. Kemudahan tersebut
tampak dalam berbagai hal, seperti dengan adanya on-line shop sehingga
seseorang tidak perlu keluar rumah untuk membeli sesuatu yang diinginkan, atau
tidak perlu keperpustakaan untuk mencari materi tugas atau mencari bahan
bacaan. Namun dari sekian banyak situs yang mampu didapatkan tersebut, yang
paling menonjol adalah sosial media, kini sosialisasi dengan kerabat menjadi
jauh lebih mudah, baik dengan teman baru, teman lama, atau orang yang tidak
dikenal sekalipun. Remaja pada khususnya bisa mendapatkan teman baru lewat
media yang begitu terkenal dimasa kini, contohnya facebook dan twitter,
sehingga hampir semua pengguna sosial media ingin terlihat menarik untuk
mendapatkan perhatian dari orang lain dengan berlomba-lomba memasang foto yang
dianggap paling kece, keren, dan menarik perhatian. Akhirnya tak sedikit dari
remaja yang menjadi ragu dan tidak percaya diri untuk memasang fotonya sendiri.
Ada yang akhirnya memasang foto idolanya atau bahkan foto yang menirukan foto
idolanya. Tak sedikit pula yang menggunakan aplikasi-aplikasi pengedit foto
hanya untuk menghilangkan sebagian kekurangan fisik atau bahkan sebagian
banyak.
Penampilan merupakan hal yang sensitif
dari diri seseorang terutama remaja. Seperti cara berpakaian, tatanan rambut,
accesoris, dan sebagainya. Seorang remaja akan berusaha terlihat menarik
didepan teman-temannya, bahkan hingga rela merubah penampilannya demi sebuah
pengakuan dari kelompok yang ia ikuti. Ini menandakan bahwa remaja belum
menerima apa adanya diri sendiri. Karena kebanyakan dari mereka merasa kurang
percaya diri dengan apa yang ada pada dirinya, hasilnya menjadi seseorang itu
mencari identitas diri melalui orang lain, orang tua, idolanya, atau
orang-orang yang ada disekitarnya, bukan berasal dari dirinya sendiri, sehingga
cenderung tidak konsisten.
Rentannya generasi muda terhadap
pengaruh berubahnya zaman, terjadi tak lain karena pemuda memiliki
karakteristik unik, yakni labil dan sedang dalam taraf mencari identitas, serta
mengalami masa transisi. Hal itu membuat mereka cenderung tidak mampu menahan
godaan dari proses perubahan global. Dengan demikian, semua pihak terutama
orang tua dan guru sebaiknya tidak cepat menghakimi remaja dengan perilaku
menyimpang sebagai anak nakal. Tetapi bisa dengan memberi pengarahan-pengarahan
dan motivasi agar remaja bias memfilter adanya globalisasi. Untuk memahami
remaja juga dibutuhkan kesediaan orang tua dan guru untuk berempati dan
mengerti arti sebetulnya keinginan, harapan, dan dunia kehidupan mereka. Tanpa adanya
pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan remaja, niscaya yang dilakukan
hanyalah tindakan menghakimi atau sekedar menyalahkan mereka sebagai anak nakal
yang patuh pada nasihat orang tua.
B.
LATAR BELAKANG
Krisis
identitas bukan bermakna orang yang tidak mengenal namanya, tetapi orang
yang lupa fungsi dan perannya, krisis identitas muncul sebagai efek
atau dampak seseorang yang mengalami degradasi konsep diri, konsep
diri terkikis oleh kritik, terkikis oleh berbagai komentar negatif,
terkikis oleh masukan dan saran yang terkesan bagus tetapi sebenarnya
merusak konsep diri. Semakin lunak pemikiran terhadap diri, semakin kecil
upaya untuk meningkatkan potensi diri, banyak keraguan, banyak ketidakpercayaan
yang akhirnya mengikis kepercayaan diri.
Kehidupan
berjalan dengan sangat keras, berjalan dengan kejam dan tidak memberi kesempatan
atau ampunan kepada orang-orang yang merasa kalah, orang-orang yang mundur
sebelum bertarung. “Hadapi atau lari”, itulah ajaran kehidupan dalam menghadapi
permasalahan. Dan melarikan diri dari masalah bukanlah sebuah
solusi tetapi sebuah ketakutan menghadapi kerasnya kehidupan dan ketakutan jika
gagal.
Krisis
identitas bermula dari problem antara harapan dan realita, jika
harapan terlalu tinggi dan realita terlalu rendah maka seseorang akan ragu
dengan kemampuan dirinya, akan ragu dengan semua kelebihannya, akan ragu dengan
semua potensi yang dia miliki. Krisis identitas tersebut sering diistilahkan
oleh anak gaul dengan “galau”. Strategi-strategi dalam menangani dan
mengatasi galau sangat dibutuhkan dengan kekuatan mental dan kekuatan
fisik.
Setiap
insan dilahirkan dengan naluri bertahan hidup,baik itu hidup seadanya atau hidup
seperti yang diimpikannya. Impian setiap orang juga beragam dan bermacam-macam.
Jangan pernah menganggap remeh impian orang lain karena suatu saat kita hanya
akan terdiam dan terkagum-kagum ketika orang tersebut sudah mencapai keinginannya.
Sebesar apapun impian, sebesar apapun pencapaian jangan pernah meragukan orang lain bahwa
kelak mereka juga akan menggenggam impiannya.
Harapan
atau impian yang terlalu tinggi memang baik tetapi lebih baik lagi memiliki
impian berjenjang (menjadi yang terbaik dikelas, menjadi terbaik di nasional,
menjadi terbaik di internasional). Impian berjenjang atau bertahap membuat gap
antara realita dan harapan tidak terlalu besar, kesenjangan antara realita dan
harapan sangat pendek sehingga upaya keras untuk mencapainya juga lebih sistematis
dan berjenjang, ketika pencapaian berjalan sistematis seperti menaiki anak
tangga maka bukan mustahil apapun yang diimpikan akan tercapai.
Jika
suatu individu merasa memiliki krisis identitas, coba evaluasi apakah memiliki
harapan-harapan terlalu tinggi? apakah langkah-langkah mencapai impian sudah sistematis?
apakah kelebihan yang ada sudah menunjang pencapaian impian? Apakah semua
peluang dan tantangan yang ada sudah terprediksi sejak awal? Jika semua langkah-langkah
refleksi dan perbaikan sudah dilakukan masih mengalami krisis identitas maka
saatnya melakukan pelatihan “GOLDEN WAYS” nya Mario Teguh.
C.
PEMBAHASAN
1.
BUDAYA LATAH
LATAH. Sebuah peniruan
spontan yang dilakukan oleh seseorang akibat terkejut. Dr RinRin Khaltarina mengungkapkan bahwa latah memiliki
dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psikologis, dan sosial. Ada empat macam
latah yang bisa dilihat berdasarkan gejala-gejala tersebut, yaitu ekolalia
(mengulangi perkataan orang lain), ekopraksia (meniru gerakan orang lain),
koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor), dan automatic
obedience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut).
Berdasarkan fakta yang ada, gangguan latah biasanya tumbuh dalam masyarakat
terbelakang yang menerapkan budaya otoriter atau sewenang-wenang. Hasil kajian
yang dilakukan mereka bersependapat untuk mengkelaskan latah sebagai satu
sindrom budaya masyarakat setempat.
Terlepas dari sebuah popularitas
ke-latah-an, latah dapat didevinisikan sebuah peniruan terhadap aktivitas
ataupun produk yang telah dilakukan oleh pihak lain (ikut-ikutan). Di dunia
industri hiburan (terutama televisi), latah telah berkembang menjadi unit
produksi tersendiri, dimulai dengan tema sinetron, bentuk acara (diantaranya
program reality show), hingga model-model pemberitaan. Sangat sulit sekali saat
ini untuk menemukan ciri khas sebuah stasiun televisi.
Ada pula sindrom latah
pada saham-saham di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia
mayoritas berada dibawah pola pikir orang-orang asing. Orang-orang Indonesia
lebih percaya dengan ide-ide dan gagasan orang-orang asing tersebut dibanding kreativitas
sendiri. Sehingga mereka tidak merasa percaya diri untuk mengungkapkan tentang
orientasi mereka. Akhirnya orang-orang Indonesia hanya duduk dibawahan atas
kendali orang-orang asing.
Dari kelatahan yang
terjadi saat ini, sebenarnya tak lebih dari akibat miskinnya kreativitas yang
dimiliki, serta ditambah dengan tingginya budaya otoriter sebagaimana yang
telah disebutkan diatas. Semboyan “yang muda yang kreatif yang muda yang
berprestasi,” kadang mengesalkan dan memilukan sebagian kaum muda yang
kebanyakan hebat namun tak pernah menggapai prestasi maksimum. Bagaimana mencapai
keberhasilan dan kesuksesan jika kita tak tahu kemana arah dan tujuan kita
melangkah, tak mengetahui bakat diri, bahkan cenderung malu mengakui bakat yang
kita miliki, karena bakat yang tidak sesuai dengan keinginan kita untuk
berprestasi dibidang mana. Tepatnya, sebagian besar dari kaum muda lebih
menyukai arus kekinian atau malah sekedar melawan arus hanya ingin dikata
hebat. Menurut saya, tak perlu melawan arus jika arus itu sesuai dengan
kaidah-kaidah kehidupan. Hanya tetap didalam arus namun bisa dengan menggunakan
cara yang berbeda untuk dapat lebih cepat mencapai tujuan.
Orang-orang muda masa
kini, dihadapkan pada perubahan-perubahan yang sangat signifikan. Dampak dari
lahirnya globalisasi yang menciptakan kampung dunia melahirkan suasana serba
tidak menentu. Disadari maupun tidak, orang-orang muda akan dipengaruhi oleh
perubahan yang terjadi begitu cepat. Perubahan yang terjadi hampir-hampir tidak
mungkin dielakkan sangat sulit untuk mengubah keadaan. Yang dapat dilakukan
ialah bagaimana menyikapi perubahan dan menyesuaikan dengan keadaan. Atau kalu tidak
maka akan dilindas oleh perubahan zaman yang sekaligus memudarkan identitas
asli kita.
Ya, krisis identitas
itu memang penghambat kita untuk berorientasi, kita cenderung takut untuk menjadi
diri sendiri karena tak laku dipasaran. Selain itu pula, krisis identitas
disebabkan oleh latah pemikiran, dan lebih menonjolkan bayangan diri daripada
memunculkan sifat yang aslinya. Jika kita pernah membaca buku La Tahzan, didalamnya
menyebutkan bahwa tak satupun manusia sejak Adam hingga akhir zaman akan serupa
baik karakter maupun rupa dengan lainnya. Bahkan kalau kita membaca dibuku-buku
ilmu pemasaran, untuk menjual sebuah produk, tentu ada nilai lebih yang dapat
ditawarkan dibanding dengan produk lainnya.
Sampai saat ini saya
masih amat yakin dan percaya, bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Tak perlu melihat kekurangan orang lain dan dibandingkan
dengan kelebihan kita, namun gunakan kelebihan kita untuk lebih berprestasi
dalam bakat yang kita punya.
2.
KRISIS IDENTITAS
Identitas dapat diartikan sebagai
ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri. Adapun identitas yang dimaksud disini
adalah identitas atau jati diri yang menunjuk pada ciri-ciri yang melekat pada
diri seseorang maupun sesuatu. Identitas atau jati diri itu muncul dan ada
dalam interaksi yaitu adanya hubungan antara seseorang dengan orang lain.
Dengan demikian, seseorang mempunyai jati diri tertentu karena adanya pengakuan
atas keberadaannya oleh orang lain dalam interaksi tersebut. Dan jati diripun
bisa saja berbeda dari semula sesuai dengan interaksi yang telah dijalani.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
identitas atau jati diri itu diperlukan dalam interaksi maka dalam setiap
interaksi, seseorang memiliki posisi dengan menjalankan peranan-peranannya. Semakin
banyak peranan yang dimainkan dan semakin luas pergaulan seseorang dalam
kehidupan, semakin banyak pula identitas atau jati diri yang dimiliki. Oleh
karena itu, seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas.
Manakala kita membicarakan remaja
pasti kita mengandaikan kekhasan dalam kehidupan mereka, yang dapat dilihat
dari gaya hidup mereka. Maka timbullah pertanyaan, adakah suatu gaya hidup yang
dapat menyebabkan kelompok remaja menjadi terbedakan dengan kelompok lainnya
yang nonremaja, misalnya? Padahal setiap kelompok dalam masyarakat sosial tentu
memiliki gaya hidup yang khas. Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang
sebagai KTP bagi keanggotaan suatu masyarakat sosial. Untuk merangkap
gaya hidup ini dapat kita lihat dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari yang biasanya bersifat modis, cara berperilaku, sampai bahasa yang
digunakan tidak untuk tujuan berkomunikasi semata-mata, tetapi juga untuk
simbol identitas mereka.
Kemudian, yang terlihat menonjol
lainnya adalah dalam gaya bahasa yang digunakan, yaitu dialek remaja. Memang
dialek remaja tersebut memiliki kekhasan. Namun hal inilah yang menyebabkan
identitas bahasa aslinya menjadi luntur. Di Jawa misalnya, banyak sekali kaum
remaja yang kesulitan dalam menggunakan bahasa Jawa. Mereka lebih mengenal dan
memakai bahasa-bahasa yang dipandang gaul dalam kalangan mereka, dan
parahnya lagi ada remaja yang memandang kuno jika memakai bahasa daerah.
Contohnya saja remaja-remaja yang berasal dari kota-kota ngapak akan
mendapat respon yang berbeda dari kalangannya ketika sudah keluar dari kota
aslinya. Kemudian mereka mencoba beradaptasi meskipun harus meninggalkan
kekhasan mereka agar supaya diterima dilingkungan barunya tersebut. Dan
timbullah rasa tidak percaya diri dalam diri mereka jikalau masih menggunakan
bahasa asli mereka.
Rasa tidak percaya diri akan
identitas sebenarnya merupakan duri yang harus disingkirkan. Kebanyakan remaja
merasa minder dengan kawan-kawannya karena beberapa kekurangan yang ia miliki. Misalnya,
karena dia berasal dari keluarga miskin, kemudian segi fisik maupun penampilan
yang tergolong pas-pasan. Hal itulah yang membuat para remaja tidak pede dengan
menjadi dirinya yang sebenarnya, sehingga dia mengikuti pola hidup orang lain. Karena
menurut mereka, itu merupakan jalan agar mereka dapat diterima dikalangannya.
Sebenarnya percaya diri bisa
mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan. Menjadi diri sendiri atas
identitasnya. Itulah aura yang akan terpancar dari seorang yang percaya diri.
Adakalanya ketidakpercayaan diri diakibatkan kita merasa bahwa orang lain jauh
lebih baik, sementara kita tidak mempunyai kemampuan atau kelebihan. Lalu,
kitapun minder, menyalahkan atau menjelekkan diri sendiri. Padahal, kita semua
sama-sama diberi akal dan jiwa oleh Allah dengan potensi yang sama.
Untuk mengembangkan rasa percaya
diri atas identitas kita, kita bisa melakukan berbagai hal. Pertama, berpikirlah
hal-hal yang positif, hilangkan praduga, apalagi berburuk sangka. Kedua,
selalu melakukan sesuatu yang terbaik. Ketiga, berusaha fokus pada apa
yang kita cita-citakan. Dan keempat, pantang menyerah. Kemampuan kita
untuk mengembangkan diri sangat bergantung pada daya tahan kita dalam
menghadapi situasi yang sulit. Kita harus terus mengembangkan rasa percaya
diri. Bagaimana orang lain akan percaya kepada kita kalau kita saja tidak
percaya kepada identitas kita sendiri? Percayalah bahwa setiap orang mempunyai
keunikan. Oleh karena itu, jika kita merasa tidak percaya diri karena
menganggap orang lain lebih daripada kita, galilah potensi keunikan kita.
Karena setiap orang mempunyai potensi yang bisa dibanggakan.
3.
MEMBANGUN MORALITAS
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989), moral artinya ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, atau akhlak. Moral adalah istilah
yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak,
pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral/immoral (Desmita, 2011:258), tetapi
dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Melalui
pengalamannya dalam berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara,
teman atau guru).
Tahap-tahap perkembangan moral
terjadi dari aktivitas spontan dari setiap individu. Perkembangannya memang
melalui interaksi sosial, namun dalam berinteraksi memiliki corak khusus,
dimana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas individu ikut berperan.
Sehingga semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, maka akan semakin
terlihat moralitas yang lebih bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
Gejala kemerosotan moral saat ini
sudah benar-benar mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan,
tolong-menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan,
penindasan, dan saling merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menipu,
mengambil hak orang lain, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Penurunan
moral yang demikian itu lebih mengkhawatirkan lagi, karena bukan hanya menimpa
kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan dan profesinya, melainkan juga
telah menimpa kepada para pelajar generasi muda yang diharapkan dapat
melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan, dan perdamaian masa depan.
Akhir-akhir ini banyak terdengar
keluhan orang tua, pendidik, dan orang-orang yang berperan dalam bidang agama
dan sosial, berkenaan dengan ulah remaja yang sulit sekali untuk dikendalikan,
nakal, keras kepala, berbuat keonaran, maksiat, tawuran, mabuk-mabukan, pesta
obat-obat terlarang, bergaya hidup ala Eropa dan Amerika, bahkan melakukan
pemerkosaan, pembunuhan, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya. Penyimpangan-penyimpangan
yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan bangsa itu sungguh sangat
disayangkan karena telah mencoreng nama baik dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan
akhlak yang baik sebagai hasil didikan itu, justru malah menunjukkan tingkah
laku yang buruk. Lantas, adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia
pendidikan?
Seiring dengan munculnya berbagai
pertanyaan, kini bermunculan seminar-seminar yang ditujukan untuk mendapatkan
solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan pendidikan moral. Karena, moral
merupakan suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman
menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungannya dalam berinteraksi
dengan sesama manusia, dan menghindari konflik-konflik peran yang terjadi dalam
masa modern ini. Orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang
mendasarkan tindakannya atas penilaian baik atau buruknya sesuatu. Namun,
seperti yang dapat kita rasakan, perkembangan moral remaja Indonesia belum
optimal. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya ditemui remaja yang mengalami
degradasi moral. Untuk itu sangat diperlukan program-program untuk meningkatkan
tahap penalaran moral dikalangan remaja agar tidak mudah terbawa arus yang dianggap
baik atau buruk oleh masyarakat, sebab remaja-remaja sekarang akan menduduki
posisi kunci dalam masyarakat dimasa mendatang.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan
timbulnya perilaku menyimpang dikalangan remaja. Diantaranya yaitu; longgarnya
pegangan terhadap agama. Segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada
Tuhan tinggal simbol. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama,
maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Kemudian dapat
disebabkan karena kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh
keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Perilaku moral tidaklah stagnan,
tetapi perilaku moral seseorang dapat berubah dan berkembang dari waktu kewaktu
karena perilaku moral sangat erat dengan situasi, kondisi, dan lingkungan
seseorang. Perilaku moral pada dasarnya sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran
seseorang, maka untuk mengetahui moral dibalik tingkah laku seseorang tidak
dapat hanya melihat penampilannya saja.
Perkembangan moral itu bertahap,
artinya kedewasaan moral seseorang hanya dapat meningkat tahap demi tahap.
Perkembangan moral antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan. Perkembangan moral pada perempuan lebih
mengacu pada perasaan sadangkan laki-laki lebih menekankan pada penalaran. Sejumlah penelitian tokoh pendidik moral
(Sutarjo Adisusilo, 2012: 45) menyimpulkan bahwa jenis kelamin berpengaruh
secara signifikan terhadap sikap dan perilaku moral seseorang. Penelitian
tersebut setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa perkembangan dalam
membangun moralitas antara perempuan dan laki-laki tidak sama, begitu juga
dalam menghadapi persoalan-persoalan, baik yang berhubungan dengan moralitas
maupun pada aspek-aspek yang lain.
Di Indonesia, pendidikan moral sudah
lama dimasukkan dalam kurikulum melalui pelajaran seperti; PKN, pendidikan
agama, dan lain-lain. Dewasa ini bahkan sudah ada gerakan-gerakan yang akan
menyelenggarakan pendidikan karakter, setelah diketahui karakter bangsa mulai
pudar. Sekarangpun, batas-batas teritorial, cultural, dan sebagainya bukanlah
merupakan hambatan untuk kita dalam mengetahuinya. Semua itu tercipta berkat
adanya dukungan teknologi canggih dibidang komunikasi seperti; televisi,
internet, dan sebagainya. Melalui teknologi tersebut berbagai peristiwa yang
terjadi dibelahan dunia dapat dengan mudah diketahui.
Masyarakat sekarang yang tinggal
diera global ini sudah tidak bisa menyembunyikan dirinya lagi. Kemanapun ia
pergi pasti dikejar. Bagaimanakah langkah-langkah strategis pendidikan agama
dan moral dalam situasi sekarang ini? Memerhatikan uraian tentang perkembangan
moral, ada beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan, uraian dibawah ini
akan mencoba menjawabnya.
Pertama, pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan
pendidikan agama, karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan
untuk membentuk moral yang baik.
Kedua, pendidikan agama yang dapat menghasilkan pendidikan moral harus
diubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Pengajaran agama
dapat berarti mengisi anak dengan pengetahuan tentang agama, sedangkan
pendidikan agama bisa berarti membina dan mewujudkan perilaku manusia yang
sesuai dengan agama.
Ketiga, pendidikan moral dapat dilakukan dengan seluruh disiplin ilmu
pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja,
melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, logika, matematika, fisika,
biologi, sejarah, dan sebagainya.
Keempat, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral
bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti yang selama ini
ditekankan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
Kelima, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerja sama yang kompak
dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keenam, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai
sarana termasuk teknologi modern.
Dengan demikian, uraian-uraian
tersebut memperlihatkan dengan jelas, bahwa pembinaan moral erat kaitannya
dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, pendidikan agama perlu ditingkatkan
kualitasnya dengan melibatkan unsur kedua orang tua, sekolah, dan masyarakat
serta dengan menggunakan berbagai cara yang efektif.
4.
PERLUNYA PENDIDIKAN
KARAKTER
Socrates berpendapat bahwa tujuan
paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and
smart (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2012:30). Dalam sejarah islam, Rasulullah
Muhammad SAW, sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi
utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter
yang baik (good character). Berikutnya ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan
utama pendidikan tetap pada tujuan yang serupa, yakni pembentukan kepribadian
manusia yang baik. Moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan
dari dunia pendidikan. Kecerdasan disertai karakter, itulah tujuan yang benar
dari pendidikan.
Dalam islam, tentunya kita tahu
bahwa konsep pendidikan mengacu pada at-ta’lim, at-ta’dib, dan at-tarbiyah.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, istilah-istilah tersebut cenderung
lebih populer dipakai dalam praktik pendidikan islam. Padahal pendidikan karakter
haruslah berdasarkan pada nilai religious, bukan justru malah anti nilai agama.
Thomas Lickona (Abdul Majid dan Dian
Andayani, 2012:31) dalam karyanya The Return of Character Education telah
menyadarkan dunia akan urgennya pendidikan karakter dan setelah itu pula
menjadi awal kebangkitan karakter. Dan konsep pendidikan karakter yang asli di
Indonesiapun sudah ada. Konsep pendidikan karakter tersebut dapat digali dari
berbagai adat istiadat dan budaya di Indonesia, ajaran berbagai agama yang ada
di Indonesia serta praktik kepemimpinan yang telah lama diterapkan di
Indonesia. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,…” (Sutarjo Adisusilo,
2012:76).
Jika seseorang berbicara tentang
pendidikan karakter terkadang disamakan dengan pendidikan budi pekerti.
Seseorang dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai-nilai luhur
yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam
hidupnya. Hal itupun tidak jauh berbeda jika seseorang berbicara tentang
pendidikan budi pekerti. Terkait dengan nilai-nilai luhur, pendidikan di
Indonesia didasarkan pada nilai-nilai luhur pancasila. Oleh karena itu,
pendidikan nilai membantu seseorang dalam menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya.
Tidak ada yang meragukan jika
kualitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa tersebut
membangun bangsanya dari sisi kualitas pendidikan. Sebab pendidikan memang
menjadi salah satu tolok ukur penting didalam proses pengembangan sumber daya
manusia (SDM). Keberhasilan pengembangan SDM sangat tergantung kepada bagaimana
bangsa tersebut mengelola pendidikannya.
“75% orang sukses itu karena karakternya,
bukan karena kecerdasannya.” Demikianlah penuturan dari Dr. M. Sulistiyo, M.Pd.
dalam Seminar Nasional Tafsir Kurikulum Baru Pendidikan Bermutu yang
digelar di Auditorium II kampus III IAIN Walisongo Semarang. Jadi, jelaslah
bahwa tujuan utama seorang pendidik adalah menanamkan nilai-nilai luhur kepada
peserta didik. Seorang pendidik harus berbenah diri terlebih dahulu baru peserta
didik, karena pendidik adalah kunci utama dalam pendidikan karakter. Kemudian,
dipaparkan pula sebuah kisah oleh Habiburrahman El-Shirazy yang juga menjadi
pembicara pada Seminar Nasional tersebut. Dari kisah seekor singa yang tumbuh
dan berkembang bersama kambing, kita dapat mengambil hikmah atau nilai moral
bahwa pendidikan karakter juga sangat bergantung pada lingkungan tempat tinggal
kita. Semakin tidak terkendali lingkungan-lingkungan yang ada disekitar kita
semakin tidak terkendali pula karakter kita.
Dijelaskan pula oleh Habiburrahman
El-Shirazy tentang pendidikan karakter dalam islam. Dalam penjelasannya, jika
Allah SWT hendak mendidik suatu bangsa yang rusak, menghidupkan peradaban yang
sekaratdan mengembalikan kemuliaan jiwa manusia yang nyaris sirna, maka
diutuslah seorang nabi dan rasul, dan diturunkanlah kitab suci yang memberikan
pencerahan. Begitu juga, tatkala peradaban manusia akhir zaman sekarat, Allah
SWT menurunkan rasul pamungkas-Nya yaitu Muhammad SAW. dan menurunkan kitab suci
teragungnya, yaitu Al-Qur’an. Muhammad SAW. diutus untuk menyempurnakan shalihal
akhlaq dan Al-Qur’an diturunkan sebagai hudan li an-nas.
Nabi Muhammad SAW. adalah
sebaik-baiknya pendidik, karena ia dididik langsung oleh Allah SAW. Nabi
Muhammas SAW. bersabda, “Allah mendidik aku maka baguslah adab dan pekertiku.”
Dengan Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW. mendidik bangsa peradaban jahiliyah
menjadi bangsa yang berkarakter mulia, bangsa yang mampu meruntuhkan peradaban
adikuasa Romawi dan Persia. Generasi penerus para sahabat Nabi SAW. yang
dididik dengan karakter Al-Qur’an itu telah terbukti berabad-abad menjadi leader
story diatas muka bumi ini. Sampai pelan-pelan mereka meninggalkan
Al-Qur’an, maka pudarlah cahaya kegemilangannya.
Mendidik untuk mengamalkan ilmu
adalah ciri terpenting dari pendidikan karakter dalam islam. Mengamalkan ilmu
adalah adab bagi pendidik dan yang dididik. Bagi pendidik mengamalkan ilmu
adalah fardhu ‘ain, tanpanya jatuhlah predikat sebagai pendidik. Didalam
pendidikan islam, didikan mengamalkan ilmu akan menuntut para pencari ilmu
untuk memiliki adab. Pendidikan itu gagal, jika pemilik ilmu tidak memiliki
adab. Pendidikan karakter dalam islam adalah masalah pendidikan adab.
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari,
gurunya sebagian besar ulama besar di Tanah Jawa, menekankan pentingnya adab
dalam kitabnya Adab al ‘Alim Wa al Muta’allim. Bahkan kitab itu boleh
dikatakan isinya semuanya tentang adab, yaitu adab bagi guru dan murid, adab
bagi pendidik dan yang dididik. Dan sebelum Syaikh Hasyim menulis al ‘Alim
Wa al Muta’allim, seorang ulama’ pakar pendidikan Al Zarnuji, menulis kitab
tuntunan untuk para pencari ilmu, yaitu Ta’lim al-Muta’allim, kitab
tipis yang sangat terkenal dikalangan pesantren.
Dalam kitan Ta’lim al-Muta’allim
menekankan aspek nilai adab, baik adab batiniyah maupun adab lahiriyah dalam
pembelajaran. Kitab ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekedar transfer
ilmu pengetahuan, namun yang paling penting adalah transfer niali adab. Kitab yang
popular dipesantern-pesantren Indonesia ini, memaparkan konsep pendidikan islam
secara utuh. Bahwa karakter sejati itu karakter beradab, yaitu adanya
keseimbangan dan keterkaitan antara adab batiniyah dan adab lahiriyah.
D.
KESIMPULAN
Budaya latah yang populer
diIndonesia benar-benar dapat memberikan efek buruk untuk kita, khususnya para
remaja generasi penerus bangsa. Merajalelanya trend-trend yang dipandang dan
dirasa gaul menjadikan berkurangnya rasa percaya diri akan sesuatu yang
sebenar-benarnya adalah diri kita. Lebih memilih menjadi diri yang baru bahkan
menjadi orang lain itulah yang menjadi faktor pudarnya identitas kita. Maka dari
itu menanggapi problema ini sangat dibutuhkan pendidikan karakter untuk
menumbuhkan kembali identitas diri serta moralitas yang tentunya untuk
mengharumkan kembali citra bangsa dengan mengindahkan segala keunikan-keunikan
dan keaslian-keaslian yang ada didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 2010. Ideologi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Ali, Mohammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Desmita. 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Direktorat Pendidikan Madrasah Kementrian Agama. 2010. Wawasan
Pendidikan Karakter dalam Islam. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah
Kementrian Agama.
Kesuma, Dharma., et all.. 2012. Pendidikan Karakter.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ibrahim, Idi Subandy., et all.. 2007. Lifestyle Ecstasy. Yogyakarta:
Jalasutra.
Ismulcokro, C. dan J. Tito Sutarto. 2009. Berani Berfikir
Positif, Bertindak Efektif. Yogyakarta: Great Publisher.
Lathifah, Annisa. 2008. La Tahzan for Modern Muslimah.
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Mahendra, Fidi. La Tahzan for Student Membangun Kecerdasan Sang
Pemenang. Jogjakarta: A Plus Book.
Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter
Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Masruroh, Ninik dan Umiarso. 2011. Modernisasi Pendidikan Islam.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata, Abuddin. 2010. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model
Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, A.. 2004. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Mimbar Pustaka Media Transformasi Pengetahuan.
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000. Pendidikan
Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN
Jakarta Press.