Sabtu, 20 Desember 2014

PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA ANAK



PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA ANAK

Disusun Oleh:
Umi Mukaromah


I.       PENDAHULUAN
Sebagaimana terjadi pada aspek kehidupan yang lainnya, maka rasa keagamaan yang dimiliki oleh anak-anak mengalami adanya perkembangan sebagaimana hal ini terkait dengan terjadinya perkembangan pada diri seseorang secara menyeluruh. Manusia sebagai satu kesatuan, maka satu bagian tidak akan bisa dipisahkan dengan bagian yang lainnya. Perkembangan bukan merupakan proses yang berdiri sendiri, terlepas dari bagian yang lain, tetapi merupakan rentetan yang tidak putus dan saling terkait dalam satu mekanisme yang saling berpengaruh dan mempengaruhi.
Rasa keagamaan ternyata juga mengenal adanya perkembangan diri seseorang, sebab jika diperhatikan, rasa keagamaan yang dimiliki anak-anak maupun rasa keagamaan remaja akan berbeda dengan rasa keagamaan orang dewasa. Hal itu terbukti dalam kenyataan hidup sehari-hari misalnya jika kebetulan anak melakukan sholat, maka si anak tersebut lebih banyak menggantungkan dirinya kepada orang lain dengan jalan menirukan orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga tidak jarang anak-anak dalam melakukan sholat kadang-kadang berubah-ubah menurut keadaan sekitarnya. Berbeda dengan anak remaja, mereka sudah kelihatan semakin mampu membawakan dirinya dan menguasai dirinya, sehingga sholat yang dilakukan tidak mengalami adanya perubahan-perubahan seperti anak-anak. Lain halnya dengan orang yang sudah dewasa, maka dengan penuh kesadaran dan pengertian melakukan sholat sebagaimana yang ada di dalam ajaran yang telah dia pelajari dan yakini.
Berpijak pada sedikit pengantar di atas, dalam makalah ini secara khusus akan dibicarakan tentang perkembangan rasa keagamaan pada masa anak.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah tahap perkembangan beragama pada anak?
B.     Bagaimanakah proses timbulnya keagamaan pada anak?
C.     Bagaimanakah perkembangan agama pada masa anak?
D.    Bagaimanakah sifat-sifat agama pada masa anak?
E.     Apa saja hambatan-hambatan dalam perkembangan pada masa anak?
III. PEMBAHASAN
A.    Tahap Perkembangan Beragama pada Anak
Masa anak-anak adalah masa sebelum masa remaja, yaitu masa sebelum umur 12 tahun, di mana masa tersebut sebenarnya mengandung tiga periodesasi perkembangan, yaitu:
1.      Umur 0,0 – 2,0 tahun disebut masa vital. Masa vital merupakan masa perubahan jasmani yang tercepat. Pada umumnya jika anak itu normal dan sehat, maka selama enam bulan pertama, bertambah kurang lebih dua kali lipat dari berat badannya sewaktu lahir. Orang tua mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anak dan juga dalam pembentukan pribadi anak pada masa ini.
2.      Umur 2,1 – 6,0 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak terjadi perkembangan psikis yang terbesar. Menurut Konhstam pada masa ini anak mengalami perkembangan pengamatan indera yang terbesar. Anak mulai sadar akan dirinya dan mulai mengenal antara dirinya dan orang lain. Masa ini disebut orang Barat dengan masa individualisme yang pertama, yaitu suatu masa di mana anak menunjukkan kecenderungannya untuk berkeras kepala, suka menolak perintah atau saran-saran dari orang lain.
3.      Umur 6,1 – 12,0 tahun disebut masa sekolah. Masa sekolah yaitu masa di mana anak sudah mulai dianggap matang untuk mengikuti pelajaran di sekolah dasar, jika perkembangan anak tersebut normal. Adapun tanda-tanda kematangan itu antara lain:
a.       Ada kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan serta berkesanggupan untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh orang lain kepadanya walaupun sebenarnya dia tidak menyukainya.
b.      Perasaan sosial kemasyarakatan sudah mulai tumbuh dan berkembang, hal ini dapat terlihat di dalam pergaulan anak dengan teman-temannya.
c.       Telah memiliki perkembangan jasmani yang cukup kuat dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
d.      Telah memiliki perkembangan intelek yang cukup besar, hingga memiliki minat, kecekatan, dan pengetahuan.[1]
Menurut Raharjo dalam karyanya yang berjudul “Pengantar Ilmu Jiwa Agama”, perkembangan jiwa beragama pada anak terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.      The Fierly Tale Stage (Tingkat Dongeng), tahap ini terjadi pada anak berumur 3-6 tahun. Konsepnya mengenai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama, anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Cerita Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng.
2.      The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan), pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai Pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini terdapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logika, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu), pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. [2]
B.     Proses Timbulnya Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik, maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mentap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak dalam proses menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1.      Prinsip biologis
Secara fisik, anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah, dalam segala gerak dan tindak tanduknya, selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2.      Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3.      Prinsip eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pentahapan.
Menurut beberapa ahli, anak bukanlah dilahirkan sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan malahan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.[3]
C.    Perkembangan Agama pada Masa Anak
Setiap anak atau manusia mempunyai beberapa kebutuhan dasar yang berasal dari dorongan-dorongan manusiawinya, antara lain:
1.      Dorongan fisik (jasmaniah)
2.      Dorongan emosional (perasaan)
3.      Dorongan sosial (bergaul, bermasyarakat)
4.      Dorongan mental (berilmu dan berpengalaman)
5.      Dorongan spiritual (beragama, bermoral, dan sebagainya)
Dorongan-dorongan tersebut dibawa anak semenjak lahir, sehingga dengan demikian setiap anak yang normal membutuhkan hal-hal yang sifatnya jasmaniah dan berkaitan dengan kebutuhan biologisnya, untuk dapat memenuhi dan menyalurkan perasaannya, kebutuhan akan orang lain dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat, kebutuhan ilmu pengetahuan dan pengalaman termasuk kebutuhan akan agama dan moral.
Dengan demikian rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak adalah bersifat instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya. Rasa keagamaan itu ada dengan sendirinya dalam diri anak yaitu rasa pengakuan adanya kekuatan dari sesuatu di atas kekuatan dirinya dan alam.
Dalam kenyataannya, rasa keagamaan tersebut akan tergambarkan dalam diri anak sesuai dengan sifat kekanak-kanakannya yang kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan psikisnya. Mungkin saja pada awalnya dijabarkan dengan adanya rasa takut terhadap sesuatu di luar dari apa yang pernah dilihat oleh anak secara panca inderawi, atau kemudian berkembang lagi setelah anak itu berada dalam perkembangan pengamatan yang terbesar dengan menganggap sesuatu yang menakjubkan dikaitkan dengan orang-orang atau tokoh-tokoh yang selama ini banyak dikenal dalam memberikan perlindungan dan pertolongan.
Atau juga dikaitkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar atau diamatinya sehingga benda-benda yang menakjubkan atau figuran-figuran tersebut menjadi penyaluran yang efektif dari rasa keagamaannya untuk sementara. Dalam masa anak-anak semacam itu memang tidak bisa dipungkiri betapa besarnya peran orang tua dalam kehidupan anak-anak termasuk juga dalam kehidupan keagamaannya. Orang tua mempunyai peranan penting dalam membina dasar-dasar keagamaan, terutama di dalam mengarahkan, melatih, dan membiasakan kelakuan-kelakuan keagamaan. Orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyabab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Apa yang dipercaya oleh anak tergantung kepada apa yang diajarkan kepadanya oleh orang tua di rumah atau guru di sekolah, karena ia masih belum mampu berpikir secara logis, kepercayaan anak itu bisa saja bersifat kontradiksi misalnya ia percaya bahwa Tuhan itu baik, tetapi di lain pihak dapat memberikan hukuman kepada manusia.[4]
Banyak orang tua berpendapat bahwa anak-anak yang belum bersekolah adalah terlalu kecil untuk diberi pendidikan agama. Mereka masih terlalu kecil. Pikiran mereka belum waktunya memikirkan agama. Tunggu sampai mereka sudah dewasa, demikian pendapat banyak orang tua.
Pendapat ini pada umumnya tidak dibenarkan oleh para ahli pendidik zaman modern ini. Dari hasil pendidikan dikemukakan bahwa pendidikan agama sudah harus diberikan kepada anak-anak sebelum mereka bersekolah. Pendidikan agama itu akan banyak bergantung pula atas sikap orang tua itu sendiri.
Dengan lain perkataan sikap orang tua akan menentukan jenis pendidikan agama apa yang diberikan kepada anaknya. Mustahil bagi orang tua yang tidak memperdulikan agama, mengharapkan anaknya akan memperoleh dasar keyakinan agama yang baik.
Biasanya pendidikan agama yang diberikan kepada anak-anak pada masa kecil, akan bersifat menentukan bagi kehidupan agama mereka di kemudian hari. Namun ada pula kenyataan yang membuktikan bahwa semakin mereka bertumbuh dan menjadi dewasa, pikiran mereka dan sikap mereka pun akan lebih kritis lagi terhadap agama dan soal doktrin.
Hal ini mudah dipahami, karena semakin dewasa mereka akan dihadapkan kepada banyak persoalan ilmu pengetahuan, atau pergaulan sesama teman yang tidak percaya adanya Tuhan atau mereka yang tidak beragama. Apabila seorang anak sudah menerima pelajaran agama sejak kecil, yang diberikan dengan sabar dan teliti oleh orang tuanya, maka hal ini berarti bahwa ia telah dilengkapi dengan suatu kekuatan rohani untuk mengahadapi pengaruh-pengaruh anti agama yang akan dijumpainya kemudian hari. Betapa besar malapetaka yang akan menimpa kehidupan seorang anak pada masa pertumbuhan sampai ia menjadi dewasa, apabila ia sama sekali tidak diberi pelajaran agama pada masa kecilnya.[5]
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman. Dan seorang anak yang tidak mendapat pendidikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung terhadap sikap negatif terhadap agama. Hubungan anak dengan orang tuanya, mempunyai pengaruh dalam perkembangan agama anak, karena anak akan merasakan hubungan hangat dengan orang tuanya, merasa bahwa ia disayangi dan dilindungi, serta mendapat perlakuan yang baik. Mereka akan mudah menerima dan mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selanjutnya akan cenderung kepada agama.[6]
Nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelum bersekolah, akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak itu, pada masa kecil sampai ia menjadi dewasa. Mengapa terjadi banyak gejala negatif, misalnya dalam kehidupan anak dan orang muda tidak berdisiplin, sikap menentang orang tua menimbulkan berbagai kesulitan di sekolah dan sebagainya. Para ahli berpendapat bahwa yang menjadi sumber utama ialah karena orang tua telah melalaikan pendidikan rohani bagi kehidupan anak itu. Pada masa kecil mereka tidak diberi pendidikan supaya mengenal Tuhan.
Memang untuk memberikan pendidikan agama khususnya menanamkan rasa ke-Tuhanan dalam diri anak yang relatif usianya sangat muda, orang tua sedikit mengalami kesulitan karena bagi anak itu sendiri pemikiran tentang Tuhan adalah sesuatu tentang kenyataan luar, dan anak pun juga akan sedikit mengalami pengalaman yang pahit. Mereka kadang-kadang menerima pikiran tentang Tuhan setelah lebih dulu ia ingkari dan penuh keraguan, oleh sebab itu mulai umur 3 sampai 4 tahun kurang lebih anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang ada hubungannya dengan agama, misalnya: Siapa Tuhan itu? Di mana surga dan bagaimana cara pergi ke sana? Dan anak memandang alam ini seperti memandang dirinya, belum ada pengertian yang metafisik. Sampai sekitar umur 7 tahun, perasaan si anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif, yaitu takut, menentang dan ragu. Dia berusaha untuk menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, sedang gambarannya terhadap Tuhan pada dasarnya negatif, yaitu takut, menentang, dan ragu. Dia berusaha untuk menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, sedang gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya. Tuhan bagi mereka hidup sebagai kehidupan manusia biasa. Dia memahami sesuatu yang diajarkan kepadanya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dalam batas pengalamannya.
Setelah anak mencapai umur lebih 7 tahun maka pandangan anak tentang Tuhan semakin positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi dengan rasa percaya dan rasa aman, sehingga sedikit demi sedikit kegelisahan yang dirasakan oleh anak semakin menipis, dan anak-anak betul-betul ingin mengetahui rahasianya. Sampai kira-kira umur 8 tahun hubungan anak-anak dengan Tuhan adalah hubungan individual, hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat, yang dibayangkan dengan cara sendiri. Adapun kepercayaan tentang Tuhan dan keyakinan yang diajarkan oleh lingkungannya pada umur ini, belum betul-betul menjadi bagian dari pembinaan pikirannya, kecuali pada usia yang lebih besar lagi.
Dasar yang sudah ada di dalam diri anak dalam mengenal Tuhan dapat dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman dan latihan, yang pada saatnya anak itu sendiri nanti akan memperoleh keyakinan yang dapat diterimanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Berdasarkan gambaran psikis pada masa anak-anak, maka dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran anak tentang Tuhan bukanlah keyakinan sebagaimana yang terdapat pada diri orang dewasa, atau satu hipotesa, tetapi sikap emosi yang lebih dekat pada kebutuhan jiwa anak dan pemikiran tentang Tuhan adalah pemuasan dari kebutuhan si anak akan seorang pelindung.[7]
Dengan demikian maka di dalam penjabarannya kita melihat berbagai tingkah laku anak dan juga di dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada orang di sekitarnya ataupun juga di dalam lukisan kata-kata mereka. Yang kesemuanya itu merupakan penyaluran yang efektif bagi anak sebagai penyebab dari keraguan yang selama ini dialami. Dalam saat-saat demikian inilah pengaruh luar mempunyai perasaan yang sangat menentukan pola keagamaan anak, dan perkembangan rasa keagamaannya untuk masa-masa yang akan datang.[8]
D.    Sifat-Sifat Agama pada Masa Anak
Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritas, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh fakrot dari luar diri mereka. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.      Unreflective (tidak mendalam). Anggapan anak terhadap ajaran agama dapat mereka terima dengan tanpa kritik. Karena anggapan mereka tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.[9]
2.      Egosentris. Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Dengan demikian, semakin bertumbuh, semakin mengingkat pula egoisnya.
3.      Antromorpis. Konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Mereka menganggap bahwa keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4.      Verbalis dan Ritualis. Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan. Mereka juga melaksanakan tuntunan yang diajarkan.
5.      Imitatif. Dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan atau pun pengajaran yang intensif.
6.      Rasa heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan kreatif sebagaimana orang dewasa.[10]
Ringkasnya, masa anak-anak merupakan periode yang dinamis secara psikologis maupun religius. Anak-anak memiliki kemampuan yang luar biasa dalam meniru perilaku orang dewasa. Tetapi pada umumnya anak memasukkan ke dalam pikiran, perasaan, dan kehendaknya apa yang didengar dan dilihatnya sesuai dengan kemampuannya. Menerima agama masa anak dan memberi keleluasaan kepada mereka untuk bebas ikut serta dalam kegiatan umat yang diikuti oleh semua anggota dari segala umur, dapat menjadi cara untuk menyiapkan mereka dalam peziarahan menuju kedewasaan religius.[11]
E.     Hambatan-Hambatan dalam Perkembangan pada Masa Anak
Di dalam menuju kedewasaan beragaman, maka akan terjadi hal-hal yang kadang-kadang mengganggu perkembangan pada anak. Perkembangan memerlukan waktu, karena kedewasaan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Dan juga perkembangan tersebut tidaklah monoton, tetapi banyak variasi secara berirama dijumpai di dalamnya. Menurut M. Hafi Anshari dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama” menyebutkan dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan, yaitu:
1.      Faktor diri sendiri
Dalam hal ini ada dua yang menonjol yaitu kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas diri berupa kemampuan ilmiah (ratio) dalam menerima ajaran-ajaran agama. Di sini akan terlihat perbedaan antara anak yang mampu dan kurang mampu dalam menerima agama. Bagi yang mampu menerima dengan rationya, mereka akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama itu dengan baik.
Namun lain lagi dengan anak yang kurang mampu menerima dengan rationya, dia akan lebih banyak terganggu kepada kondisi masyarakat yang ada. Dalam keaktifan berbuat melakukan perbuatan religious sebenarnya mereka penuh keraguan dan kebimbangan, sehingga apabila terjadi perubahan-perubahan, maka perubahan tersebut tidaklah melalui prose berpikir sebelumnya, tetapi lebih bersifat emosional.[12]
Di samping kemampuan rasional, kemampuan emosional juga akan berpengaruh terhadap perkembangan rasa keagamaan anak, seperti dihinggapi rasa enggan untuk mengerjakan kelakuan-kelakuan keagamaan atau keengganan merubah dari sesuatu yang sebenarnya tidak diyakini (ragu) kepada yang tidak diragukan karena rasa solidaritas yang terlalu besar.
Termasuk juga faktor diri sendiri adalah pengalaman yang dimiliki. Semakin banyak dan luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan kelakuan-kelakuan religius, tetapi bagi anak yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit maka dia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan kepada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil. Sehingga perkembangannya akan lebih bersifat statis.
2.      Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor luar antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur kemasyarakatan yang sudah dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Kadang-kadang tradisi itu sendiri tidak ketemu dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.[13]
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak bersifat instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya. Meskipun seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah, peran orang tua sangat pengaruh dalam perkembangan agama pada anak. Orang tualah yang menentukan jenis pendidikan agama apa yang diberikan kepada anaknya. Bagi orang tua yang tidak memperdulikan agama namun mengharapkan anaknya akan memperoleh dasar keyakinan agama yang baik, hal itu tidak memungkinkan.
Selain ditentukan oleh peran orang tua, perkembangan agama pada anak juga sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman. Seorang anak yang tidak mendapat pendidikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung terhadap sikap negatif terhadap agama. Dengan demikian nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelum bersekolah, atau sebelum mereka remaja akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak itu, sampai ia menjadi dewasa.
V.    PENUTUP
Demikian penjelasan tentang “Perkembangan Anak pada Masa Anak”. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dalam menambah wawasan keilmuan dan bagi penulis dalam rangka beramal jariyah. Penulis menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi tegaknya kebenaran dan menghindari mudharat yang ditimbulkan dari kesalahan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, M. Hafi. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
Crapps, Robbert W. 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisius.
Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Raharjo. 2002. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki Putra.


[1] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 69-70.
[2] Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 28-29.
[3] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 64-65.
[4] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 70-71.
[5] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 72.
[6] Prof. Dr. Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm 59.
[7] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 72-73.
[8] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 75.
[9] Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 68.
[10] Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 69-71.
[11] Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 22.
[12] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 97-98.
[13] Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 99.