Senin, 24 Juni 2013

SISTEM POLITIK INDONESIA



SISTEM POLITIK INDONESIA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Syamsul Ma’arif M.Ag
Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg
Oleh:
Umi Kulsum                123111156
Umi Mukaromah         123111157
Putri Damayanti          123111130


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
       I.       PENDAHULUAN
Pendidikan politik dapat dan sering di gunakan sebagai alat untuk melegitimasi ataupun melanggengkan sistem dan struktur sosial politik yang ada. Namun sebaliknya pendidikan politik juga dapat memainkan peran yang penting untuk suatu perubahan atau transformasi sosial politik menuju ke sistem yang lebih demokratis dan adil. Dengan demikian posisi peran pendidikan politik sangat bergantung pada paradigma ataupun ideologi yang di anut dan mendasari suatu kegiatan politik. Kita memahami politik itu sebagai keseluruhan sikap, perilaku dan perbuatan kita dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang di landasi nilai-nilai pancasila, dan dalam lembaga-lembaga serta struktur yang di sepakati dalam konstitusi kita, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dengan demikian politik itu bersifat dinamis, mampu memperbaharui diri sesuai dengan perkembangan zaman.

    II.       RUMUSAN MASALAH
A.  Apakah pengertian sistem politik?
B.  Bagaimanakah budaya politik di Indonesia?
C.  Bagaimanakah politik demokrasi di Indonesia?
D.  Bagaimanakah partai politik di Indonesia?

 III.       PEMBAHASAN
A.  Pengertian Sistem Politik
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi. Dan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang artinya negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam negara atau kehidupan negara.[1] Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara, dan organisasi kemasyarakatan.[2] Jadi dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Definisi sistem politik
Ø  Menurut Drs. Soekarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan hubungan negara dengan negara.
Ø  Menurut Rusadi Kartaprawira, sistem politik yaitu mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langgeng.

Sistem politik di Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya- upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga- lembaga negara yang tersebut dalam konstitusi negara termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam penyusunan keputusan- keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur politik (lembaga- lembaga negara) sehingga memudahkan terwujudnya cita- cita tujuan masyarakat atau negara. Lembaga- lembaga tersebut diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Lembaga- lembaga ini yang akan membuat keputusan- keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

B.  Budaya Politik di Indonesia
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell mendefinisikan bahwa budaya politik adalah bisikan sikap, keyakian, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Beberapa substansi dari budaya politik adalah sebagai berikut :
·      Konsep budaya politik lebih mengedepankan berbagai perilaku non aktual ketimbang berbagai perilaku aktual. Perilaku non aktual misalnya adalah orientasi, sikap, nilai, dan kepercayaan-kepercayaan.
·      Hal- hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik. Ini artinya pembicaraan tentang budaya politik tidak bisa lepas dari pembicaraan sistem politik.
·      Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen- komponen budaya politik dalam tataran masif atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan perindividu.

Bangsa-bangsa yang sedang berkembang diperkenalkan dengan dua model partisipasi politik modern yang saling berbeda, yaitu yang bersifat demokratis dan totaliter. Negara demokratis memberi orang-orang awam suatu kesempatan untuk mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan politik sebagai warga negara yang berpengaruh. Adapun negara yang totaliter memberikannya “tugas partisipan”. Kedua model itu mempunyai daya tarik bagi bangsa-bangsa baru, yang mana diantaranya akan berhasil jika terjadi perpaduan antara keduanya.[3]
Sebenarnya pengertian budaya politik membawa kita ke suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi pada tingkat individu atau yang bersifat individual itu tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu, yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual. Lebih jauh Almond dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang obyek politik terdapat tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif dan evaluatif. [4]
Klasifikasi atau tipe-tipe budaya politik menurut uraian Almond dan Verba adalah sebagai berikut:
·      Budaya politik parokial. Artinya masyarakat pada budaya ini mengalami proses apriori terhadap persoalan-persoalan politik atau bahkan lebih ekstrimnya “ apolitik “.
·      Budaya politik subjek atau kaula. Disini terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipasi yang aktif, mendekati nol.
·      Budaya politik partisipan. Yakni, suatu bentuk kultur yang anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem berbagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.[5]

C.  Politik Demokrasi di Indonesia
Dalam negara republik Indonesia, keterbukaan bukanlah suatu ideologi. Bila keterbukaan menjadi ideologi, semua hal dapat dikorbankan. Sebaliknya, keterbukaan hanyalah merupakan wahana yang diperlukan agar demokrasi dapat berfungsi dengan semestinya. Keterbukaan adalah salah satu unsur demokrasi, bukan satu-satunya. Oleh sebab itu, keterbukaan dalam budaya politik di Indonesia akan diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Demokrasi pancasila yang bertitik tolak dari sila ke empat pancasila adalah suatu demokrasi yang norma-norma pokoknya telah diatur dalam UUD 1945. Karena pancasila merupakan suatu kebulatan utuh, sila ke empat itu akan selalu dijiwai dan di integrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa Demokrasi Pancasila akan terjabarkan atau terlaksana secara baik jika disertai pula dengan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berarti pula bahwa Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat serta martabat manusia dan memperkokoh nilai-nilai kesatuan bangsa. Kesemuanya itu dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.[6]
Dewasa ini, wacana transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi secara bersamaan, makin menguat ke permukaan seiring dengan mulai berjatuhannya rezim-rezim komunis, rezim militer dan rezim-rezim otoriter lainnya. Ini artinya, proses transisi sekaligus proses konsolidasi demokrasi telah menemukan momentumnya. Menurut Anas Urbaningrum paling tidak ada beberapa agenda untuk memperpendek periode transisi dan segera memasuki periode konsolidasi demokrasi, khususnya untuk kasus Indonesia, yakni sebagai berikut :
1.   Pembangunan sistem kepartaian yang mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang sehat dan fungsional.
2.   Penyelenggaraan pemilu yang semakin demokratis, baik untuk memilih wakil-wakil rakyat di parlemen maupun untuk memilih pejabat eksekutif, pada tingkat nasional maupun lokal.
3.   Memperjelas dan mematangkan hubungan sipil-militer yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
4.   Melanjutkan proyek otonomi daerah yang melahirkan hubungan pusat-daerah yang produktif dan adil.
5.   Pengembangan perilaku kepemimpinan pada berbagai tingkatan pemerintahan, yang terbukti, toleran, bermoral, taat hukum, dan patuh pada konstitusi.
6.   Pengembangan budaya politik demokrasi yang berakar pada egalitarianisme dan pluralisme.[7]

D.  Partai Politik di Indonesia
Partai politik adalah sebuah organisasi sosial politik yang dibentuk oleh sejumlah warga masyarakat berdasarkan sejumlah cita-cita, kehendak, dan idealisme, sebagaimana yang dijamin dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia. Sebuah partai politik memiliki kebebasan penuh untuk menganut ideologi apapun yang disepakati bersama. Kedaulatan partai politik berada di tangan anggotanya masing-masing, yang secara kelembagaan biasanya disalurkan melalui kongres anggota. Tiap-tiap partai politik mempunyai ciri masing-masing berdasarkan ideologi, tujuan dan programnya. Dalam ilmu politik, partai politik mempunyai fungsi-fungsi pokok seperti fungsi agresi kepentingan, fungsi artikulasi kepentingan, fungsi komunikasi politik, dan fungsi mobilisasi politik. Berbagai fungsi tersebut tentunya belum tentu dijalani sepenuhnya oleh suatu partai politik.[8]
Selain gerakan politik, dewasa ini salah satu wajah yang menjadi fenomena dan menjadi gejala serba hadir dalam setiap komunitas masyarakat atau negara adalah gerakan sosial ( social movement ) ataupun gerakan sosial baru ( new social movement ). Gerakan ini, dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan dan perubahan, baik orientasi maupun model gerakan. Hal ini karena mereka mengikuti isu sosial yang cenderung berubah-ubah pula. Perbedaan gerakan sosial dengan partai politik terletak pada ciri-cirinya.[9]
Seperti di ketahui bersama semua partai politik yang ada di Indonesia semenjak awal tahun-tahun kemerdekaan adalah miskin dana. Dana yang tersedia banyak berada disektor birokrasi pemerintah yang berkewajiban mengelola dan mempertanggung jawabkan secara baik dan benar kepada rakyat. Selain itu dalam birokrasi pemerintah yang strukturnya mulai dari pusat pemerintahan sampai ke struktur di bawah di desa-desa di tempati oleh sumber daya manusia yang besar sekali. Sumber daya manusia ini bisa di rebutkan untuk mendukung partainya.
Upaya untuk merebut posisi para departement-departement tertentu merupakan program partai yang tidak terang-terangan tampil di permukaan akan tetapi merupakan minat yang paling besar. Di tilik dari pemikiran yang sederhana ini, maka upaya partai politik mempengaruhi, menguasai, dan mengeksploitasi birokrasi pemerintah beserta sumber-sumbernya untuk kepentingan partainya. Birokrasi pemerintah akan senantiasa menjadi incaran partai politik yang berkuasa untuk membangun bangunan politiknya.[10]
Partai politik di Indonesia senantiasa berpijak pada lima aliran besar yang melingkupi nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialis Demokrat, dan Komunisme, meskipun dalam perjalanannya mengalami ‘kembang kempis’ (fluktuatif). Kelima aliran ideologi tersebut pada pemilu 1955 cenderung mewarnai empat partai besar pemenang pemilu, yakni PNI, MASYUMI, NU, dan PKI. Dengan fenomena empat parpol tersebut terjadi perdebatan yang berkepanjangan dalam menentukan konstitusi Indonesia, apakah bersifat sekuler atau Islam.
Pemilu yang berlangsung diera Soeharto (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) menjadi tidak menarik karena menggunakan proporsional tertutup dan penyederhanaan parpol peserta pemilu menjadi tiga partai (GOLKAR, PPP, dan PDI). Dan lengsernya Soeharto merupakan cikal bakal lahirnya Pemilu 1999 yang membuka kembali penghargaan terhadap kemajemukan politik yang telah lama hilang. Sebelum pemilu 1999, ideologi dikalangan parpol bercorak elitis-populis (atas-bawah) dan pro-Orde Baru- anti Orde Baru (kanan-kiri).[11]

 IV.       SIMPULAN
Sistem politik di Indonesia merupakan kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya- upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Budaya politik membawa kita ke suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Namun tingkat individu atau yang bersifat individual itu tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politik kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme.
Sebuah partai politik memiliki kebebasan penuh untuk menganut ideologi apapun yang disepakati bersama. Kedaulatan partai politik berada di tangan anggotanya masing-masing. Tiap-tiap partai politik mempunyai ciri yang berbeda berdasarkan ideologi, tujuan dan programnya masing-masing. Untuk mencapai sistem politik yang ideal maka sangat diperlukan adanya pengembangan perilaku kepemimpinan pada berbagai tingkatan pemerintahan, yang terbukti, toleran, bermoral, taat hukum, dan patuh pada konstitusi. Selain itu pembangunan sistem kepartaian yang mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang sehat dan fungsional juga sangat urgen.

    V.       PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.













DAFTAR PUSTAKA

Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin. 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Budiarjo, Mariam., et all. 2003. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Gramedia.
Fakih, Mansour., et all. 1999. Panduan Pendidikan Politik untuk Rakyat. Yogyakarta: Institut for Social Transformation.
Gatara, A.A. Said dan Moh Dzulkiah Said. 2007. Sosiologi Politik. Bandung: CV Pustak Setia.
Murshadi. 1999. Ilmu Tata Negara. Bandung: Rhineka Putra.
Pickles, Dorothy. 1991. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta.
Pilihan Artikel Prisma. 1991. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.



[1] Mariam Budiarjo, et all., Dasar-Dasar Ilmu Politik (Gramedia, 2003), hlm.8
[2] Murshadi, Ilmu Tata Negara (Bandung: Rhineka Putra, 1999), hlm.31
[3] A.A Said Gatara, M.Si. dan Moh. Dzulkiah Said, M.Si., Sosiologi Politik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007 ), hlm. 237-240
[4] Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1991),  hlm. 21
[5] A.A. Said Gatara, M. Si. dan  Moh. Dzulkiah Said, M. Si., op.cit., hlm. 243-244
[6] Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, op.cit., hlm. 129-130
[7] A. A. Said Gatara, M. Si. dan  Moh. Dzulkiah, M. Si., op.cit., hlm. 195-199
[8] DR Mansour Fakih, et all., Panduan Pendidikan Politik untuk Rakyat (Yogyakarta: Institut for Social Transformation, 1999 ), hlm. 52-54
[9] A.A. Said Gatara, M.Si., op.cit., hlm. 223
[10] Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA, Birokrasi dan Politik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003 ), hlm. 178-179
[11] A.A. Said Gatara, M.Si., op.cit., hlm. 231-233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar