HERMENEUTIKA SEBAGAI AKSIOMATIKA
(Hermeneutika
terhadap Al-Qur’an)
Disusun Oleh:
Umi Mukaromah
I.
PENDAHULUAN
Allah menurunkan wahyu untuk dijadikan petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an
adalah kitab suci yang memiliki dasar yang autentik. Di dalamnya berisi
firman-firman Allah secara langsung yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril. Dari penjelasan ini mampukah kita menerapkan teori
hermeneutika terhadap Al-Qur’an? Sementara dalam teori ini, kita dituntut untuk
jangan percaya penuh kepada pengarangnya. Kemudian curiga terhadap latar belakangnya.
Kita pun jangan jatuh pada sumber utama dan harus mengkritisinya. Bagaimana
cara kita mencurigai Allah sebagai pengarang dari Al-Qur’an? Selain itu, Nasr
Hamid Abu Zayd menggagas bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya, apa maksud dari
pemikiran ini?
Bertolak dari Al-Qur’an, Allah juga menurunkan beberapa kitab suci
sebelum Al-Qur’an. Di antaranya kitab suci tersebut adalah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Apakah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki dasar yang
autentik sebagaimana dengan Al-Qur’an? Bagaimana pula penerapan teori
hermeneutika terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bila dibandingkan
dengan Al-Qur’an? Di dalam paper ini, penulis mencoba memecahkan permasalahan-permasalahan
tersebut dengan menerapkan hermenutika di dalam Al-Qur’an, kemudian melakukan
studi komparasi terhadap Al-Qur’an, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Penulis juga menawarkan hermeneutika Al-Qur’an mampu memberi warna lain
terhadap konstruksi pemikiran tentang Al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh
Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Fazlur Rahman.
II.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Hermeneutika
Sebenarnya
tidak mudah untuk memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang hermeneutika
hanya dalam rentetan satu dua kalimat. Kata hermenutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Pengasosiasian hermeneutika
ini memiliki tiga unsur, yaitu (1) tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber
atau bahan dalam penafsiran; (2) perantara atau penafsir; (3) penyampaian pesan
itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Jika melihat terminologinya, kata hermeneutika bisa diderivikasikan ke dalam
tiga pengertian;
1.
Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemah dan tindakan
sebagai penafsir.
2.
Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak
diketahui, ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3.
Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk
ungkapan yang lebih jelas.
Untuk lebih
memudahkan pemahan tentang hermenutika, ada baiknya secara definitif ditegaskan
tiga perbedaan hermeneutika sebagaimana yang dijelaskan oleh Ubaidillah Ahmad,
yaitu:
1.
Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
Hermeneutika jenis ini adalah hermeneutika teoritis. Dalam
klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman
yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu?
Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi
awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka
hermeneutika ini merekomendasikan pemahan konteks sebagai salah satu aspek yang
harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif.
2.
Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman
Hermenutika jenis kedua ini melangkah lebih jauh ke dalam dataran
filosofis. Fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar bisa mendapatkan
pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi
manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya, sosiologisnya,
historisnya, dan aspek yang lainnya. Hermeneutika ini lebih tepatnya
didefinisikan sebagai “pemahaman terhadap pemahaman”.
3.
Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Dalam hermeneutika ini dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu
horison pengarang, horison teks, dan horison penerima atau pembaca. Sementara
secara prosedural, langkah kerja hermeneutika ini menggarap wilayah teks,
konteks, dan kontekstualisasi. Hermenutika jenis pertama dapat dikatakan
menekankan proses pemahaman dalam dua horison, yaitu horison pengarang dan
horison teks, yang berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami oleh
pengarangnya dan kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang sebagai
pemaknaan yang paling akurat terhadap teks. Sedangkan hermeneutika jenis kedua
dan ketiga memfokuskan pada horison pembaca, karena pengarang tidak mampu
menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya, sehingga
teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk dipahami dan dihayati seperti
apapun keinginannya.
Dari kasus yang
muncul sebagaimana tertulis dalam pendahuluan, perlu kita ketahui terlebih
dahulu bahwa hermeneutika bukan hanya berarti sebuah ilmu interpretasi, yakni
suatu teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan
wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses
wahyu dari huruf sampai kenyataan, dan juga transformasi wahyu dari pikiran
Allah kepada manusia. Proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara
yang pertama adalah kritik historis, yaitu yang menjamin keaslian kitab suci
dalam sejarah. Tanpa ada kepastian secara historis asli, pemahaman tidak akan
mungkin terjadi. Bila pun terjadi, maka pemahaman tersebut akan menjerumuskan
pada kesalahan karena di pahami dari teks yang bukan asli.
Apa yang
dilakukan oleh Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Fazlurrahman adalah
contoh-contoh bagaimana mengolah Al-Qur’an dengan hermeneutika. Hermeneutika pada
dasarnya merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa
dan kemudian melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya menarik makna
yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut
dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan Al-Qur’an, maka persoalan
dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir di tengah
masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan
dinamika realitas historisnya.
Menentukan keaslian
historis kitab suci menjadi sebuah dasar yang kuat dalam proses pemahaman. Di
sinilah hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam artinya yang paling
tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang
melahirkan kitab-kitab suci itu. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks
tersebut kita memasuki langkah ketiga, proses menyadari hidup ini dalam
kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir wahyu Allah. Dalam bahasa
fenomenologis dapat kita katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan
hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab-kitab suci. Mula-mula
kita memiliki kesadaran historis, yang menentukan keaslian teks dan tingkat
kepastiannya. Kedua, kita memiliki kesadaran eidetik, yang menjelaskan makna
teks dan menjadikan rasional. Ketiga adalah kesadaran praksis yang menggunakan
makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada
tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai struktur ideal
yang mewujudkan kesempurnaan dunia.
B.
Kritik Sejarah
Keaslian sebuah kitab suci tidak dijamin oleh adanya takdir Allah,
tidak pula tercipta oleh keyakinan, pemuka agama, atau lembaga agama manapun.
Tetapi keaslian kitab suci didasarkan pada kritik sejarah. Dalam Al-Qur’an ada
dua jenis kata, pertama adalah kata-kata yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad oleh Allah melalui Malaikat Jibril. Kata-kata ini merupakan wahyu in
verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Wahyu
ini tidak melewati masa pengalihan secara lisan, tapi ditulis pada saat
pengucapannya. Tak satupun kitab suci dalam tradisi sejak Taurat yang memenuhi
persyaratan ini kecuali Al-Qur’an. Kitab Perjanjian Lama melewati berabad-abad
cara pengalihan lisan. Kitab Perjanjian Baru melewati satu abad pengalihan
lisan. Hanya Al-Qur’anlah yang ditulis pada saat diturunkannya. Pada pengalihan
melalui tulisan, teks-teks ini harus berisi kata-kata yang secara harfiah sama
dengan yang diucapkan Nabi. Sementara sumber-sumber tertulis dari Perjanjian Baru
tidak diketahui secara kritis. Baik penulis-penulisnya, jumlahnya,
pengalihannya dari tangan ke tangan, keutuhannya, dan sebagainya.
Fungsi Nabi adalah menyampaikan firman Allah (in verbatim),
sebagai alat komunikasi murni tanpa ada campur tangan apapun di pihaknya, baik
menyangkut bahasa maupun gagasan-gagasan di dalamnya. Karena Al-Qur’an adalah in
verbatim maka teksnya harus ditulis dalam bahasa yang sama dengan bahasa
aslinya. Menilik pada kitab-kitab Perjanjian Lama, yaitu direkam dalam bahasa
Ibrani, kecuali beberapa ayat dalam bahasa Aramaia dan Chaldea. Masalahnya
menjadi lebih serius lagi dalam kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak pernah mengenal
bahasa Yunani atau Latin. Dari hal itu, kita harus membuka kembali kitab
Perjanjian Baru yang berbahasa Aramaia, dan penafsiran yang dibuat harus berdasarkan
bahasa asli. Begitu pula dengan penerapan aturan-aturan gramatikalnya.
Hermeneutika baru mulai berfungsi setelah Nabi menyampaikan wahyu,
dan kritik sejarah menjamin keaslian firman Allah. Hermeneutika tidak berurusan
dengan sifat hubungan antara Allah dan Rasul-Nya dan bagaimana Nabi menerima
wahyu tersebut, melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah ini
dan disampaikan dari satu orang ke orang lain. Keutuhan Al-Qur’an yang disimpan
dalam bentuk tulisan tidak terdapat pada kitab Injil, sebab yang diucapkan
Yesus jauh lebih banyak daripada yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk
tulisan. Semua kata-kata yang terkandung dalam Injil yang tidak disucikan dan
dalam kumpulan tulisan kaum Yahudi dan Kristen awal yang tidak terdapat dalam
Injil, harus dipertimbangkan kembali untuk mencari keutuhan wahyu.
Yang kedua adalah kata-kata yang diucapkan Nabi atau yang
sering kita sebut dengan hadits, yang bukan didiktekan oleh Allah melalui
Malaikat, melainkan datang dari Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan
atau memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tepat harus dilakukan, agar
sesuai dengan maksud Allah. Di dalam Al-Qur’an, hadits yang diucapkan oleh Nabi
tidak dituliskan, tapi disendirikan. Hadits-hadits demikian dituliskan dalam
kitab-kitab yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits.
Dalam Injil, kedua pola kata-kata ini bercampur baur. Dalam kitab
Perjanjian Lama kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah kata-kata yang
diucapkan Yesus merupakan wahyu in verbatim yang diucapkan oleh Allah
kepada Yesus melalui Roh Kudus ataukah kata-kata Yesus sendiri yang
mengungkapkan wahyu Allah. Percampuran antara kedua pola ini menyulitkan kita
untuk menentukan wahyu yang in verbatim.
Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua digunakan, maka
mulailah peran tardisi dan masyarakat. Sebagaimana buah pemikiran Nasr Hamid
Abu Zayd, beliau menyatakan bahwa المنتاج الثقافى yaitu Al-Qur’an adalah produk budaya. Di sini
Nasr Hamid Abu Zayd menegaskan pada sebuah kesimpulan bahwa Al-Qur’an berasal
dari latar belakang budaya pada masa itu, bukan berarti Al-Qur’an berasal dari
budaya. Perlu digaris bawahi bahwa Al-Qur’an dibuat dari realitas, sedangkan
pemahaman Al-Qur’an dibuat oleh bahasa dan kebudayaan.
Nah, dari peran tradisi atau budaya ini, kitab-kitab suci
memberikan status bagi contoh kasus yang mereka hadapi, dan contoh kasus ini
akan membangkitkan kesadaran penalaran masyarakat untuk menghadapi kasus baru
yang serupa. Dengan demikian, budaya terjadi karena kesepakatan masyarakat. Budaya
bukanlah satu sumber yang berdiri sendiri, tapi merupakan refleksi terhadap
kitab suci. Kesepakatan masyarakat tersebut dijamin oleh kebenaran yang
obyektif dan wahyu yang universal.
Dalam kitab Injil, pembedaan antara kitab suci dan budaya tidak
tampak. Kitab Perjanjian Lama merupakan penyatuan sejarah bangsa Yahudi, berisi
hukum-hukum, ramalan, tulisan-tulisan keramat, kearifan-kearifan, dan
sebagainya. Walaupun kita andaikan kitab Perjanjian Lama sebagai kitab suci dan
kitab Talmud sebagai rangkuman tradisi,
kitab tersebut tetap bukan merupakan renungan terhadap masalah-masalah baru
yang didasarkan pada contoh kasus, tapi lebih merupakan suatu penambahan yang sesungguhnya
dan serta sebuah sumber yang berdiri sendiri. Demikian pula dalam kitab
Perjanjian Baru, pembedaan antara kitab suci dan tradisi tidak ada.
Perkataan para sahabat Nabi bukan bagian dari kitab suci melainkan
dari budaya, yang bisa diterima atau ditolak bardasarkan kesamaan atau
perbedaannya dengan kitab suci. Perkataan-perkataan itu merupakan
penafsiran-penafsiran awal yang dilakukan oleh sahabat Nabi, yang dapat
diperbaiki langsung oleh Nabi sendiri jika terjadi kesalahan. Penafsiran awal
sudah pasti terbebas dari penambahan-penambahan dan penjelasan-penjelasan
tambahan seperti yang menjadi budaya pada masa sesudahnya. Hal ini jelas
terjadi dalam kitab Perjanjian Baru, kisah para Rasul yang ditulis oleh Lukas,
dan wahyu yang ditulis oleh Yohanes adalah bagian dari budaya, karena pada
waktu penulisannya, Yesus telah wafat sehingga tidak mampu membenarkan jika
terjadi kesalahan.
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul “Dialog Agama dan
Revolusi” mengungkapkan bahwa pada akhirnya Al-Qur’an membuat proposisi kritis
yang diakui oleh semua kritikus Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Mereka
mengakui bahwa kitab-kitab suci terdahulu bukan merupakan firman Allah in
verbatim, yakni satu-satunya ukuran standar keaslian pengalihan wahyu
sepanjang sejarah. Semua sarjana Kristen, baik ahli arkeologi maupun sejarah
menyatakan bahwa tidak terdapat kepastian mutlak tentang kitab Injil yang ada
di tangan penganutnya sekarang, baik yang ditulis dalam bahasa Ibrani atau
Aramaia, Yunani atau Latin, Syiria atau Coptic, Armenia ataupun Etiopia, sama
dengan wahyu yang diucapkan pertama kali.
Kita dapat mengambil sebuah contoh dalam kitab Talmud disebutkan
bahwa semua tradisi lisan yang berisi wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi
Musa di Bukit Sinai, tidak ada yang masuk ke dalam Injil. Banyak yang
dihilangkan dan dialihkan secara lisan sampai abad ke-5 masehi. Hal ini berarti
pula bahwa kitab Injil merupakan wahyu yang tidak lengkap, mungkin lebih atau
mungkin kurang. Kasus yang sama terjadi pula dalam kitab-kitab Markus, Lukas,
Yohanes, dan Matius, walaupun jauh lebih mudah karena masa pengalihan lisan di
sini tidak melebihi satu abad, atau paling banyak dua abad.
Semua ini menyebabkan kualitas kisah di dalamnya jadi meragukan.
Teori tentang wahyu yang mendapatkan data-data tentang hal yang diwahyukan
dengan menyimpulkan dari perbuatan orang atau dari Kejadian adalah suatu
pembenaran terhadap hilangnya ucapan atau kata-kata wahyu yang sebenarnya.
Selama tiga tahun masa tugasnya, Yesus Kristus tentunya telah berbicara lebih
banyak daripada yang dicantumkan dalam keempat kitab dalam Injil tersebut.
Keempat kitab ini mengesampingkan kitab-kitab lain yang tidak mengakui dengan
jelas ketuhanan Kristus seperti Injil Thomas, Barnabas, Peter, dan sebagainya.
Dengan demikian, keraguan kita terhadap keaslian kitab suci sebelum
Al-Qur’an dapat dimengerti. Karena wahyu di dalamnya tidak dipertahankan in
verbatim, kemungkinan untuk terjadinya kesalahan sangatlah besar, seperti
adanya pengubahan, pengurangan, penambahan, penghapusan, penyisipan,
kekhilafan, dan sebagainya. Kesalahan ini bisa terjadi tanpa disengaja, tapi
bisa saja dilakukan dengan sengaja.
C.
Kritik Eidetis
Setelah menentukan derajat keaslian sejarah kitab-kitab suci,
timbul masalah kedua dalam pemahaman. Kritik sejarah membuka jalan bagi proses
pemahaman. Seperti kritik sejarah, pemahaman bukan merupakan wewenang suatu
lembaga atau suatu agama, tapi dilakukan menurut aturan-aturan tata bahasa dan
situasi-situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks. Semua kitab suci
harus dipahami berdasarkan aturan yang sama. Tidak boleh ada pengkhususan maupun
dogma tertentu. Dari kitab Perjanjian Lama hingga kitab Perjanjian Baru sudah
pasti terdapat perkembangan wahyu berdasarkan dogma atau martabat manusia.
Tiap-tiap fase dalam setiap wahyu harus dipahami sebagai suatu
keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus dimengerti dalam
kesatuannya, dalam keutuhannya dan dalam intisarinya. Hukum dalam kitab
Perjanjian Lama dan Kasih dalam kitab Perjanjian Baru, jika kita ingin
mempertimbangkan perkembangan wahyu, fase yang terakhir pastilah lebih sempurna
daripada yang sebelumnya. Kemanusiaan telah mengalami kemajuan dan mencapai
taraf kesempurnaan yang lebih tinggi. Wahyu mengikuti penyempurnaan progresif
dan mendorongnya maju. Fase terakhir meneruskan fase-fase yang sebelumnya dan
menyelesaikannya. Kasih merupakan penyelesaian bagi hukum dan hukum
disempurnakan daam kasih.
Berbeda dengan wahyu dalam Islam, yang menjelaskan otonomi
kesadaran manusia dan kebebasan pikiran serta kemauan manusia. Apa yang
dikatakan Allah dalam wahyu sekarang, menjadi
obyek pengetahuan manusia dan motivasi bagi tindakan manusia. Dengan
demikian, setiap kitab suci harus ditafsirkan dalam bahasa aslinya. Analisa
linguistik terhadap kitab suci bukan dengan sendirinya merupakan analisa yang
baik, tapi merupakan alat sederhana yang
akan membawa kita kepada pemahaman
terhadap makna kitab suci.
Di samping melakukan analisa linguistik, kita juga meneliti
prinsip-prinsip kebahasaan yang terdapat dalam situasi sejarah. Di sini
terdapat dua situasi, yaitu situasi saat turunnya wahyu dan situasi sejarah
yang melahirkan teks. Jika wahyu dituliskan in verbatim, yakni ditulis
pada waktu yang sama dengan saat diucapkan dan diturunkan makna disebut dengan
keadaan nyata. Namun, jika wahyu tidak ditulis in verbatim atau hanya
inspirasi yang ditulis oleh seorang penulis, maka disebut sumber teks. Karena
itulah, kritik sejarah mendesak diketahuinya situasi sejarah agar dapat
mencocokkan asal mula dan kelahiran teks. Dalam kitab Injil dan Taurat,
situasinya bukan hanya situasi nyata, melainkan suatu sumber sejarah bagi
teksnya.
Setelah mengkaji situasi-situasi sejarah, kita menuju pada makna
gramatikal dan keadaan historis. Perluasan makna ini membuat wahyu tetap baru,
segar, dan modern. Satu contoh pembahasan adalah tentang Yesus dengan orang
kaya atau tentang arti hidup abadi bukan hanya merupakan sebuah wahyu dalam
satu situasi sejarah, namun sebuah makna yang berdiri sendiri dan dapat
diperluas lagi dalam beberapa kesempatan lain yang serupa. Di sinilah
penjelasan berperan setelah adanya penafsiran. Setelah dilakukan penjelasan,
harus dilakukan generalisasi dengan melihat batas-batas aturan tata bahasa.
D.
Kritik Praksis
Setelah proses pamahaman, masih ada masalah pengenalan makna wahyu
dalam kehidupan manusia. Praksis adalah penyempurnaan terhadap logos. Tidak ada
dogma yang datang begitu saja, karena dogma hanyalah satu kemungkinan bagi
sebuah tindakan. Tidak ada kebenaran teoritis dalam dogma, yang dapat diperoleh
manusia hanya dengan argumen tertentu, kebenarannya adalah kemampuannya untuk
menjadi sebuah motivasi bagi tindakan. Sebuah dogma diakui ada, jika disadari
di dunia ini sebagai satu sistem yang ideal dan tampak melalui tindakan
manusia. Satu-satunya pembuktian tentang kebenaran sebuah dogma adalah
pembuktian yang bersifat praksis. Tidak
ada pembuktian teoritis terhadap keberadaan Allah, tetapi sebagai pengenalan
terhadap firman-firman Allah. Perintah-perintah Allah sebagaimana tertuang
dalam wahyu tidak hanya mengungkapkan keinginan Allah semata-mata, tapi memiliki
dasar yang positif bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, wahyu merupakan
struktur dunia yang ideal.
Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan
argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi
bagi tindakan. Sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal jika tampak dalam
tindakan manusia. Begitu pula proses tafsiran, akan dianggap positif dan
bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar fakta-fakta
material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses hermeneutika ini yang
penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam
kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnaan hidup
manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapa pun hebatnya hasil
interpretasi tidak ada maknanya. Sebab di sinilah memang tujuan akhir dari
diturunkannya teks suci.
E.
Al-Qur’an Produk Budaya?
Seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Fazlur
Rahman memiliki berbagai bekal metodologi baru, dan mencoba untuk mendekati
Al-Qur’an dengan kacamata baru tersebut. Seperti apapun hasil dari kajian
mereka tersebut, baik disetujui atau tidak, baik mengundang kontroversi atau
tidak, yang jelas kehadiran mereka ini mampu menggairahkan kembali diskursus Islamic
studies, yang selama ini lesu karena status sakralitas Al-Qur’an sudah
dipandang mapan dan final.
Salah satu
pemikir Islam kontemporer yang sangat dikenal dengan isu kontroversional bahwa
Al-Qur’an adalah produk budaya adalah tokoh intelektual dari Mesir, Nasr Hamid
Abu Zayd. Proyek utamanya yang sebenarnya adalah proyek pendobrakan manipulasi
pemahaman teks yang banyak terjadi dalam peradaban Islam. Proyek besar ini
tampak antara lain dalam tulisannya yang berjudul Mafhum al-Nash. Menurutnya,
peradaban Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena dengan berporos
pada teks (Al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam bergulir.
Lebih jauh
ternyata, dalam pengamatan Abu Zayd, para ulama terdahulu terlalu berlebihan
dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar memunculkan pemahaman yang
dikotomis antara teks dan realitas. Dengan mengajukan sebuah pertanyaan, apakah
pengertian teks itu dan bagaimana memahaminya? Ia mencoba untuk mengatasi
pemutarbalikan pemahaman teks. Lebih jauh dalam metodologinya ia menggunakan
hermeneutika.
Isu yang
dilontarkan Abu Zayd ini harus diakui cukup kontroversial. Seakan menantang
kesepakatan umat di kalangan umat Islam akan sakralitas eksistensi Al-Qur’an. Ia
menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk
budaya. Tentu saja peryataan semacam ini mengundang reaksi yang tidak ringan,
bahkan demi pandangannya ini Abu Zayd harus menanggung resiko diceraikan dari
istrinya sebagai konsekuensi dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.
Dasar pemikiran
Abu Zayd sebelum menyimpulkan status Al-Qur’an ini sebenarnya adalah
pembagiannya terhadap dua fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan dialektika
teks dengan realitas sosial-budayanya;
1.
Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkonsumsikan diri
secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana aspek
kebahasaan merupakan satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode
keterbukaan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks Al-Qur’an
sebagai “produk kebudayaan”.
2.
Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi ulang sistem
budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda
dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem
kebudayaannya. Dalam fase ini Abu Zayd menyebutnya sebagai periode pembentukan
(marhalah al-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan,
kini berubah menjadi produsen kebudayaan.
Al-Qur’an
ketika diwahyukan Allah kepada Muhammad tentu memakai bahasa yang dapat
dimengerti oleh umat di mana ia diturunkan. Sehubungan dengan proses pewahyuan
Al-Qur’an yang berlangsung di Arab, maka dia menggunakan bahasa Arab sebagai
pengantar makna yang terkandung dalam teks ketuhanan. Untuk itu pemahaman
Al-Qur’an sebagai teks Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan
peradaban bangsa Arab. Ringkasnya, Al-Qur’an yang kita lihat dan kita baca
sekarang merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan peradaban
Arab pada saat itu (marhalah al-tasyakkul). Dan selanjutnya teks ini
berfungsi menuntun menuju satu budaya yang baru, yaitu budaya Islam (marhalah
al-tasykil).
Pada
hakikatnya, dengan konsepnya ini, Abu Zayd ingin mengatakan bahwa ketika
diwahyukan kepada Muhammad yang hidup di Jazirah Arab dengan sagala budaya dan
tradisinya, itu berarti Al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia, maka
merupakan keniscayaan bagi Al-Qur’an untuk memakai struktur tata bahasa dan
tata budaya Arab untuk menyampaikan misi risalah-Nya melalui Muhammad. Namun
pada kenyataannya pernyataan Abu Zayd ini malah mengundang berbagai serangan
terhadap dirinya. Di antara yang menjadi bahan serangan terhadap Abu Zayd
adalah pernyataannya dalam salah satu kitabnya, Naqd Khitab ad-Dirry,
bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia berubah status dari sebuah
teks ketuhanan (nash Ilahi) menjadi teks manusiawi (nash Insani), karena begitu
masuk kesejarahan manusia, maka ia berubah dari wahyu (tanzil) menjadi
sebuah pemahaman dan penafsiran (ta’wil).
Orang pertama
yang melakukan perubahan dari tanzil menjadi ta’wil ini tentu
saja adalah Rasul sendiri, sehingga harus dipilih tegas perbedaan antara
pemahaman Rasul tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan wahyu
Allah. Dengan penyataan inilah kemudian Abu Zayd dituduh mengingkari aspek
ketuhanan Al-Qur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.
Betapa pun aneh
dan kontroversialnya sebuah isu, namun seringkali isu tersebut membawa sebuah
kesadaran dan pencerahan baru. Kesadaran tersebut biasanya muncul karena bereakasi
terhadap lontaran-lontaran isu yang kontroversial tersebut. Dengan
lontaran-lontaran isu tersebut seringkali orang dipaksa untuk melihat,
mencermati, menganalisis, mengkritisi, dan bahkan menjerumuskan kembali
keyakinan-keyakinan dan pemahaman lama yang sekian lama dibiarkan begitu saja
dan dipandang pasti benar. Demikianlah kiranya yang terjadi dengan lontaran isu
dari Abu Zayd ini.
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
hermeneutika dapat diterapkan terhadap Al-Qur’an. Namun, kita tidak memiliki
wewenang untuk mencurigai Allah sebagai pengarang dari Al-Qur’an. Letak
kecurigaan kita adalah kepada penafsir-penafsir dari teks Al-Qur’an. Meskipun
para penafsir Al-Qur’an pada zaman dahulu sudah secara langsung dikoreksi oleh
Nabi, kita jangan percaya sepenuhnya kepada mereka, karena mereka tentunya
menafsiran teks Al-Qur’an berdasarkan latar belakang pada masa itu. Jika ada
pernyataan bahwa Al-Qur’an selalu bersifat baru (mampu diterapkan dalam kondisi
dan situasi apa pun), maka kita harus mampu memahaminya berdasarkan teks asli,
bukan berdasarkan penafsiran, maupun terjemahan.
Mengenai gagasan yang kontroversional dari Nasr Hamid Abu Zayd yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah المنتاج الثقافى yaitu Al-Qur’an adalah produk budaya. Di sini
maksudnya, Nasr Hamid Abu Zayd menegaskan bahwa Al-Qur’an berasal dari latar
belakang budaya pada masa itu, bukan berarti bahwa teks Al-Qur’an berasal dari
budaya. Tetapi Al-Qur’an dibuat dari realitas, sedangkan yang dibuat oleh
bahasa dan kebudayaan adalah pemahaman Al-Qur’an.
IV.
PENUTUP
Demikian penjelasan tentang “Hermeneutika sebagai Aksiomatika: Hermeneutika
terhadap Al-Qur’an”. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dalam menambah
wawasan keilmuan dan bagi penulis dalam rangka beramal jariyah. Penulis
menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan, maka dari itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan demi tegaknya kebenaran dan
menghindari mudharat yang ditimbulkan dari kesalahan dalam paper ini.
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Fahrudin.
2011. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversional. Yogyakarta:
eLSAQ Press.
Hanafi, Hasan, dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Hanafi, Hasan. 1994.
Dialog Agama dan Revolusi I. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hanafi, Hasan. 2003. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap
Tradisi Lama. Jakarta: Paramadina.
Saenong, Ilham
B.. 2002. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tefsir Al-Qur’an Menurut Hasan
Hanafi. Jakarta Selatan: Teraju.
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar