Sabtu, 20 Desember 2014

HERMENEUTIKA SEBAGAI AKSIOMATIKA (Hermeneutika terhadap Al-Qur’an)



HERMENEUTIKA SEBAGAI AKSIOMATIKA 
(Hermeneutika terhadap Al-Qur’an)

Disusun Oleh:
Umi Mukaromah




I.       PENDAHULUAN
Allah menurunkan wahyu untuk dijadikan petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki dasar yang autentik. Di dalamnya berisi firman-firman Allah secara langsung yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Dari penjelasan ini mampukah kita menerapkan teori hermeneutika terhadap Al-Qur’an? Sementara dalam teori ini, kita dituntut untuk jangan percaya penuh kepada pengarangnya. Kemudian curiga terhadap latar belakangnya. Kita pun jangan jatuh pada sumber utama dan harus mengkritisinya. Bagaimana cara kita mencurigai Allah sebagai pengarang dari Al-Qur’an? Selain itu, Nasr Hamid Abu Zayd menggagas bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya, apa maksud dari pemikiran ini?
Bertolak dari Al-Qur’an, Allah juga menurunkan beberapa kitab suci sebelum Al-Qur’an. Di antaranya kitab suci tersebut adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apakah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki dasar yang autentik sebagaimana dengan Al-Qur’an? Bagaimana pula penerapan teori hermeneutika terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bila dibandingkan dengan Al-Qur’an? Di dalam paper ini, penulis mencoba memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut dengan menerapkan hermenutika di dalam Al-Qur’an, kemudian melakukan studi komparasi terhadap Al-Qur’an, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Penulis juga menawarkan hermeneutika Al-Qur’an mampu memberi warna lain terhadap konstruksi pemikiran tentang Al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Fazlur Rahman.
II.    PEMBAHASAN
A.    Konsep Hermeneutika
Sebenarnya tidak mudah untuk memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang hermeneutika hanya dalam rentetan satu dua kalimat. Kata hermenutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Pengasosiasian hermeneutika ini memiliki tiga unsur, yaitu (1) tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran; (2) perantara atau penafsir; (3) penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima. Jika melihat terminologinya, kata hermeneutika bisa diderivikasikan ke dalam tiga pengertian;
1.      Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemah dan tindakan sebagai penafsir.
2.      Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui, ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3.      Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Untuk lebih memudahkan pemahan tentang hermenutika, ada baiknya secara definitif ditegaskan tiga perbedaan hermeneutika sebagaimana yang dijelaskan oleh Ubaidillah Ahmad, yaitu:
1.      Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
Hermeneutika jenis ini adalah hermeneutika teoritis. Dalam klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermeneutika ini merekomendasikan pemahan konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif.
2.      Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman
Hermenutika jenis kedua ini melangkah lebih jauh ke dalam dataran filosofis. Fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya, dan aspek yang lainnya. Hermeneutika ini lebih tepatnya didefinisikan sebagai “pemahaman terhadap pemahaman”.
3.      Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Dalam hermeneutika ini dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu horison pengarang, horison teks, dan horison penerima atau pembaca. Sementara secara prosedural, langkah kerja hermeneutika ini menggarap wilayah teks, konteks, dan kontekstualisasi. Hermenutika jenis pertama dapat dikatakan menekankan proses pemahaman dalam dua horison, yaitu horison pengarang dan horison teks, yang berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami oleh pengarangnya dan kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang sebagai pemaknaan yang paling akurat terhadap teks. Sedangkan hermeneutika jenis kedua dan ketiga memfokuskan pada horison pembaca, karena pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya, sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk dipahami dan dihayati seperti apapun keinginannya.
Dari kasus yang muncul sebagaimana tertulis dalam pendahuluan, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa hermeneutika bukan hanya berarti sebuah ilmu interpretasi, yakni suatu teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Allah kepada manusia. Proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik historis, yaitu yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Tanpa ada kepastian secara historis asli, pemahaman tidak akan mungkin terjadi. Bila pun terjadi, maka pemahaman tersebut akan menjerumuskan pada kesalahan karena di pahami dari teks yang bukan asli.
Apa yang dilakukan oleh Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Fazlurrahman adalah contoh-contoh bagaimana mengolah Al-Qur’an dengan hermeneutika. Hermeneutika pada dasarnya merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya menarik makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan Al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Menentukan keaslian historis kitab suci menjadi sebuah dasar yang kuat dalam proses pemahaman. Di sinilah hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam artinya yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci itu. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks tersebut kita memasuki langkah ketiga, proses menyadari hidup ini dalam kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir wahyu Allah. Dalam bahasa fenomenologis dapat kita katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab-kitab suci. Mula-mula kita memiliki kesadaran historis, yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua, kita memiliki kesadaran eidetik, yang menjelaskan makna teks dan menjadikan rasional. Ketiga adalah kesadaran praksis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.
B.     Kritik Sejarah
Keaslian sebuah kitab suci tidak dijamin oleh adanya takdir Allah, tidak pula tercipta oleh keyakinan, pemuka agama, atau lembaga agama manapun. Tetapi keaslian kitab suci didasarkan pada kritik sejarah. Dalam Al-Qur’an ada dua jenis kata, pertama adalah kata-kata yang diucapkan oleh Nabi Muhammad oleh Allah melalui Malaikat Jibril. Kata-kata ini merupakan wahyu in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Wahyu ini tidak melewati masa pengalihan secara lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Tak satupun kitab suci dalam tradisi sejak Taurat yang memenuhi persyaratan ini kecuali Al-Qur’an. Kitab Perjanjian Lama melewati berabad-abad cara pengalihan lisan. Kitab Perjanjian Baru melewati satu abad pengalihan lisan. Hanya Al-Qur’anlah yang ditulis pada saat diturunkannya. Pada pengalihan melalui tulisan, teks-teks ini harus berisi kata-kata yang secara harfiah sama dengan yang diucapkan Nabi. Sementara sumber-sumber tertulis dari Perjanjian Baru tidak diketahui secara kritis. Baik penulis-penulisnya, jumlahnya, pengalihannya dari tangan ke tangan, keutuhannya, dan sebagainya.
Fungsi Nabi adalah menyampaikan firman Allah (in verbatim), sebagai alat komunikasi murni tanpa ada campur tangan apapun di pihaknya, baik menyangkut bahasa maupun gagasan-gagasan di dalamnya. Karena Al-Qur’an adalah in verbatim maka teksnya harus ditulis dalam bahasa yang sama dengan bahasa aslinya. Menilik pada kitab-kitab Perjanjian Lama, yaitu direkam dalam bahasa Ibrani, kecuali beberapa ayat dalam bahasa Aramaia dan Chaldea. Masalahnya menjadi lebih serius lagi dalam kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak pernah mengenal bahasa Yunani atau Latin. Dari hal itu, kita harus membuka kembali kitab Perjanjian Baru yang berbahasa Aramaia, dan penafsiran yang dibuat harus berdasarkan bahasa asli. Begitu pula dengan penerapan aturan-aturan gramatikalnya.
Hermeneutika baru mulai berfungsi setelah Nabi menyampaikan wahyu, dan kritik sejarah menjamin keaslian firman Allah. Hermeneutika tidak berurusan dengan sifat hubungan antara Allah dan Rasul-Nya dan bagaimana Nabi menerima wahyu tersebut, melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah ini dan disampaikan dari satu orang ke orang lain. Keutuhan Al-Qur’an yang disimpan dalam bentuk tulisan tidak terdapat pada kitab Injil, sebab yang diucapkan Yesus jauh lebih banyak daripada yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk tulisan. Semua kata-kata yang terkandung dalam Injil yang tidak disucikan dan dalam kumpulan tulisan kaum Yahudi dan Kristen awal yang tidak terdapat dalam Injil, harus dipertimbangkan kembali untuk mencari keutuhan wahyu.
Yang kedua adalah kata-kata yang diucapkan Nabi atau yang sering kita sebut dengan hadits, yang bukan didiktekan oleh Allah melalui Malaikat, melainkan datang dari Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tepat harus dilakukan, agar sesuai dengan maksud Allah. Di dalam Al-Qur’an, hadits yang diucapkan oleh Nabi tidak dituliskan, tapi disendirikan. Hadits-hadits demikian dituliskan dalam kitab-kitab yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits.
Dalam Injil, kedua pola kata-kata ini bercampur baur. Dalam kitab Perjanjian Lama kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah kata-kata yang diucapkan Yesus merupakan wahyu in verbatim yang diucapkan oleh Allah kepada Yesus melalui Roh Kudus ataukah kata-kata Yesus sendiri yang mengungkapkan wahyu Allah. Percampuran antara kedua pola ini menyulitkan kita untuk menentukan wahyu yang in verbatim.
Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua digunakan, maka mulailah peran tardisi dan masyarakat. Sebagaimana buah pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, beliau menyatakan bahwa  المنتاج الثقافى yaitu Al-Qur’an adalah produk budaya. Di sini Nasr Hamid Abu Zayd menegaskan pada sebuah kesimpulan bahwa Al-Qur’an berasal dari latar belakang budaya pada masa itu, bukan berarti Al-Qur’an berasal dari budaya. Perlu digaris bawahi bahwa Al-Qur’an dibuat dari realitas, sedangkan pemahaman Al-Qur’an dibuat oleh bahasa dan kebudayaan.
Nah, dari peran tradisi atau budaya ini, kitab-kitab suci memberikan status bagi contoh kasus yang mereka hadapi, dan contoh kasus ini akan membangkitkan kesadaran penalaran masyarakat untuk menghadapi kasus baru yang serupa. Dengan demikian, budaya terjadi karena kesepakatan masyarakat. Budaya bukanlah satu sumber yang berdiri sendiri, tapi merupakan refleksi terhadap kitab suci. Kesepakatan masyarakat tersebut dijamin oleh kebenaran yang obyektif dan wahyu yang universal.
Dalam kitab Injil, pembedaan antara kitab suci dan budaya tidak tampak. Kitab Perjanjian Lama merupakan penyatuan sejarah bangsa Yahudi, berisi hukum-hukum, ramalan, tulisan-tulisan keramat, kearifan-kearifan, dan sebagainya. Walaupun kita andaikan kitab Perjanjian Lama sebagai kitab suci dan kitab Talmud sebagai  rangkuman tradisi, kitab tersebut tetap bukan merupakan renungan terhadap masalah-masalah baru yang didasarkan pada contoh kasus, tapi lebih merupakan suatu penambahan yang sesungguhnya dan serta sebuah sumber yang berdiri sendiri. Demikian pula dalam kitab Perjanjian Baru, pembedaan antara kitab suci dan tradisi tidak ada.
Perkataan para sahabat Nabi bukan bagian dari kitab suci melainkan dari budaya, yang bisa diterima atau ditolak bardasarkan kesamaan atau perbedaannya dengan kitab suci. Perkataan-perkataan itu merupakan penafsiran-penafsiran awal yang dilakukan oleh sahabat Nabi, yang dapat diperbaiki langsung oleh Nabi sendiri jika terjadi kesalahan. Penafsiran awal sudah pasti terbebas dari penambahan-penambahan dan penjelasan-penjelasan tambahan seperti yang menjadi budaya pada masa sesudahnya. Hal ini jelas terjadi dalam kitab Perjanjian Baru, kisah para Rasul yang ditulis oleh Lukas, dan wahyu yang ditulis oleh Yohanes adalah bagian dari budaya, karena pada waktu penulisannya, Yesus telah wafat sehingga tidak mampu membenarkan jika terjadi kesalahan.
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul “Dialog Agama dan Revolusi” mengungkapkan bahwa pada akhirnya Al-Qur’an membuat proposisi kritis yang diakui oleh semua kritikus Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Mereka mengakui bahwa kitab-kitab suci terdahulu bukan merupakan firman Allah in verbatim, yakni satu-satunya ukuran standar keaslian pengalihan wahyu sepanjang sejarah. Semua sarjana Kristen, baik ahli arkeologi maupun sejarah menyatakan bahwa tidak terdapat kepastian mutlak tentang kitab Injil yang ada di tangan penganutnya sekarang, baik yang ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aramaia, Yunani atau Latin, Syiria atau Coptic, Armenia ataupun Etiopia, sama dengan wahyu yang diucapkan pertama kali.
Kita dapat mengambil sebuah contoh dalam kitab Talmud disebutkan bahwa semua tradisi lisan yang berisi wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa di Bukit Sinai, tidak ada yang masuk ke dalam Injil. Banyak yang dihilangkan dan dialihkan secara lisan sampai abad ke-5 masehi. Hal ini berarti pula bahwa kitab Injil merupakan wahyu yang tidak lengkap, mungkin lebih atau mungkin kurang. Kasus yang sama terjadi pula dalam kitab-kitab Markus, Lukas, Yohanes, dan Matius, walaupun jauh lebih mudah karena masa pengalihan lisan di sini tidak melebihi satu abad, atau paling banyak dua abad.
Semua ini menyebabkan kualitas kisah di dalamnya jadi meragukan. Teori tentang wahyu yang mendapatkan data-data tentang hal yang diwahyukan dengan menyimpulkan dari perbuatan orang atau dari Kejadian adalah suatu pembenaran terhadap hilangnya ucapan atau kata-kata wahyu yang sebenarnya. Selama tiga tahun masa tugasnya, Yesus Kristus tentunya telah berbicara lebih banyak daripada yang dicantumkan dalam keempat kitab dalam Injil tersebut. Keempat kitab ini mengesampingkan kitab-kitab lain yang tidak mengakui dengan jelas ketuhanan Kristus seperti Injil Thomas, Barnabas, Peter, dan sebagainya.
Dengan demikian, keraguan kita terhadap keaslian kitab suci sebelum Al-Qur’an dapat dimengerti. Karena wahyu di dalamnya tidak dipertahankan in verbatim, kemungkinan untuk terjadinya kesalahan sangatlah besar, seperti adanya pengubahan, pengurangan, penambahan, penghapusan, penyisipan, kekhilafan, dan sebagainya. Kesalahan ini bisa terjadi tanpa disengaja, tapi bisa saja dilakukan dengan sengaja.
C.  Kritik Eidetis
Setelah menentukan derajat keaslian sejarah kitab-kitab suci, timbul masalah kedua dalam pemahaman. Kritik sejarah membuka jalan bagi proses pemahaman. Seperti kritik sejarah, pemahaman bukan merupakan wewenang suatu lembaga atau suatu agama, tapi dilakukan menurut aturan-aturan tata bahasa dan situasi-situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks. Semua kitab suci harus dipahami berdasarkan aturan yang sama. Tidak boleh ada pengkhususan maupun dogma tertentu. Dari kitab Perjanjian Lama hingga kitab Perjanjian Baru sudah pasti terdapat perkembangan wahyu berdasarkan dogma atau martabat manusia.
Tiap-tiap fase dalam setiap wahyu harus dipahami sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus dimengerti dalam kesatuannya, dalam keutuhannya dan dalam intisarinya. Hukum dalam kitab Perjanjian Lama dan Kasih dalam kitab Perjanjian Baru, jika kita ingin mempertimbangkan perkembangan wahyu, fase yang terakhir pastilah lebih sempurna daripada yang sebelumnya. Kemanusiaan telah mengalami kemajuan dan mencapai taraf kesempurnaan yang lebih tinggi. Wahyu mengikuti penyempurnaan progresif dan mendorongnya maju. Fase terakhir meneruskan fase-fase yang sebelumnya dan menyelesaikannya. Kasih merupakan penyelesaian bagi hukum dan hukum disempurnakan daam kasih.
Berbeda dengan wahyu dalam Islam, yang menjelaskan otonomi kesadaran manusia dan kebebasan pikiran serta kemauan manusia. Apa yang dikatakan Allah dalam wahyu sekarang, menjadi  obyek pengetahuan manusia dan motivasi bagi tindakan manusia. Dengan demikian, setiap kitab suci harus ditafsirkan dalam bahasa aslinya. Analisa linguistik terhadap kitab suci bukan dengan sendirinya merupakan analisa yang baik, tapi  merupakan alat sederhana yang akan  membawa kita kepada pemahaman terhadap makna kitab suci.
Di samping melakukan analisa linguistik, kita juga meneliti prinsip-prinsip kebahasaan yang terdapat dalam situasi sejarah. Di sini terdapat dua situasi, yaitu situasi saat turunnya wahyu dan situasi sejarah yang melahirkan teks. Jika wahyu dituliskan in verbatim, yakni ditulis pada waktu yang sama dengan saat diucapkan dan diturunkan makna disebut dengan keadaan nyata. Namun, jika wahyu tidak ditulis in verbatim atau hanya inspirasi yang ditulis oleh seorang penulis, maka disebut sumber teks. Karena itulah, kritik sejarah mendesak diketahuinya situasi sejarah agar dapat mencocokkan asal mula dan kelahiran teks. Dalam kitab Injil dan Taurat, situasinya bukan hanya situasi nyata, melainkan suatu sumber sejarah bagi teksnya.
Setelah mengkaji situasi-situasi sejarah, kita menuju pada makna gramatikal dan keadaan historis. Perluasan makna ini membuat wahyu tetap baru, segar, dan modern. Satu contoh pembahasan adalah tentang Yesus dengan orang kaya atau tentang arti hidup abadi bukan hanya merupakan sebuah wahyu dalam satu situasi sejarah, namun sebuah makna yang berdiri sendiri dan dapat diperluas lagi dalam beberapa kesempatan lain yang serupa. Di sinilah penjelasan berperan setelah adanya penafsiran. Setelah dilakukan penjelasan, harus dilakukan generalisasi dengan melihat batas-batas aturan tata bahasa.
D.    Kritik Praksis
Setelah proses pamahaman, masih ada masalah pengenalan makna wahyu dalam kehidupan manusia. Praksis adalah penyempurnaan terhadap logos. Tidak ada dogma yang datang begitu saja, karena dogma hanyalah satu kemungkinan bagi sebuah tindakan. Tidak ada kebenaran teoritis dalam dogma, yang dapat diperoleh manusia hanya dengan argumen tertentu, kebenarannya adalah kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi bagi tindakan. Sebuah dogma diakui ada, jika disadari di dunia ini sebagai satu sistem yang ideal dan tampak melalui tindakan manusia. Satu-satunya pembuktian tentang kebenaran sebuah dogma adalah pembuktian yang bersifat praksis. Tidak ada pembuktian teoritis terhadap keberadaan Allah, tetapi sebagai pengenalan terhadap firman-firman Allah. Perintah-perintah Allah sebagaimana tertuang dalam wahyu tidak hanya mengungkapkan keinginan Allah semata-mata, tapi memiliki dasar yang positif bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, wahyu merupakan struktur dunia yang ideal.
Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi bagi tindakan. Sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal jika tampak dalam tindakan manusia. Begitu pula proses tafsiran, akan dianggap positif dan bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar fakta-fakta material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses hermeneutika ini yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnaan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapa pun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab di sinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci.
E.   Al-Qur’an Produk Budaya?
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Fazlur Rahman memiliki berbagai bekal metodologi baru, dan mencoba untuk mendekati Al-Qur’an dengan kacamata baru tersebut. Seperti apapun hasil dari kajian mereka tersebut, baik disetujui atau tidak, baik mengundang kontroversi atau tidak, yang jelas kehadiran mereka ini mampu menggairahkan kembali diskursus Islamic studies, yang selama ini lesu karena status sakralitas Al-Qur’an sudah dipandang mapan dan final.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang sangat dikenal dengan isu kontroversional bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya adalah tokoh intelektual dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd. Proyek utamanya yang sebenarnya adalah proyek pendobrakan manipulasi pemahaman teks yang banyak terjadi dalam peradaban Islam. Proyek besar ini tampak antara lain dalam tulisannya yang berjudul Mafhum al-Nash. Menurutnya, peradaban Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena dengan berporos pada teks (Al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam bergulir.
Lebih jauh ternyata, dalam pengamatan Abu Zayd, para ulama terdahulu terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar memunculkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Dengan mengajukan sebuah pertanyaan, apakah pengertian teks itu dan bagaimana memahaminya? Ia mencoba untuk mengatasi pemutarbalikan pemahaman teks. Lebih jauh dalam metodologinya ia menggunakan hermeneutika.
Isu yang dilontarkan Abu Zayd ini harus diakui cukup kontroversial. Seakan menantang kesepakatan umat di kalangan umat Islam akan sakralitas eksistensi Al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk budaya. Tentu saja peryataan semacam ini mengundang reaksi yang tidak ringan, bahkan demi pandangannya ini Abu Zayd harus menanggung resiko diceraikan dari istrinya sebagai konsekuensi dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.
Dasar pemikiran Abu Zayd sebelum menyimpulkan status Al-Qur’an ini sebenarnya adalah pembagiannya terhadap dua fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya;
1.      Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkonsumsikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana aspek kebahasaan merupakan satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode keterbukaan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks Al-Qur’an sebagai “produk kebudayaan”.
2.      Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem kebudayaannya. Dalam fase ini Abu Zayd menyebutnya sebagai periode pembentukan (marhalah al-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.
Al-Qur’an ketika diwahyukan Allah kepada Muhammad tentu memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh umat di mana ia diturunkan. Sehubungan dengan proses pewahyuan Al-Qur’an yang berlangsung di Arab, maka dia menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar makna yang terkandung dalam teks ketuhanan. Untuk itu pemahaman Al-Qur’an sebagai teks Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan peradaban bangsa Arab. Ringkasnya, Al-Qur’an yang kita lihat dan kita baca sekarang merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan peradaban Arab pada saat itu (marhalah al-tasyakkul). Dan selanjutnya teks ini berfungsi menuntun menuju satu budaya yang baru, yaitu budaya Islam (marhalah al-tasykil).
Pada hakikatnya, dengan konsepnya ini, Abu Zayd ingin mengatakan bahwa ketika diwahyukan kepada Muhammad yang hidup di Jazirah Arab dengan sagala budaya dan tradisinya, itu berarti Al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia, maka merupakan keniscayaan bagi Al-Qur’an untuk memakai struktur tata bahasa dan tata budaya Arab untuk menyampaikan misi risalah-Nya melalui Muhammad. Namun pada kenyataannya pernyataan Abu Zayd ini malah mengundang berbagai serangan terhadap dirinya. Di antara yang menjadi bahan serangan terhadap Abu Zayd adalah pernyataannya dalam salah satu kitabnya, Naqd Khitab ad-Dirry, bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia berubah status dari sebuah teks ketuhanan (nash Ilahi) menjadi teks manusiawi (nash Insani), karena begitu masuk kesejarahan manusia, maka ia berubah dari wahyu (tanzil) menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran (ta’wil).
Orang pertama yang melakukan perubahan dari tanzil menjadi ta’wil ini tentu saja adalah Rasul sendiri, sehingga harus dipilih tegas perbedaan antara pemahaman Rasul tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan wahyu Allah. Dengan penyataan inilah kemudian Abu Zayd dituduh mengingkari aspek ketuhanan Al-Qur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.
Betapa pun aneh dan kontroversialnya sebuah isu, namun seringkali isu tersebut membawa sebuah kesadaran dan pencerahan baru. Kesadaran tersebut biasanya muncul karena bereakasi terhadap lontaran-lontaran isu yang kontroversial tersebut. Dengan lontaran-lontaran isu tersebut seringkali orang dipaksa untuk melihat, mencermati, menganalisis, mengkritisi, dan bahkan menjerumuskan kembali keyakinan-keyakinan dan pemahaman lama yang sekian lama dibiarkan begitu saja dan dipandang pasti benar. Demikianlah kiranya yang terjadi dengan lontaran isu dari Abu Zayd ini.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hermeneutika dapat diterapkan terhadap Al-Qur’an. Namun, kita tidak memiliki wewenang untuk mencurigai Allah sebagai pengarang dari Al-Qur’an. Letak kecurigaan kita adalah kepada penafsir-penafsir dari teks Al-Qur’an. Meskipun para penafsir Al-Qur’an pada zaman dahulu sudah secara langsung dikoreksi oleh Nabi, kita jangan percaya sepenuhnya kepada mereka, karena mereka tentunya menafsiran teks Al-Qur’an berdasarkan latar belakang pada masa itu. Jika ada pernyataan bahwa Al-Qur’an selalu bersifat baru (mampu diterapkan dalam kondisi dan situasi apa pun), maka kita harus mampu memahaminya berdasarkan teks asli, bukan berdasarkan penafsiran, maupun terjemahan.
Mengenai gagasan yang kontroversional dari Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah المنتاج الثقافى yaitu Al-Qur’an adalah produk budaya. Di sini maksudnya, Nasr Hamid Abu Zayd menegaskan bahwa Al-Qur’an berasal dari latar belakang budaya pada masa itu, bukan berarti bahwa teks Al-Qur’an berasal dari budaya. Tetapi Al-Qur’an dibuat dari realitas, sedangkan yang dibuat oleh bahasa dan kebudayaan adalah pemahaman Al-Qur’an.
IV. PENUTUP
Demikian penjelasan tentang “Hermeneutika sebagai Aksiomatika: Hermeneutika terhadap Al-Qur’an”. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dalam menambah wawasan keilmuan dan bagi penulis dalam rangka beramal jariyah. Penulis menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi tegaknya kebenaran dan menghindari mudharat yang ditimbulkan dari kesalahan dalam paper ini.
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Fahrudin. 2011. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversional. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hanafi, Hasan, dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Hanafi, Hasan. 1994. Dialog Agama dan Revolusi I. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hanafi, Hasan. 2003. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama. Jakarta: Paramadina.
Saenong, Ilham B.. 2002. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tefsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi. Jakarta Selatan: Teraju.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar