BAITUL
MAAL WATTAMWIL
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen
pengampu: Dr. Ahwan Fanani, M.Ag
Disusun
Oleh:
Muhammad Hasani 123111111
Nur Kaokabbuddin 123111121
Umi Mukaromah 123111157
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Lahirnya
pendirian BMT terjadi pada tahun 1990-an bersamaan dengan usaha pendirian bank
syariah. Keberadaan BMT semakin meluas dengan disahkannya UU No. 7 Th. 1992
tentang Perbankan dan PP No. 72 Th. 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat Bagi Hasil.
Hal ini disebabkan ketentuan dalam UU No. 7 Th. 1992 dan PP No. 72 Th. 1992
telah membuka peluang pelaksanaan perbankan dengan sistem
berdasarkan syariah, dan salah satu bentuk badan hukum kegiatan perbankan ini
adalah koperasi. Banyak yang berpendapat bahwa landasan yuridis kegiatan usaha
yang dilaksanakan oleh BMT ini adalah kedua peraturan tersebut, karena BMT
merupakan balai usaha mandiri terpadu yang mendorong kegiatan ekonomi
masyarakat pada skala usaha kecil dan menengah.[1]
Dalam masalah
Baitul Mal yang merupakan perbendaraan Negara, dipisahkan harta Negara dari
harta kepala Negara dan dari milik pribadinya. Syara’ menetapkan bahwa Baitul
Mal mempunyai hak berdiri sendiri, mengendalikan harta rakyat, dapat memiliki,
dapat dimiliki dan dapat dituntut, dapat menerima tarikah orang
meninggal yang tak ada warisnya, ataupun menerima wasiat dan dapat pula
bertindak sebagai penggugat atau tergugat. Semuanya ini dilakukan oleh Amil
Baitul Mal sebagai ganti Kepala Negara. Kepala Negara tidak mempunyai hak
dari Baitu Mal, selain dari sekedar yangdiperlukan untuk nafakahnya. Dia tidak
boleh mengeluarkan kekayaan Baitul Mal kecuali pengeluaran yang dibenarkan oleh
syara’.[2]
Adapun rumusan
masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
A.
Apa
pengertian dari Baitul Maal Wattamwil?
B.
Bagaimana
sejarah berdirinya Baitul Maal Wattamwil?
C.
Bagaimana norma dan prinsip dalam pengoperasian Baitul Maal Wattamwil?
D.
Bagaimana penghimpunan dana dari Baitul Maal
Wattamwil?
E.
Apa saja kendala dari Baitul Maal Wattamwil?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Baitul Maal Wattamwil
Baitul maal wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal
dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha
pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit. Baitul maal berarti
pembendaharaan negara. Konsep tentang baitul maal adalah konsep amanah
yaitu harta kekayaan baitul maal dianggap sebagai harta kekayaan Allah.[3]
Sumber dana yang dikumpulkan dari baitul maal adalah sebagai berikut;
zakat, sedekah, dan pajak. Sedangkan baitut
tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha-usaha
tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga
pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah.
Baitul Maal Wattamwil (BMT)
merupakan bentuk lembaga keuangan dan bisnis yang serupa dengan koperasi atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Baitut tamwil merupakan cikal bakal
lahirnya bank syari’ah pada tahun 1992. Segmen masyarakat yang biasanya
dilayani BMT adalah masyarakat kecil yang kesulitan berhubungan dengan bank.[4]
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha
Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih
luas, yakni menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya, PINBUK menetaskan BMT,
dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan
representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini
BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang
berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip
syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keungan syari’ah
yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup
(ilmu pengetahuan maupun materi) maka BMT mempunyai tugas penting dalam
mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.[5]
B.
Sejarah Berdirinya Baitul Maal Wattamwil
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul peluang untuk
mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Operasionalisasi BMI kurang
menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah, maka muncul usaha untuk
mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR syariah dan BMT yang
bertujuan untuk mengatasi hambatan operasionalisasi di daerah.
Disamping itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup serba berkecukupan
muncul kekhawatiran akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan hanya
dipengaruhi dari aspek syiar islam tetapi juga dipengaruhi oleh lemahnya
ekonomi masyarakat. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah SAW, “kefakiran
itu mendekati kekufuran.” Maka keberadaan BMT diharapkan mampu mangatasi
masalah ini lewat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat.
Peran BMT dalam memberikan kontribusi kepada bergeraknya roda ekonomi kecil,
jelas riil. Sementara perbankan dililit “lemak” dana yang tak mampu disalurkan,
BMT langsung masuk kepengusaha. Tapi bukan itu saja nilai strategis BMT. Satu
yang paling istimewa, BMT juga menjadi agen pengembangan dan penyatun
masyarakat papa.[6]
Dilain pihak, beberapa masyarakat harus menghadapi rentenir atau lintah
darat. Besarnya pengaruh rentenir terhadap perekonomian masyarakat tidak lain
karena tidak adanya unsur-unsur yang cukup akomodatif dalam menyelesaikan
masalah yang masyarakat hadapi. Oleh karena itu, BMT diharapakan mampu berperan
lebih aktif dalam memperbaiki kondisi ini.
Dengan keadaan tersebut, keberadaan BMT setidaknya mempunyai beberapa
peran:
1. Menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi non-syariah. Aktif melakukan
sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti penting sistem ekonomi islami.
Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara
bertransaksi yang islami, misalnya supaya ada bukti dalam transaksi, dilarang
curang dalam menimbang barang, jujur terhadap konsumen dan sebagainya.
2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif
menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan
pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-usaha
nasabah atau masyarakat umum.
3. Melepaskan ketergantunga pada rentenir masyarakat yang masih tergantung
rentenir di sebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam memenuhi dana
dengan segera. Maka BMT harus mampu melayanui masyarakat lebih baik, misalnya
selalu tersedia dana setiap saat, birokrasi yang sederhana dan lain sebagainya.
4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Fungsi
BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus pandai
bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk melakukan evaluasi dalam rangka
pemerataan skala prioritas yang harus di perhatikan, misalnya dalam masalah
pembiayaan, BMT harus memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan
nasabah dan jenis pembiayaan.[7]
Untuk meningkatkan peran BMT dalam kehidupan ekonomi masyarakat, maka BMT
terbuka untuk menciptakan produk baru. Tetapi produk tersebut harus memenuhi
syarat:
1. Sesuai dengan syari’at dan disetujui oleh dewan syariat
2. Dapat ditangani oleh sistem operasi BMT bersangkutan
3. Membawa kemaslahatan bagi masyarakat
C.
Norma dan Prinsip dalam Pengoperasian Baitul Maal Wattamwil
Norma-norma yang digunakan BMT saat
ini sangat beragam, diantaranya:
1.
Aspek
kelembagaan BMT didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri RI cq. Direktorat Jenderal
Pembangunan Daerah ( BANGDA), tanggal 14 April 1997 nomor 538/PKK/IV/1997
Tentang Status Badan Hukum untuk lembaga keuangan syariah jis surat dari
menteri dalam negeri cq. Direktorat jenderal pembangunan daerah (bangda) jis UU
no. 25 tahun 1992 tentang koperasi.
2.
Norma-norma
yang digunakan dalam menetapkan keanggotakan, menentukan hak serta kewajiban
masing-masing anggota BMT, tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
mengatur koperasi, akan tetapi lebih banyak merujuk pada hukum islam tentang
syirkah, perseroan terbatas, perbankan, persekutuan firma, dan persekutuan komanditer
(sebagaimana yang diatur dalam KUHD).
3.
Norma
berkaitan dengan aspek modal usaha, BMT memiliki struktur modal yang sesuai
dengan UU No. 25 tahub 1992 jo. PP no. 9 tahun 1995.
4.
Norma
berkaitan dengan aspek simpanan anggota BMT mengacu ke UU No. 25 tahun 1992,
yaitu simpanan pokok dan simpanan wajib. Terdapat satu jenis simpanan, yaitu
simpana sukarela/tabungan meskipun sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992, akan
tetapi lebih banyak mengacu pada ketentuan UU perbankan tentang simpanan.
Penarikan simpanan sukarela dalam bentuk wadi’ah lebih sesuai dengan
pasal 1725 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pakai habis, ketentuan mudharabah
dalam hukum islam dan fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/200 tentang pembiayaan Mudharabah
(qiradh). Selain itu, terdapat pula jenis simpanan yang disebut
simpanan khusus (simpanan pokok khusus simpanan utama/saham), yang lebih banyak
mengacu pada ketentuan-ketentuan UU No. 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas
dan ketentuan dalam hukum islam yang mengatur tentang Musyarakah. [8]
Dalam menjalankan usahanya BMT tidak jauh dengan BPR syariah, yakni
menggunakan 5 prinsip:
1. Prinsip bagi hasil
Dengan prinsip ini ada pembagian hasil dari
pemberi pinjaman dengan BMT, yaitu al-mudharabah, al-musyarakah, al-muzaraah, dan al-musaqoh.
2. Sistem jual beli
Sistem ini merupakan suatu tata cara jual beli
yang dalam pelaksanaannya BMT mengangkat nasabah sebagai agen yang diberi kuasa
melakukan pembelian barang atas nama BMT, dan kemudian bertindak sebagai
penjual, dengan menjual barang yang telah dibelinya tersebut dengan ditambah
mark up. Keuntungan BMT nantinya akan dibagi kepada penyedia dana, yaitu bai’, al-murabahah, bai’ as-salam, bai’ al-istisna,
dan bai’ bitsaman ajil.
3. Sistem non-profit
Sistem yang sering disebut sebagai pembiayaan
kebijakan ini merupakan pembiayaan yang bersifat sosial dan non komersial.
Nasabah cukup mengembalikan pokok pinjamannya saja, yaitu al-Qordhul Hasan.
4. Akad bersyarikat
Akad bersyarikat adalah kerjasama antara dua pihak
atau lebih dan masing-masing pihak mengikut sertakan modal (dalam berbagai
bentuk) dengan perjanjian pembagian keuntungan atau kerugian yang disepakati,
yaitu al-musyarakah dan al-mudharabah.
5. Produk pembiayaan
Penyediaan uang dan tagihan berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam diantara BMT dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya beserta bagi hasil setelah jangka waktu
tertentu, yaitu pembiayaan al-murabahah (MBA), pembiayaan al-bai’
bitsaman ajil (DBA), pembiayaan al-mudharabah (MDA) dan pembiayaan al-musyarakah
(MSA)[9]
D.
Penghimpunan Dana dari Baitul Maal Wattamwil
1. Penyimpanan dan penggunaan dana
a. Sumber dana BMT, yaitu dari dana masyarakat, simpanan biasa, simpanan
berjangka atau deposito, dan lewat kerja antara lembaga dan institusi. Dalam
penggalangan dana BMT biasanya terjadi transaksi yang berulang-ulang, baik
penyetoran maupun penarikannya.
b. Kebiasaan penggalangan dana, yaitu penyandang dana rutin tapi tetap
besarnya dana biasanya variatif, penyandang dana rutin tidak tetap besarnya
dana biasanya variatif, dan penyandang dana rutin temporal-deposito minimal
Rp.1.000.000,- sampai Rp.5.000.000,-.
c. Pengambilan dana diantaranya, pengambilan dana rutin tertentu yang tetap,
pengambilan dana tidak rutin tetapi tertentu, pengambilan dana tidak tentu, dan
pengambilan dana sejumlah tertentu tapi pasti.
d. Penyimpanan dan penggalangan dalam masyarakat, yaitu memperhatikan
momentum, mampu memberikan keuntungan, memberikan rasa aman, pelayanan optimal,
dan profesionalisme.
2. Penggunaan dana
a. Penggalangan dana, digunakan untuk penyaluran melalui pembiayaan, kas
tangan, dan di tabungkan di BPRS atau di bank syariah.
b. Penggunaan dana masyarakat yang harus disalurkan kepada penggunaan dana BMT
yang rutin dan tetap, penggunaan dana BMT yang rutin tapi tidak tetap,
penggunaan dana BMT yang tidak tentu tapi tetap, dan penggunaan dana BMT tidak tentu.
c. Sistem pengangsuran atau pengembalian dana, yaitu pengangsuran yang rutin
dan tetap, pengangsuran yang tidak rutin dan tetap, pengangsuran yang jatuh
tempo, dan pengangsuran yang tidak tentu (kredit macet).
d. Klasifikasi pembiayaan, yaitu perdagangan, industri rumah tangga,
pertanian/peternakan/perikanan, konveksi, kontruksi, percetakan, dan jasa-jasa.
e. Jenis angsuran, meliputi harian, mingguan, 2 mingguan, bulanan, dan jatuh
tempo.
f. Antisipasi kemacetan dalam pembiayaan BMT, yaitu evaluasi terhadap kegiatan
pembiayaan, merevisi segala kegiatan pembiayaan, pemindahan akad baru, dan
mencarikan donatur yang bisa menutup pembiayaan.
3. Pelayanan zakat dan shadaqoh
a. Penggalangan dana Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (ZIS), yaitu ZIS masyarakat
dan lewat kerjasama antara BMT dengan
Lembaga Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (BAZIS).
b. Dalam penyaluran dana ZIS, yaitu digunakan untuk pemberian pembiayaan yang
sifatnya hanya membantu, pemberian bea sisiwa bagi peserta yang berprestasi
atau kurang mampu dalam membayar SPP, penutupan terhadap pembiayaan yang macet
karena faktor kesulitan pelunasan, dan membantu masyarakat yang perlu
pengobatan.[10]
E.
Kendala Baitul
Maal Wattamwil
Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala, walaupun
tidak berlaku sepenuh kendala ini disuatu BMT. Kendala tersebut sebagai
berikut:
1. Akumulasi kebutuhan dan masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT. Hal ini
yang menjadikan nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran dan kewajiban dari
nasabah cukup cepat, dan belum tentu pembiayaan yang diberikan BMT cukup
memadai untuk modal usaha masyarakat.
2. Walaupun keberadaan BMT cukup dikenal tapi masih banyak masyarakat berhubungan dengan rentenir. Hal
ini disebabkan masyarakat membutuhkan pemenuhan dana yang memadai dan pelayanan
yang cepat, walaupun ia membayar bunga yang cukup tinggi. Ternyata ada beberapa
daerah yang terdapat BMT masih ada rentenir, artinya BMT belum mampu memberikan
pelayanan yang memadai dalam jumlah dana dan waktu.
3. Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah yang
bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah di satu tempat tetapi di tempat lain juga bermasalah. Oleh karena itu perlu
upaya dari masing-masing BMT untuk melakukan koordinasi dalam rangka
mempersempit gerak nasabah yang bermasalah.
4. BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan,
bukan sebagai partner dalam upaya untuk mengeluarkan
masyarakat dari permasalahan ekonomi yang ia hadapi. Keadaan ini kadang
menciptakan iklim persaingan yang tidak islami, bahkan ini mempengaruhi pola
pengelolaan BMT tersebut lebih pragmatis.
5. Dalam kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih
berorientasi pada persoalan bisnis (business oriented). Sehungga timbul
kecenderungan kegiatan BMT bernuansa pragmatis lebih dominan dari pada kegiatan yang bernuansa idealis.
6. Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT
mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional terutama untuk produk yang
berprinsip jual beli (bai’). Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk
berfikir profit oriented dari pada memahamkan aspek syariah, lewat cara
membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga
keuangan konvensional.
7. BMT lebih cenderung menjadi baitut tamwil dari pada baitul maal. Dimana lebih banyak menghimpun dana yang digunakan untuk bisnis dari pada
untuk mengelola zakat, infaq, dan shodaqoh.
8. Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi BMT tersebut dalam menangkap masalah-masalah
dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT tersebut kurang.[11]
III. PENUTUP
A. Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan bentuk lembaga keuangan dan
bisnis yang serupa dengan koperasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Baitut
tamwil merupakan cikal bakal lahirnya bank syari’ah pada tahun 1992.
B. Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul peluang untuk
mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Operasionalisasi BMI kurang
menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah, maka muncul usaha untuk
mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR syariah dan BMT yang bertujuan
untuk mengatasi hambatan operasionalisasi di daerah.
C. Norma-norma yang digunakan BMT saat ini diantaranya: (1) Aspek kelembagaan
BMT didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri RI cq (2) Norma dalam menetapkan
keanggotakan, hak, dan kewajiban anggota BMT (3) Norma tentang aspek modal
usaha (4) Norma tentang aspek simpanan anggota BMT (UU No. 25 tahun 1992)
Adapun dalam menjalankan usahanya BMT menggunakan 5 prinsip yaitu: prinsip bagi hasil, sistem jual beli, sistem non-profit, akad bersyarikat, produk pembiayaan
D. Penghimbunan dana dari BMT yaitu; (1) Penyimpanan dan penggunaan dana, yaitu dari pengambilan dana, penyimpanan dan penggalangan dalam masyarakat (2) penggunaan dana, yaitu penggalangan dana, penggunaan dana masyarakat, penggunaan dana BMT, sistem pengangsuran atau pengembalian dana, klasifikasi pembiayaan, jenis angsuran, antisipasi kemacetan dalam pembiayaan BMT (3)
Pelayanan zakat dan shadaqoh, yaitu penggalangan dana Zakat, Infaq, dan Shadaqoh
(ZIS), dan penyaluran dana ZIS.
E. Kendala dari BMT diantaranya (1) Akumulasi kebutuhan dan masyarakat belum
bisa dipenuhi oleh BMT (2) Masih banyak
masyarakat berhubungan dengan rentenir (3) Beberapa BMT cenderung
menghadapi masalah yang sama (4) BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai
lawan yang harus dikalahkan (5) Lebih berorientasi pada persoalan bisnis (business
oriented). (6) Mempertimbangkan besarnya bunga di bank
konvensional. (7) BMT lebih cenderung menjadi baitut tamwil dari pada baitul maal. (8) Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi.
Demikian makalah ini penulis susun,
semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M. Syafi’i. 2006. Bank
Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi. 1997. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Barlinti, Yeni Salma. 2010. Kedudukan
Fatwa Dewan Syariah Nasional. Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agam RI.
Doi, A. Rahman I. 1996. Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hamidi, M. Luthfi. 2003. Jejak-Jejak Ekonomi. Jakarta Selatan: Senyan Abadi Publishing.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.
[4]
M. Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah, ( Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 135.
[5]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm.96.
[6]
M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi, (Jakarta
Selatan: Senyan Abadi Publishing, 2003), hlm. 87.
[8]
Yeni Salma
Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agam RI, 2010) hlm. 308.
[9]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 101-102.
[10]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 103-105.
[11]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 108-109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar