Kamis, 16 Januari 2014

BAITUL MAAL WATTAMWIL



BAITUL MAAL WATTAMWIL

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen pengampu: Dr. Ahwan Fanani, M.Ag

Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Disusun Oleh:
Muhammad Hasani                 123111111
Nur Kaokabbuddin                 123111121
Umi Mukaromah                     123111157


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.       PENDAHULUAN
Lahirnya pendirian BMT terjadi pada tahun 1990-an bersamaan dengan usaha pendirian bank syariah. Keberadaan BMT semakin meluas dengan disahkannya UU No. 7 Th. 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Th. 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat Bagi Hasil. Hal ini disebabkan ketentuan dalam UU No. 7 Th. 1992 dan PP No. 72 Th. 1992 telah membuka peluang pelaksanaan perbankan dengan sistem berdasarkan syariah, dan salah satu bentuk badan hukum kegiatan perbankan ini adalah koperasi. Banyak yang berpendapat bahwa landasan yuridis kegiatan usaha yang dilaksanakan oleh BMT ini adalah kedua peraturan tersebut, karena BMT merupakan balai usaha mandiri terpadu yang mendorong kegiatan ekonomi masyarakat pada skala usaha kecil dan menengah.[1]
Dalam masalah Baitul Mal yang merupakan perbendaraan Negara, dipisahkan harta Negara dari harta kepala Negara dan dari milik pribadinya. Syara’ menetapkan bahwa Baitul Mal mempunyai hak berdiri sendiri, mengendalikan harta rakyat, dapat memiliki, dapat dimiliki dan dapat dituntut, dapat menerima tarikah orang meninggal yang tak ada warisnya, ataupun menerima wasiat dan dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat. Semuanya ini dilakukan oleh Amil Baitul Mal sebagai ganti Kepala Negara. Kepala Negara tidak mempunyai hak dari Baitu Mal, selain dari sekedar yangdiperlukan untuk nafakahnya. Dia tidak boleh mengeluarkan kekayaan Baitul Mal kecuali pengeluaran yang dibenarkan oleh syara’.[2]
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
A.    Apa pengertian dari Baitul Maal Wattamwil?
B.     Bagaimana sejarah berdirinya Baitul Maal Wattamwil?
C.     Bagaimana norma dan prinsip dalam pengoperasian Baitul Maal Wattamwil?
D.    Bagaimana penghimpunan dana dari Baitul Maal Wattamwil?
E.     Apa saja kendala dari Baitul Maal Wattamwil?

II.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Baitul Maal Wattamwil
Baitul maal wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit. Baitul maal berarti pembendaharaan negara. Konsep tentang baitul maal adalah konsep amanah yaitu harta kekayaan baitul maal dianggap sebagai harta kekayaan Allah.[3] Sumber dana yang dikumpulkan dari baitul maal adalah sebagai berikut; zakat, sedekah,  dan pajak. Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah.
Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan bentuk lembaga keuangan dan bisnis yang serupa dengan koperasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Baitut tamwil merupakan cikal bakal lahirnya bank syari’ah pada tahun 1992. Segmen masyarakat yang biasanya dilayani BMT adalah masyarakat kecil yang kesulitan berhubungan dengan bank.[4]
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya, PINBUK menetaskan BMT, dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keungan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup (ilmu pengetahuan maupun materi) maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.[5]

B.     Sejarah Berdirinya Baitul Maal Wattamwil
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Operasionalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah, maka muncul usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR syariah dan BMT yang bertujuan untuk mengatasi hambatan operasionalisasi di daerah.
Disamping itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup serba berkecukupan muncul kekhawatiran akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan hanya dipengaruhi dari aspek syiar islam tetapi juga dipengaruhi oleh lemahnya ekonomi masyarakat. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah SAW, “kefakiran itu mendekati kekufuran.” Maka keberadaan BMT diharapkan mampu mangatasi masalah ini lewat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat.
Peran BMT dalam memberikan kontribusi kepada bergeraknya roda ekonomi kecil, jelas riil. Sementara perbankan dililit “lemak” dana yang tak mampu disalurkan, BMT langsung masuk kepengusaha. Tapi bukan itu saja nilai strategis BMT. Satu yang paling istimewa, BMT juga menjadi agen pengembangan dan penyatun masyarakat papa.[6]
Dilain pihak, beberapa masyarakat harus menghadapi rentenir atau lintah darat. Besarnya pengaruh rentenir terhadap perekonomian masyarakat tidak lain karena tidak adanya unsur-unsur yang cukup akomodatif dalam menyelesaikan masalah yang masyarakat hadapi. Oleh karena itu, BMT diharapakan mampu berperan lebih aktif dalam memperbaiki kondisi ini.
Dengan keadaan tersebut, keberadaan BMT setidaknya mempunyai beberapa peran:
1.      Menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi non-syariah. Aktif melakukan sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti penting sistem ekonomi islami. Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara bertransaksi yang islami, misalnya supaya ada bukti dalam transaksi, dilarang curang dalam menimbang barang, jujur terhadap konsumen dan sebagainya.
2.      Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-usaha nasabah atau masyarakat umum.
3.      Melepaskan ketergantunga pada rentenir masyarakat yang masih tergantung rentenir di sebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam memenuhi dana dengan segera. Maka BMT harus mampu melayanui masyarakat lebih baik, misalnya selalu tersedia dana setiap saat, birokrasi yang sederhana dan lain sebagainya.
4.      Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk melakukan evaluasi dalam rangka pemerataan skala prioritas yang harus di perhatikan, misalnya dalam masalah pembiayaan, BMT harus memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis pembiayaan.[7]
Untuk meningkatkan peran BMT dalam kehidupan ekonomi masyarakat, maka BMT terbuka untuk menciptakan produk baru. Tetapi produk tersebut harus memenuhi syarat:
1.      Sesuai dengan syari’at dan disetujui oleh dewan syariat
2.      Dapat ditangani oleh sistem operasi BMT bersangkutan
3.      Membawa kemaslahatan bagi masyarakat

C.    Norma dan Prinsip dalam Pengoperasian Baitul Maal Wattamwil
Norma-norma yang digunakan BMT saat ini sangat beragam, diantaranya:
1.      Aspek kelembagaan BMT didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri RI cq. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah ( BANGDA), tanggal 14 April 1997 nomor 538/PKK/IV/1997 Tentang Status Badan Hukum untuk lembaga keuangan syariah jis surat dari menteri dalam negeri cq. Direktorat jenderal pembangunan daerah (bangda) jis UU no. 25 tahun 1992 tentang koperasi.
2.      Norma-norma yang digunakan dalam menetapkan keanggotakan, menentukan hak serta kewajiban masing-masing anggota BMT, tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur koperasi, akan tetapi lebih banyak merujuk pada hukum islam tentang syirkah, perseroan terbatas, perbankan, persekutuan firma, dan persekutuan komanditer (sebagaimana yang diatur dalam KUHD).
3.      Norma berkaitan dengan aspek modal usaha, BMT memiliki struktur modal yang sesuai dengan UU No. 25 tahub 1992 jo. PP no. 9 tahun 1995.
4.      Norma berkaitan dengan aspek simpanan anggota BMT mengacu ke UU No. 25 tahun 1992, yaitu simpanan pokok dan simpanan wajib. Terdapat satu jenis simpanan, yaitu simpana sukarela/tabungan meskipun sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992, akan tetapi lebih banyak mengacu pada ketentuan UU perbankan tentang simpanan. Penarikan simpanan sukarela dalam bentuk wadi’ah lebih sesuai dengan pasal 1725 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pakai habis, ketentuan mudharabah dalam hukum islam dan fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/200 tentang pembiayaan Mudharabah (qiradh). Selain itu, terdapat pula jenis simpanan yang disebut simpanan khusus (simpanan pokok khusus simpanan utama/saham), yang lebih banyak mengacu pada ketentuan-ketentuan UU No. 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas dan ketentuan dalam hukum islam yang mengatur tentang Musyarakah. [8]
Dalam menjalankan usahanya BMT tidak jauh dengan BPR syariah, yakni menggunakan 5 prinsip:
1.      Prinsip bagi hasil
Dengan prinsip ini ada pembagian hasil dari pemberi pinjaman dengan BMT, yaitu al-mudharabah, al-musyarakah, al-muzaraah, dan al-musaqoh.
2.      Sistem jual beli
Sistem ini merupakan suatu tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya BMT mengangkat nasabah sebagai agen yang diberi kuasa melakukan pembelian barang atas nama BMT, dan kemudian bertindak sebagai penjual, dengan menjual barang yang telah dibelinya tersebut dengan ditambah mark up. Keuntungan BMT nantinya akan dibagi kepada penyedia dana, yaitu bai’, al-murabahah, bai’ as-salam, bai’ al-istisna, dan bai’ bitsaman ajil.
3.      Sistem non-profit
Sistem yang sering disebut sebagai pembiayaan kebijakan ini merupakan pembiayaan yang bersifat sosial dan non komersial. Nasabah cukup mengembalikan pokok pinjamannya saja, yaitu al-Qordhul Hasan.
4.      Akad bersyarikat
Akad bersyarikat adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih dan masing-masing pihak mengikut sertakan modal (dalam berbagai bentuk) dengan perjanjian pembagian keuntungan atau kerugian yang disepakati, yaitu al-musyarakah dan al-mudharabah.
5.      Produk pembiayaan
Penyediaan uang dan tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam diantara BMT dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya beserta bagi hasil setelah jangka waktu tertentu, yaitu pembiayaan al-murabahah (MBA), pembiayaan al-bai’ bitsaman ajil (DBA), pembiayaan al-mudharabah (MDA) dan pembiayaan al-musyarakah (MSA)[9]

D.    Penghimpunan Dana dari Baitul Maal Wattamwil
1.      Penyimpanan dan penggunaan dana
a.       Sumber dana BMT, yaitu dari dana masyarakat, simpanan biasa, simpanan berjangka atau deposito, dan lewat kerja antara lembaga dan institusi. Dalam penggalangan dana BMT biasanya terjadi transaksi yang berulang-ulang, baik penyetoran maupun penarikannya.
b.      Kebiasaan penggalangan dana, yaitu penyandang dana rutin tapi tetap besarnya dana biasanya variatif, penyandang dana rutin tidak tetap besarnya dana biasanya variatif, dan penyandang dana rutin temporal-deposito minimal Rp.1.000.000,- sampai Rp.5.000.000,-.
c.       Pengambilan dana diantaranya, pengambilan dana rutin tertentu yang tetap, pengambilan dana tidak rutin tetapi tertentu, pengambilan dana tidak tentu, dan pengambilan dana sejumlah tertentu tapi pasti.
d.      Penyimpanan dan penggalangan dalam masyarakat, yaitu memperhatikan momentum, mampu memberikan keuntungan, memberikan rasa aman, pelayanan optimal, dan profesionalisme.
2.      Penggunaan dana
a.       Penggalangan dana, digunakan untuk penyaluran melalui pembiayaan, kas tangan, dan di tabungkan di BPRS atau di bank syariah.
b.      Penggunaan dana masyarakat yang harus disalurkan kepada penggunaan dana BMT yang rutin dan tetap, penggunaan dana BMT yang rutin tapi tidak tetap, penggunaan dana BMT yang tidak tentu tapi tetap, dan penggunaan dana BMT  tidak tentu.
c.       Sistem pengangsuran atau pengembalian dana, yaitu pengangsuran yang rutin dan tetap, pengangsuran yang tidak rutin dan tetap, pengangsuran yang jatuh tempo, dan pengangsuran yang tidak tentu (kredit macet).
d.      Klasifikasi pembiayaan, yaitu perdagangan, industri rumah tangga, pertanian/peternakan/perikanan, konveksi, kontruksi, percetakan, dan jasa-jasa.
e.       Jenis angsuran, meliputi harian, mingguan, 2 mingguan, bulanan, dan jatuh tempo.
f.       Antisipasi kemacetan dalam pembiayaan BMT, yaitu evaluasi terhadap kegiatan pembiayaan, merevisi segala kegiatan pembiayaan, pemindahan akad baru, dan mencarikan donatur yang bisa menutup pembiayaan.
3.      Pelayanan zakat dan shadaqoh
a.       Penggalangan dana Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (ZIS), yaitu ZIS masyarakat dan  lewat kerjasama antara BMT dengan Lembaga Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (BAZIS).
b.      Dalam penyaluran dana ZIS, yaitu digunakan untuk pemberian pembiayaan yang sifatnya hanya membantu, pemberian bea sisiwa bagi peserta yang berprestasi atau kurang mampu dalam membayar SPP, penutupan terhadap pembiayaan yang macet karena faktor kesulitan pelunasan, dan membantu masyarakat yang perlu pengobatan.[10]

E.     Kendala Baitul Maal Wattamwil
Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala, walaupun tidak berlaku sepenuh kendala ini disuatu BMT. Kendala tersebut sebagai berikut:
1.      Akumulasi kebutuhan dan masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT. Hal ini yang menjadikan nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran dan kewajiban dari nasabah cukup cepat, dan belum tentu pembiayaan yang diberikan BMT cukup memadai untuk modal usaha masyarakat.
2.      Walaupun keberadaan BMT cukup dikenal tapi masih banyak  masyarakat berhubungan dengan rentenir. Hal ini disebabkan masyarakat membutuhkan pemenuhan dana yang memadai dan pelayanan yang cepat, walaupun ia membayar bunga yang cukup tinggi. Ternyata ada beberapa daerah yang terdapat BMT masih ada rentenir, artinya BMT belum mampu memberikan pelayanan yang memadai dalam jumlah dana dan waktu.
3.      Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah yang bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah di satu tempat tetapi di tempat lain juga bermasalah. Oleh karena itu perlu upaya dari masing-masing BMT untuk melakukan koordinasi dalam rangka mempersempit gerak nasabah yang bermasalah.
4.      BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan, bukan sebagai partner dalam upaya untuk mengeluarkan masyarakat dari permasalahan ekonomi yang ia hadapi. Keadaan ini kadang menciptakan iklim persaingan yang tidak islami, bahkan ini mempengaruhi pola pengelolaan BMT tersebut lebih pragmatis.
5.      Dalam kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih berorientasi pada persoalan bisnis (business oriented). Sehungga timbul kecenderungan kegiatan BMT bernuansa pragmatis lebih dominan dari pada kegiatan yang bernuansa idealis.
6.      Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional terutama untuk produk yang berprinsip jual beli (bai’). Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk berfikir profit oriented dari pada memahamkan aspek syariah, lewat cara membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga keuangan konvensional.
7.      BMT lebih cenderung menjadi baitut tamwil dari pada baitul maal. Dimana lebih banyak menghimpun dana yang digunakan untuk bisnis dari pada untuk mengelola zakat, infaq, dan shodaqoh.
8.      Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi BMT tersebut dalam menangkap masalah-masalah dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT tersebut kurang.[11] 

III. PENUTUP
A.    Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan bentuk lembaga keuangan dan bisnis yang serupa dengan koperasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Baitut tamwil merupakan cikal bakal lahirnya bank syari’ah pada tahun 1992.
B.     Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Operasionalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah, maka muncul usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR syariah dan BMT yang bertujuan untuk mengatasi hambatan operasionalisasi di daerah.
C.     Norma-norma yang digunakan BMT saat ini diantaranya: (1) Aspek kelembagaan BMT didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri RI cq (2) Norma dalam menetapkan keanggotakan, hak, dan kewajiban anggota BMT (3) Norma tentang aspek modal usaha (4) Norma tentang aspek simpanan anggota BMT (UU No. 25 tahun 1992)
Adapun dalam menjalankan usahanya BMT menggunakan 5 prinsip yaitu: prinsip bagi hasil, sistem jual beli, sistem non-profit, akad bersyarikat, produk pembiayaan
D.    Penghimbunan dana dari BMT yaitu; (1) Penyimpanan dan penggunaan dana, yaitu dari pengambilan dana, penyimpanan dan penggalangan dalam masyarakat (2) penggunaan dana, yaitu penggalangan dana, penggunaan dana masyarakat, penggunaan dana BMT, sistem pengangsuran atau pengembalian dana, klasifikasi pembiayaan, jenis angsuran, antisipasi kemacetan dalam pembiayaan BMT (3) Pelayanan zakat dan shadaqoh, yaitu penggalangan dana Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (ZIS), dan penyaluran dana ZIS.
E.     Kendala dari BMT diantaranya (1) Akumulasi kebutuhan dan masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT (2) Masih banyak  masyarakat berhubungan dengan rentenir (3) Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama (4) BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan (5) Lebih berorientasi pada persoalan bisnis (business oriented). (6) Mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional. (7) BMT lebih cenderung menjadi baitut tamwil dari pada baitul maal. (8) Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi.
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
  

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafi’i. 2006. Bank Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Barlinti, Yeni Salma. 2010. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agam RI.
Doi, A. Rahman I. 1996. Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hamidi, M. Luthfi. 2003. Jejak-Jejak Ekonomi. Jakarta Selatan: Senyan Abadi Publishing.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.



                [1] Yeni Salma Berlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), hlm. 308-309.
                [2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 199.
[3] A. Rahman I Doi, Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 75.
[4] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, ( Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 135.
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm.96.
[6] M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi, (Jakarta Selatan: Senyan Abadi Publishing, 2003), hlm. 87.
[7]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 97-98.
[8] Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agam RI, 2010) hlm. 308.
[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 101-102.
[10] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 103-105.

[11] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 108-109.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar