MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ushul Fiqh II
Dosen
pengampu: Amin Farih, M.Ag.
Disusun
Oleh:
Umi Mukaromah 123111157
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang ini banyak sekali diperdebatkan
masalah-masalah dalam menggali dan menetapkan hukum islam, terutama mengenai
permasalahan
mazhab. Dikalangan masyarakat, banyak
yang mempermasalahkan mazhab-mazhab tersebut. Sebagai contoh ada seseorang yang
beranggapan bahwa mazhab Syafi`i yang paling benar, ada pula yang mengatakan
bahwa mazhab Hambali-lah yang paling benar. Dan bahkan ada yang menggunakan dua
mazhab sekaligus.
Permasalahan-permasalahan tersebut ada
pembahasannya di dalam Ushul Fiqh, yang mana kita kenal dengan
istilah “talfiq”. Talfiq adalah pembahasan dalam Ushul Fiqh yang ramai dan tetap
hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama
juga masyarakat kita di Indonesia. Oleh karena itu, kita dituntut agar
mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh terutama untuk materi
ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau
pertanyaan tentang masalah-masalah tersebut di masyarakat. Makalah ini
menguraikan masalah yang berkenaan dengan talfiq di dalam islam dan bagaimana
hukum talfiq itu sendiri.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah
pengertian dari talfiq?
B.
Bagaimanakah
hukum-hukum talfiq dalam fiqh?
C.
Bagaimanakah
memilih pendapat yang ringan?
D.
Bagaimanakah
kontrofersi tentang pelarangan talfiq?
E.
Bagaimanakah
talfiq yang dilarang dalam hukum islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Talfiq
Talfiq (التلفيق) adalah masdar dari kata لفق- يلفق- تفليقا yang secara bahasa
berarti mencampur adukkan. Menurut istilahnya adalah berbuat dalam suatu
masalah (hukum) yang menurut hukum terdiri dari kumpulan (gabungan) dua madzhab
atau lebih.
Dengan kata lain talfiq adalah berpindah-pindah madzhab. Misalnya dalam
melakukan sholat seseorang mengikuti madzhab Hanafi sedangkan masalah cara dan
yang membatalkan wudhu mengikuti madzhab Syafi’i.[1]
Dalam penjelasan lain, talfiq adalah:
اَلتَّلْفِيْقُ : أَخْذُجَمِيْعِ اْلأَحْكَامِ اْلمُتَعَلِّقَةِ بِوَسَائِلِ
اْلمَسْئَلَةِ وَمُقَدَّمَا تِهَا مِنْ مَذَاهِبَ وَأَرَاءٍ مُخْتَلِفَةٍ
“Mengambil beberapa hukum yang berpautan dengan wasilah-wasilah
dan muqadimah-muqadimah sesuatu masalah dari berbagai madzhab dan
bermacam-macam pendapat.”[2]
Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti
setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang
dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja
dengan arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah tuk
dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang
dicela para ulama’. Jadi pada hakikatnya talfiq itu dasarnya ialah niat. Jika
niat melakukannya semata untuk mencari kebenaran maka itu tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Sebaliknya jika tujuannya bukan untuk mencari
keridhaan Allah, maka yang demikian tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.[3]
B. Hukum-Hukum Talfiq dalam Fiqh
Adapun beberapa pendapat tentang hukum talfiq dalam fiqh, yaitu:
1. Menyatakan bahwa bila seseorang telah memilih salah satu madzhab maka ia
harus tetap berpegang teguh pada madzhabnya itu. Ia tidak dibenarkan berpindah
pada madzhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pendapat ini
dipelopori oleh Imam al-Quffal Syasyi dari golongan Syafi’iyah.
2. Menyatakan bahwa seseorang telah memilih satu madzhab boleh pindah pada
madzhab lain, walaupun dengan alasan mencari keringanan, dengan catatan tidak
terjadi dalam satu kasus yang menurut masing-masing Imam Madzhab yang diikuti
dianggap batal atau tidak sah. Misalnya, madzhab Syafi’i memandang batal wudhu
karena bersentuhan kulit lelaki dengan perempuan yang bukan muhrim, sedangkan
madzhab Maliki tidak membatalkannya. Jikalau pengikut Syafi’i ingin ikut pada
Maliki tentang hal ini, maka cara wudhunya harus juga mengikuti cara Maliki,
misalnya dengan menggosok-gosokkan anggota wudhunya. Pendapat ini dipelopori
oleh Imam Qarafi dari golongan Malikiyah.
3. Menyatakan bahwa talfiq itu hukumnya mubah, dipelopori oleh Imam al-Kamal
Humam dari golongan Hanafiyah. Sehingga kalau ikut paham madzhab lain tidak
harus secara keseluruhannya, misalnya orang yang ikut madzhab Maliki yang tidak
batal wudhu manakala bersentuhan dengan lain jenis, maka cara wudhunya tidak
harus seperti madzhab Maliki.[4]
4. Menyatakan bahwa orang awam harus mengikuti suatu madzhab tertentu, tidak
boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena ia tidak mempunyai kemampuan
untuk memilih. Dan karena itu ia belum boleh melakukan talfiq. Apabila pintu
ini dibuka bagi mereka, besar kemungkinan ia mengikuti pendapat yang salah.
Disamping itu kebolehan ini dapat menimbulkan sikap meremehkan agama, yakni dengan
memilih yang mudah menurutnya itu.
5. Membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang
bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqkan itu.
6. Membolehkan talfiq tanpa syarat, dengan maksud mencari yang ringan-ringan
dan sesuai dengan kehendak dirinya.
7. Talfiq dalam masalah ibadat seharusnya dibatasi, sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan sikap memandang enteng ibadat yang ditunaikan untuk mencari
keridhaan Allah, karena hal ini akan menimbulkan kekurang khusukan dalam beribadat.
8.
Melakukan talfiq dalam perundang-undangan
sangat diperlukan, karena banyak hubungannya dengan kepentingan masyarakat.
Dalam hal ini pemerintah Mesir telah melakukannya, seperti terlihat pada
Undang-Undang wakaf, Undang-Undang wasiat, keluarga, dan sebagainya, demikian
pula pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan.[5]
Sehubungan dengan talfiq ini perlu direnungkan riwayat
yang menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah suatu ketika shalat subuh tanpa do’a
qunut bersama kaum Hanafiyah. Maka terjadi dialog antara beliau dengan ulama’
Hanafiyah itu; “Mengapa Tuan tidak berqunut, apakah Tuan sengaja atau lupa?
Jawaban beliau; Bukan saya lupa. Tetapi saya sengaja. Mengapa demikian padahal
madzhab Tuan mensyari’atkan qunut? Jawaban beliau; Saya berbuat demikian karena demi
penghargaan saya kepada Hanafi.
Dari kasus ini nampak sikap tasamuhnya antar mujatahin
itu, betapa tidak, menurut syari’at orang yang paling berhak menjadi Imam
sholat adalah shohibul bait, sementara orang-orang Hanafi mempersilahkan Imam
Syafi’i menjadi imam karena ingin menghormatinya, namun pada waktu mengimami
shalat, Imam Syafi’i juga ingin menghormati shohibul bait dengan cara tidak
melakukan do’a qunut.[6]
C. Memilih Pendapat yang Ringan
Menurut pendapat yang dipilih para ulama’, seorang muqallid boleh mengambil
sesuatu masalah dari seorang mujtahid lain dan boleh ia mengambil beberapa
masalah dari sesuatu madzhab dan beberapa masalah lagi madzhab yang lain.[7]
Dalam pada itu, Ibnu Amril Haj Al Hanafi, berkata:
وَلَيْسَ بِضَا ئِرٍعَلَى اْلمُكَلَّفِ أَنْ يَتَّبِعَ
الرُّخَصَ كَيْفَمَا كَانَ
“Tidak ada halangan seseorang mukallaf mencari-cari
mana yang mudah.”
Mencari-cari mana yang mudah, ialah mengambil dari tiap-tiap madzhab mana
yang enteng. Dan inilah yang diperselisihkan. Adapun yang telah diputuskan oleh
hakim, dengan menyalahi nash dan qiyas yang jali, maka itu terang dilarang.
Para ulama dalam menghadapi masalah mencari-cari mana yang mudah, terbagi
menjadi beberapa bagian:
1. Ada yang tidak membolehkan seperti Al Ghazali, Asy Syathibi, Al Jalalul
Mahalli.
2. Ada yang membolehkan dengan syarat, Al Izz Ibn Abdi Salam berkata: “Manusia
sejak dari zaman sahabat hingga lahir madzhab-madzhab itu, bertanya tentang apa
yang mereka perlukan kepada ulama’-ulama’ yang berbeda-beda pendapat tanpa ada
teguran dari siapapun, baik ia mengikuti yang mudah-mudah saja, ataupun ia
mengikuti yang berat, karena orang yang menjadikan orang yang benar dalam suatu
masalah seorang saja, yang tidak ditentukan dan menjadikan yang benar itu,
berbilang tidak meniadakan jalan untuk menghalangi orang mengambil mana yang
mudah dalam suatu perbuatan, yang mewujudkan talfiq pada hukum-hukum yang
satu.”
Ibnul Aththar berkata: “Kesimpulannya boleh talfiq, boleh
mencari-cari yang mudah-mudah. Cuma jangan mencari-cari yang mudah itu dalam
suatu hukum yang diperoleh dari dua ijtihad.”
3. Ada yang membolehkan tanpa sesuatu, seperti Al Kamal Ibn Humam. Beliau
berkata: “Tak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena
seorang manusia, boleh mengambil mana yang enteng apabila ia memperoleh jalan
untuk itu.”
4. Ibnu Amiril Haj juga menetapkan bahwa mengikuti mana-mana yang mudah, tidak
dihalangi oleh syara’.
5. Abu Ishaq Al-Marmawi Asy Syafi’i juga membolehkan. Sebenarnya seorang awam
yang tidak mengetahui sebagian dari ilmu yang membawa kepada ijtihad, lazim ia
amalkan pada tiap-tiap masalah apa yang difatwakan oleh muftinya. Karena
bermadzhab dengan sesuatu madzhab hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai sedikit
keahlian dalam mengambil dalil terhadap sesuatu masalah. Demikian mengenai
seseorang. Adapun jama’ah yang sedang berusaha menyusun Undang-Undang (kitab
hukum), maka mereka dibolehkan mencari mana-mana yang lain, agar mudahlah
baginya memilih hukum yang sesuai dengan masa dan suasana lingkungan dari
kumpulan madzhab fiqh.[8]
D.
Kontrofersi tentang Pelarangan Talfiq
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi masalah talfiq, sebagian mereka melarang secara
mutlak, sebagian lagi membolehkan secara mutlak, dan sebagian yang lain lagi
membolehkannya secara bersyarat.
Ulama yang melarang talfiq secara
mutlak mengemukakan argumen bahwa membolehkan berpindah-pindah madzhab akan berdampak
pada timbulnya kekacauan dalam beragama, atau akan terbuka sikap memilih-milih
pendapat untuk menghindari beban talfiq. Contohnya seperti dalam kasus
perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi
membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan
tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa
mahar.[9]
Perselisihan pendapat, selama tidak mengenai aqidah dan dasar-dasar agama
serta prinsip-prinsip yang pokok, seharusnya tidak boleh menjadi sebab
timbulnya perselisihan/perpecahan diantara umat Islam, lebuh-lebih lagi karena
para fuqoha semuanya mengambil hukum dari sumber yang disepakati, walaupun
mereka berselisih dalam mengartikan kata-kata dalam nash dan maksud-maksudnya. Sebenarnya perselisihan faham dalam hal ini menunjukkan kepada
kematangan fikiran. Seyogyanya kita harus memahami segala pendapat dan harus
melapangkan dada, selama tujuan kita masih satu dan selama problem ilmiah masih
merupakan hak bersama yang dapat dianalisa.[10]
Adapun beberapa sebab terjadinya perbedaan pendapat antara lain:
1. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik
dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
2. Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada
sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai
kepada ulama yang lain.
3. Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul.
4. Berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih
(menguatkan satu dalil atas dalil yang lain).
5. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi.[11]
Ulama yang membolehkan talfiq
secara mutlak mengemukakan alasan bahwa secara syar’i setiap orang awam boleh
bertanya kepada siapa saja asalkan orang ‘alim, dan orang awam boleh
mengamalkan pendapat yang manapun tanpa harus mengikuti madzhab tertentu,
karena orang awam tidak punya madzhab (al-‘amie laa madzhaba lahum). Demikian telah berjalan
semenjak masa Rasulullah masih hidup sampai masa sahabat, tabi’in dan masa-masa
seterusnya, tidak ada larangan apapun.
Sedangkan ulama yang membolehkan
talfiq secara bersyarat, yaitu harus satu qadhiyah, atau satu perkara atau satu
urusan tertentu. Misalnya perkara shalat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu,
perkara zakat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, dan perkara-perkara agama
lainnya. Dasar pemikiran pendapat ini sama dengan pendapat pertama, yaitu agar dapat
menghindari terjadinya kekacauan dalam beragama.
E.
Talfiq yang Dilarang dalam Hukum
Islam
Talfiq
merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang
telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan
kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di
kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam
lapangan fiqh.[12]
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di
dalam kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di
kalangan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya
adalah masalah baru yang kita kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang
sengaja dibuat oleh ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad
kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid yang mulai
dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam ketika itu.[13]
Meskipun sebagian ulama
memperbolehkan talfiq, terutama dari kalangan ulama mutaakhirin akan tetapi
kebolehan talfiq itu tidaklah bersifat mutlak, bahkan kebolehannya terbatas di
dalam ruang lingkup tertentu. Diantara
talfiq yang dilarang adalah talfiq yang batal karena esensinya (dzatnya), sebagaimana
talfiq yang mengakibatkan halalnya hal-hal haram seperti minuman keras, zina
dan lainnya.
Kemudian ada pula talfiq yang dilarang bukan karena
dzatnya akan tetapi karena hal lain, talfiq bentuk kedua ini yang dilarang adalah
sebagai berikut:[14]
a.
Talfiq
yang secara sengaja dimaksudkan mencari yang ringan-ringan saja (tatabbu’ ar rukhash) dalam hukum syara’ misalnya, seseorang mengambil dari
masing-masing madzhab pendapat yang paling lemah, tanpa terdesak oleh darurat
atau alasan lain. Hal ini dilarang dalam rangka menutup pintu kerusakan akibat
menyepelekan hukum syara’. Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari
setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang
demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari
beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam juga tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan.”
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam juga tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan.”
Contoh:
seperti dalam kasus perkawinan,
sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan
perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar.
Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar.[15]
Dia hanya mencari yang ringan-ringan saja dan tidak
dalam keadaan darurat. Talfiq seperti ini tidak diperbolehkan, karena
menyepelekan hukum syara’.
Imam al-Quffal Syasyi dari golongan Syafi’iyah
menyatakan bahwa bila seseorang telah memilih salah satu madzhab maka ia harus
tetap berpegang teguh pada madzhabnya itu. Ia tidak dibenarkan berpindah pada
madzhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.[16]
Ada pula yang menyatakan bahwa orang awam
harus mengikuti suatu madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang
ringan karena ia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Dan karena itu ia
belum boleh melakukan talfiq. Apabila pintu ini dibuka bagi mereka, besar
kemungkinan ia mengikuti pendapat yang salah. Disamping itu kebolehan ini dapat
menimbulkan sikap meremehkan agama, yakni dengan memilih yang mudah menurutnya
itu.[17]
Al-Ghazali, Asy Syathibi, dan Al Jalalul Mahalli juga tidak memperbolehkan mencari-cari
mana yang mudah.[18]
b.
Talfiq
yang dapat berakibat pembatalan putusan hakim, menghilangkan persengketaan,
dalam rangka menghindari kekacauan. Contoh: ada sebuah kejadian, pencurian
misalnya. Dalam kasus ini hakim sudah mengeluarkan putusan, kemudian ada orang
menentang putusan hakim denga alasan talfiq. Dia berdalih menurut madzhab ini
misalnya, kasus pencurian tidak diqishas.
Nah,
talfiq yang seperti ini tidak diperbolehkan karena
حُكْمُ الْحَاكِمِ
يَلْزَمُ وَيَرْفَعُ الْخِلافَ
“Putusan
hakim itu mengharuskan dan menghilangkan khilaf”.[19]
c. Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan kembali apa
yang telah diamalkan seseorang atas dasar taqlid, atau hal yang diijma’kan ulama yang berkenaan dengan hal yang ditaqlidkan. Contoh: Orang bermadzhab Syafi’i, dia melaksanakan wudhu sesuai madzhab Syafi’i. Setelah wudhu ia bersentuhan dengan ajnabiyyah,
namun ia beranggapan wudhunya tidak batal, dia berdalih menurut madzhab Maliki
hal tersebut tidak batal. Padahal menurut madzhab Syafi’i bersentuhan dengan
ajnabiyyah itu membatalkan wudhu. Talfiq yang demikian ini tidak diperbolehkan,
karena menjatuhkan mujtahid, padahal
الاجتهاد لا ينقض الا با لاجتهاد
“
ijtihad itu tidak bisa dirusak kecuali dengan ijtihad”.
Maka
muqallid tadi harus meninjau kembali apa yang telah ia amalkan atas dasar
taqlid.
Kelompok perkara-perkara yang
dilarang lainnya yaitu yang bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan
mengambil pendapat yang paling selamat (wara’) (dengan meninggalkan syubhat)
sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali
karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau
melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa)
menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa) membolehkan
(mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang kularang hendaklah kalian
jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan
sekuat kemampuan kalian.”
Dalam hadits di atas, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara
larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang
dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq dalam
larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar
kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits
:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkanlah
apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.”
IV.
KESIMPULAN
Ø Talfiq (التلفيق) adalah masdar dari kata لفق- يلفق- تفليقا yang secara bahasa
berarti mencampur adukkan. Menurut istilahnya adalah berbuat dalam suatu
masalah (hukum) yang menurut hukum terdiri dari kumpulan (gabungan) dua madzhab
atau lebih. Dengan kata lain talfiq adalah
berpindah-pindah madzhab.
Ø Pendapat-pendapat mengenai hukum
talfiq yaitu: tidak boleh, boleh, mubah, tidak boleh jika memililih yang
ringan-ringan, dan boleh tetapi tidak bertentangan dengan syari’at islam.
Ø Para ulama dalam menghadapi masalah mencari-cari mana yang mudah, terbagi
menjadi beberapa bagian, yaitu; tidak
boleh, boleh dengan syarat tertentu, dan boleh
tanpa syarat.
Ø Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah talfiq, sebagian mereka melarang secara mutlak, sebagian
lagi membolehkan secara mutlak, dan sebagian yang lain lagi membolehkannya
secara bersyarat.
Ø Talfiq yang dilarang adalah (1) Talfiq yang batal
karena esensinya (dzatnya), sebagaimana talfiq yang mengakibatkan halalnya
hal-hal haram seperti minuman keras, zina dan lainnya, (2) Talfiq yang secara
sengaja dimaksudkan mencari yang ringan-ringan saja dalam hukum syara’, (3) Talfiq
yang dapat berakibat pembatalan putusan hakim, menghilangkan persengketaan,
dalam rangka menghindari kekacauan, (4) Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan kembali apa
yang telah diamalkan seseorang atas dasar taqlid, atau hal yang diijma`kan
ulama yang berkenaan dengan hal yang ditaqlidkan.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah
yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin, Zen.
2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.
1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
Ashshiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV Mulya.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.
2001. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Djazuli, A.. 2010. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mu’in, A., et all.. 1986. Ushul Fiqh. Jakarta: Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam.
Syukur, M. Asywadie. Pengantar
Ilmu dan Ushul Fikih.
Syukur, M. Asywadie. 1982. Perbandingan
Mazhab. Surabaya: PT Bina Ilmu.
[1]
Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 209.
[2]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 209.
[3]
Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta:
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm.178-179.
[4]
Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 211-212.
[5]
Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta:
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 179.
[6]
Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 212.
[7]
Prof. T. M. Hasbi Ashshiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,
(Jakarta: CV Mulya), hlm. 189.
[8]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 210-211.
[9]
Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta:
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm.178.
[10]
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 107.
[11]
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm. 118.
[12] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 89
[13] Khairul Umam dan A. Achyar
Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka
Setia, cet. 2, 2001), hlm. 171-172.
[14] Umdatut Tahqiq, hlm. 121.
[15]
Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta:
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm.178.
[16]
Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 211.
[17]
Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta:
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 179.
[18]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 210.
[19]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar